Ombudsman Temukan Malaadministrasi dalam Kasus Joko Tjandra
Ujung laporan ke Ombudsman RI ditemukan malaadministrasi Kejagung, Polri, Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, serta PN Jakarta Selatan saat proses eksekusi terpidana Joko Tjandra. Perbaikan pun ditunggu 30 hari.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman RI menemukan malaadministrasi yang dilakukan Kejaksaan Agung, Polri, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada proses eksekusi terpidana Joko Tjandra dalam daftar pencarian orang. Mereka diminta melakukan perbaikan dan menindaklanjutinya dalam 30 hari.
Ombudsman telah melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan malaadminstrasi terkait kasus Joko Tjandra pada Juli hingga Agustus 2020. Mereka meminta keterangan kepada Kejagung, Polri, Ditjen Imigrasi, Inspektur Jenderal Kemenkum dan HAM, Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), PN Jakarta Selatan, serta ahli hukum.
Anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu, menjelaskan, Kamis (8/10/2020), malaadministrasi tersebut ada di Kejagung, kepolisian, Ditjen Imigrasi, dan PN Jakarta Selatan. ”Jaksa Agung melakukan malaadministrasi berupa penyimpangan prosedur karena tidak memperpanjang pencegahan terhadap Joko Tjandra terhitung sejak 11 Juni 2010 sampai dengan 31 Maret 2011,” kata Ninik.
Selain itu, malaadministrasi juga terjadi saat jaksa Pinangki Sirna Malasari melakukan penyalahgunaan wewenang. Sebab, ia melakukan pertemuan dengan Joko Tjandra yang berstatus DPO.
Jaksa Agung melakukan malaadministrasi berupa penyimpangan prosedur karena tidak memperpanjang pencegahan terhadap Joko Tjandra terhitung sejak 11 Juni 2010 sampai dengan 31 Maret 2011.
Di kepolisian terjadi malaadministrasi terkait penyampaian informasi mengenai terhapusnya status red notice Joko Tjandra yang sudah diterima dari Interpol Pusat di Lyon sejak Januari 2019. Namun, hal tersebut baru disampaikan kepada Kejagung pada 14 April 2020.
Selain itu, penyimpangan prosedur terjadi dalam penyampaian informasi hapusnya status red notice Joko Tjandra kepada Direktur Jenderal Imigrasi tanpa memberikan tembusan kepada Kejagung selaku pemohon red notice.
Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bareskrim Polri melakukan malaadministrasi berupa penyalahgunaan wewenang terkait penerbitan surat jalan atas nama Joko Tjandra yang tidak sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2017 tentang Naskah Dinas dan Tata Persuratan Dinas di Lingkungan Polri.
Direktur Pengawasan dan Penindakan Ditjen Imigrasi beserta jajaran melakukan malaadministrasi berupa tindakan tidak kompeten dalam menghapus nama Joko Tjandra dari daftar DPO pada sistem keimigrasian tanpa menunggu jawaban dari pihak Kejagung selaku pihak pemohon. Mereka juga tidak tepat dalam memahami surat pemberitahuan penghapusan red notice dari Sekretaris NCB Interpol atas nama Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri tanggal 4 Mei dan 5 Mei 2020.
Jajaran Kantor Imigrasi Jakarta Utara melakukan malaadministrasi berupa penyimpangan prosedur dalam penerbitan paspor atas nama Joko Tjandra karena memverifikasi dokumen permohonan paspor yang persyaratannya tidak lengkap. Mereka tidak memasukkan kejanggalan/kecurigaan yang ditemukan ke dalam catatan khusus serta persetujuan penerbitan paspor.
Sementara itu, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melakukan malaadministrasi berupa tindakan tidak patut karena memproses permohonan peninjauan kembali dan proses persidangan tanpa mempertimbangkan Joko Tjandra adalah seorang terpidana yang berstatus DPO.
Kepaniteraan Pidana Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Petugas PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melakukan malaadministrasi berupa tindakan tidak patut karena menerima dan memproses permohonan peninjauan kembali tanpa mempertimbangkan pemohon adalah seorang terpidana yang berstatus DPO.
Tindakan korektif
Ombudsman, kata Ninik, telah menyampaikan tindakan korektif, antara lain, agar memperbaiki sistem dan kualitas pelayanan publik bagi setiap instansi. Kepada Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri Dalam Negeri, Ombudsman meminta dilakukan tindakan korektif terkait proses pemeriksaan terhadap pihak internal ataupun pihak eksternal yang diduga terkait dengan kasus Joko Tjandra.
Selain itu, perlu ada pembaruan dan perbaikan pada sistem penanganan perkara terpadu berbasis teknologi informasi (SPPT-TI), sistem informasi manajemen keimigrasian (Simkim), serta sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK) untuk memuat daftar DPO dan red notice.
Kami akan memantau pelaksanaan tindakan korektif tersebut dan meminta tindak lanjut dalam waktu 30 hari.
Pembuatan dan perbaikan peraturan diperlukan pada setiap instansi tersebut. Mereka juga diharapkan melakukan sinergitas dan koordinasi antarinstansi penegak hukum serta instansi lain terkait DPO dengan melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Komisi Pemberantasan Korupsi; dan Komisi Kejaksaan.
”Kami akan memantau pelaksanaan tindakan korektif tersebut dan meminta tindak lanjut dalam waktu 30 hari,” kata Ninik.
Anggota Ombudsman RI, Adrianus Meliala, menegaskan pentingnya sinergi yang efektif antaraparat penegak hukum agar penyelesaian masalah DPO Joko Tjandra lebih obyektif, transparan, dan akuntabel. Ia berharap, persoalan yang sama tidak terulang kembali di masa mendatang.
Kompas sudah meminta tanggapan kepada Kepala Bagian Humas Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Arvin Gumilang; Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono; dan Suharno dari Humas PN Jakarta Selatan terkait masukan dari Ombudsman tersebut, tetapi tidak diberikan jawaban. Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono masih akan mengonfirmasi terkait laporan Ombudsman tersebut.
Fenomena umum
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Gabriel Lele, mengungkapkan, malaadministrasi merupakan fenomena umum pada pos-pos pemerintah yang rawan terjadi transaksi atau korupsi. Lembaga-lembaga tersebut berurusan langsung dengan publik.
Korupsi sering terjadi karena ada ruang diskresi yang luas, tetapi minim pengawasan publik. ”Publik baru kaget ketika sudah terjadi,” ujar Gabriel.
Korupsi sering terjadi karena ada ruang diskresi yang luas, tetapi minim pengawasan publik.
Oleh karena itu, perlu ada pembenahan yang dimulai dengan prosedur standar operasi atau SOP yang ketat. Selain itu, perlu ada ruang pengawasan publik dan bukan hanya pengawasan internal.
Pengajar Manajemen Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Lisman Manurung, mengatakan, manajemen kinerja sektor publik masih sebatas orientasi kepada luaran dan belum ada pemantauan. Hal tersebut menjadi penyebab masih banyaknya terjadi malaadministrasi di sektor publik.
”Selepas layanan belum diupayakan untuk melakukan pemantauan perjalanan luaran tersebut yang notabene buktinya adalah dokumen baik berupa surat keterangan maupun sertifikasi,” kata Lisman.
Ia menambahkan, orientasi pelayanan sektor publik masih belum berupaya memberikan pelayanan berbasis capaian. Jika pelayanan sudah berfokus hasil, sistem pelacakannya akan menggunakan platform digital dan internet. Hal tersebut akan membuat tercapainya pelayanan publik yang prima.