UU Perampasan Aset Dibutuhkan untuk Berikan Efek Jera pada Koruptor
Penerapan pasal TPPU harus memiliki bukti tindak pidana asal. Untuk itu, RUU Perampasan Aset penting untuk segera disahkan agar perampasan aset hasil kejahatan dapat dilakukan tanpa ada tindak pidana asal dan tersangka.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tindak pidana pencucian uang atau TPPU hanya dapat diterapkan hanya apabila ada upaya penempatan, penyembunyian, dan investasi sekaligus oleh pelaku kejahatan. Ini membuat TPPU tidak serta-merta bisa diterapkan pada terdakwa korupsi yang hartanya melimpah. Karena itu, diperlukan UU Perampasan Aset untuk bisa memberikan efek jera pada koruptor.
Proses pencucian uang dilakukan dalam tiga tahapan. Mulai dari placement, yaitu upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan.
Tahap kedua, layering, yakni memisahkan hasil tindak pidana dari sumber tindak pidana melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana.
Terakhir, integration,yaitu upaya menggunakan harta kekayaan yang telahtampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material ataupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, maupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bonaprapta, menyampaikan paparan tersebut dalam kegiatan Kelas Intensif Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi, Kamis (8/10/2020). Ia menjelaskan, TPPU merupakan kejahatan yang dilakukan dengan tujuan menyembunyikan harta kekayaan yang berasal dari kejahatan sebelumnya atau predicate crime (tindak pidana asal).
Misalnya, seorang pelaku kejahatan A menerima suap dan kemudian dibelikan ritel waralaba. Sampai tahap ini, apabila langsung diketahui oleh penegak hukum, pelaku tersebut hanya dapat dikenai pasal suap.
Sementara apabila pelaku kejahatan A menerima untung dari hasil ritel, misalnya Rp 60 juta yang masuk ke rekeningnya setiap bulan, pihak bank tentu tidak akan mencurigai karena ada ritel sebagai usahanya. Namun, tahap ini dapat menjadi pintu masuk untuk menelusuri TPPU.
”Sebab, bank hanya menelusuri kalau ada transaksi keuangan mencurigakan. Maka perlu dirangkai, perlu senjata yang namanya TPPU sebagai pintu masuk untuk menelusuri transaksi keuangan tersebut, sekalipun terlihat tidak mencurigakan oleh bank,” ujar Gandjar.
Adanya predicate crime jugamenjadi penting untuk menerapkan pasal TPPU. Sebab, apabila tidak terbukti terdapat tindak pidana asal, hasil kejahatan tidak dapat dirampas dengan pasal TPPU.
Kondisi ini dapat dilihat dari kasus korupsi dengan terpidana Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Ia didakwa melakukan pencucian uang dan dengan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber, atau kepemilikan sebenarnya atas kekayaannya.
Harta senilai Rp 579 miliar itu diubah dalam bentuk sepeda motor, mobil mewah yang juga diatasnamakan sejumlah artis, properti, premi asuransi, simpanan di 37 rekening atas nama orang lain, serta untuk membiayai keperluan pilkada.
Namun, jaksa penuntut umum dinilai tidak bisa membuktikan dakwaan tersebut sehingga barang bukti yang terdiri atas 4.000 item harus dikembalikan kepada pemilik asal. ”Penuntut umum tidak menguraikan kerugian negara atas pengadaan tanah yang memberikan keuntungan terhadap terdakwa,” ujar majelis hakim yang dipimpin Ni Made Sudani (Kompas, 17 Juli 2020).
Perampasan aset
Gandjar menilai, inilah yang menjadi kelemahan dari TPPU, yaitu harus ada tindak pidana asal, ada kejahatan sehingga ada tersangka yang ditetapkan. Persoalannya, bagaimana kalau tidak ditemukan tindak kejahatan asal.
”Maka kita terus mendorong disahkannya Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset karena enggak butuh tindak pidana asal dan tersangka. Cukup ketika harta kekayaan seseorang tidak berbanding lurus dengan profilnya untuk merampas aset,” kata Gandjar.
Sebelumnya, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menyampaikan, pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi urgen. Kehadiran RUU itu akan mempercepat pemulihan kerugian negara tanpa harus menghadirkan pelaku kejahatan.
”Jadi, tak peduli orang itu ada di mana, sepanjang penegak hukum yakin berdasarkan alat bukti bahwa suatu aset tercemar atau diduga dari hasil kejahatan, penegak hukum bisa merampasnya, tentu dengan mekanisme peradilan khusus,” tuturnya.
Saat ini, status RUU Perampasan Aset masih di Kementerian Hukum dan HAM selaku pemrakarsa. Penyusunan RUU Perampasan Aset sebelumnya diinisiasi pertama oleh PPATK sejak 2003 dengan mengadopsi ketentuan The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dan konsep Non-Conviction Based Forfeiture negara-negara common law (Kompas, 12 Juli 2020).