Jalan menuju TNI yang kuat masih akan menapaki jalur terjal. Bahkan, rencana strategis untuk menjadikan TNI memiliki Kekuatan Pokok Minimum (MEF) 100 persen pada 2024 akan sulit terpenuhi.
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
Rencana strategis membangun kekuatan minimum TNI dimulai 2010 untuk tercapai pada 2024. Merujuk data dari Stockholm International Peace Research Institute atau SIPRI, sejak 1999 hingga hari ini, anggaran pertahanan selalu di bawah 1 persen pendapatan domestik bruto atau PDB. Sebagai pembanding, menurut SIPRI, anggaran pertahanan rata-rata negara di dunia pada 2008-2018 adalah 2,3 persen PDB.
Indonesia mulai merasakan kekurangan pada kekuatan militernya saat terjadi tsunami di Aceh 2004. Saat itu, jumlah pesawat angkut minim, juga tidak banyak yang siap operasi. Saat itu disebutkan, kekuatan TNI hanya 42 persen dari yang diinginkan.
Pemerintah lalu meningkatkan anggaran pertahanan dari Rp 33,7 triliun pada 2009 menjadi Rp 42,2 triliun pada 2010. Otomatis, belanja modal untuk belanja alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang sekitar 30 persen dari total anggaran pertahanan juga meningkat.
Pembangunan MEF TNI dimulai 2010-2014 yang disebut Rencana Strategis (Renstra) I. Saat itu, rata-rata anggaran belanja modal per tahun Rp 26,2 triliun. Cukup banyak kontrak yang ditandatangani, sebagian datang pada periode yang sama. Sebagian lagi datang pada Renstra II (2014-2019).
Beberapa di antaranya adalah kapal selam U209, pesawat angkut CN 295, rudal artileri pertahanan udara Avibras, main battle tank (MBT) Leopard, dan helikopter serang Apache. Pencapaian pembangunan kekuatan TNI pada Renstra I cukup bagus, yaitu naik sekitar 14 persen menjadi 55 persen.
Namun, pada Renstra II, pencapaian penambahan kekuatan TNI hanya sekitar 8 persen. Pada periode 2014-2019 ini, rata-rata anggaran belanja modal Rp 33,3 triliun per tahun. Berbagai produk industri dalam negeri melengkapi kekuatan TNI, seperti kapal angkut tank MBT Leopard dan kapal cepat rudal.
Realisasi
Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan Djoko Purwanto menyebutkan, pemenuhan alutsista pada Renstra II adalah 63,19 persen. Angka ini berarti meleset 11,33 persen dari target 74,52 persen. Data dari Kementerian Pertahanan Oktober 2020 menunjukkan, TNI AD memiliki 77 persen kekuatan pokok minimal, TNI AL 67,57 persen, dan TNI AU 45,19 persen.
Dengan demikian, jika ingin pemenuhan MEF tetap sesuai rencana, yaitu terpenuhi 100 persen pada 2024, Kementerian Pertahanan harus bisa mencapai pembangunan pemenuhan alutsista 36,81 persen dalam lima tahun. Ini berarti harus ada belanja modal Rp 60 triliun sampai 70 triliun per tahun atau besar anggaran Kementerian Pertahanan Rp 180 triliun hingga 210 triliun per tahun. Angka ini tidak realistis di tengah urusan kesehatan dan daya tahan ekonomi akan jadi prioritas hingga beberapa tahun ke depan sebagai dampak pandemi Covid-19.
Sebagai catatan, anggaran Kementerian Pertahanan dalam RAPBN 2021 adalah Rp 136,9 triliun. Anggaran Kementerian Pertahanan tahun 2020 setelah refocusing anggaran ialah Rp 117 triliun setelah dipotong untuk penanganan pandemi Covid-19 sebesar Rp 9,967 triliun. Realokasi itu juga disebut berdampak pada pengadaan alutsista TNI sehingga ada yang dibatalkan (Kompas, 6/10/2020).
Belum tanda tangan
Hingga Oktober 2020, belum ada alutsista yang kontraknya ditandatangani Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Pekerjaan rumah yang menumpuk dari Renstra II, di antaranya, adalah pesawat tempur pengganti F-5, kapal selam, kapal permukaan, serta artileri pertahanan udara. Prosesnya masih panjang karena harus melalui persetujuan Perencanaan Pembangunan Nasional Kementerian Keuangan, kemudian dilanjutkan permintaan L/C (letter of credit) ke Bank Indonesia.
Belajar dari krisis multidimensi 1998 dibutuhkan 5-10 tahun agar ekonomi negara bisa bernapas lega membiayai kekuatan militernya. Sementara ancaman kian kompleks (Kompas, 5/10). Presiden Joko Widodo juga menekankan dukungannya untuk transformasi TNI yang harus mengikuti perkembangan teknologi (Kompas, 6/10).
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan, sesuai dengan doktrin dan konsep perang, TNI AD membutuhkan peluru kendali antipesawat serta kemampuan mengatasi senjata nuklir, biologi, dan kimia. TNI AL membutuhkan kapal frigate, kapal buru ranjau, peremajaan kapal multi-role light frigate (MRLF), unmanned aerial vehicle (UAV), dan peralatan tempur marinir. TNI AU ingin memodernisasi F-16 Viper, pengganti pesawat F-5, UAV, dan sistem pertahanan udara jarak menengah.
Kepala Staf TNI AU Marsekal Fadjar Prasetyo mengatakan, prioritas pengadaan alutsista 2020-2021 adalah peremajaan alutsista, pengadaan pesawat multi-role combat aircraft untuk mengganti pesawat tempur F-5, baik interim maupun jangka panjang. Selain itu, ada kebutuhan rudal pertahanan udara dan radar.
”TNI AU sudah menyampaikan apa yang menjadi kebutuhan operasi. Namun, keputusan pembelian akan sangat bergantung pada hasil diskusi dengan TNI, Kementerian Pertahanan, ketersediaan anggaran, dan lain sebagainya,” kata Fadjar.
Sementara itu, Kepala Staf TNI AL Laksamana Yudo Margono mengatakan, untuk 2020-2021, prioritas pengadaan alutsista TNI AL adalah pembangunan tiga kapal bantu rumah sakit (BRS) yang telah menggunakan teknologi HEPA Filter untuk ruang isolasi bertekanan negatif. Untuk operasi, diusahakan pengadaan alutsista yang tingkat operasionalnya mudah dan efisien.
”Untuk pengadaan, kita prioritaskan alutsista yang teknologinya tinggi sehingga punya daya gempur dan gentar yang tinggi serta perawatan yang mudah dan punya daur hidup panjang. Ini berlaku untuk kapal atas air dan kapal selam,” kata Yudo.
Merujuk tantangan yang menghadang, Kementerian Pertahanan sebaiknya perlu tetap berupaya menyelesaikan program MEF walaupun pelaksanaannya mundur. Untuk itu, tidak saja dibutuhkan kreativitas dan inovasi dari TNI, tetapi juga disiplin anggaran.