Bekas Dirut BTN Tersangka Korupsi, Sistem di BUMN Dikritik
Direktur Utama Bank Tabungan Negara 2012-2019, Maryono, ditetapkan tersangka dan ditahan penyidik Kejaksaan Agung. Korupsi yang kembali terjadi di perusahaan BUMN menunjukkan masih buruknya sistem di BUMN.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO/DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Citra badan usaha milik negara atau BUMN kembali tercoreng setelah Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) tahun 2012-2019, Maryono, ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi. Kasus dugaan korupsi yang terjadi di bank tersebut menunjukkan masih buruknya sistem pengambilan kebijakan dan penentuan pejabat di perusahaan BUMN.
Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mengaku tidak kaget dengan kasus dugaan korupsi di BTN.
”Hampir semua BUMN moral hazard-nya sangat tinggi sekali karena tidak ada sistem. Penentuan kebijakan itu sangat tergantung dari CEO,” kata Enny saat dihubungi di Jakarta, Rabu (7/10/2020).
Ia mengungkapkan, persoalan tersebut terjadi karena dari perekrutan pengisian jabatan tidak ada sistem meritokrasi. Apalagi, dalam perekrutan tersebut banyak diwarnai kepentingan politik dan kurangnya profesionalisme. Selain itu, sistem pengambilan kewenangan atau pemutusan kebijakan di internal BUMN sangat tertutup. ”Penyuapan sangat tinggi karena sistem pengambilan keputusan tidak transparan,” kata Enny.
Maryono ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan penyidik Kejaksaan Agung pada Selasa (6/10/2020) malam. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono mengatakan, dalam kurun waktu 2013 sampai 2015, Maryono diduga menerima hadiah atau gratifikasi melalui rekening menantunya atas nama Widi Kusuma Purwanto.
”Penerimaan hadiah atau janji atau suap atau gratifikasi tersebut diduga terkait dengan pemberian fasilitas kredit dan pencairan kredit dari BTN kepada PT Pelangi Putera Mandiri (PPM) dan PT Titanium Property (TP),” kata Hari, Selasa malam.
Ia menjelaskan, Direktur PT PPM Yunan Anwar sudah mengenal Maryono dan Widi. Pada 9 September 2014, PT PPM mendapat fasilitas kredit dari BTN Kantor Cabang Samarinda sebesar Rp 117 miliar dengan jenis fasilitas kredit konstruksi BTN untuk mengambil alih utang PT PPM di Bank BPD Kalimantan Timur.
Sebelum memperoleh fasilitas kredit dari BTN kantor cabang Samarinda pada 9 September 2014, PT PPM mengirimkan dana ke rekening Widi sebesar Rp 2,257 miliar. Hingga akhir 2018, fasilitas kredit tersebut telah dilakukan tiga kali restrukturisasi pinjaman, yaitu pada 29 Juli 2016, 18 Oktober 2017, dan 30 November 2018. Saat ini, fasilitas kredit tersebut dalam kondisi macet.
Untuk PT TP, perusahaan itu mendapatkan fasilitas kredit dari BTN Kantor Cabang Jakarta Harmoni sebesar Rp 160 miliar pada 31 Desember 2013. Berdasarkan Salinan Akta Perjanjian Kredit Nomor 64 tanggal 31 Desember 2013, fasilitas kredit tersebut digunakan untuk pembiayaan pembangunan apartemen Titanium Square.
Hingga 2017, fasilitas kredit tersebut telah dilakukan restrukturisasi pada 30 November 2017. Hari mengatakan, terdapat beberapa transaksi keuangan yang mencurigakan dari PT TP yang ditujukan kepada Widi dengan total transaksi sebesar Rp 870 juta.
Pemberian fasilitas kredit kepada dua perusahaan tersebut diduga atas peran serta Maryono yang mendorong untuk meloloskan pemberian fasilitas kredit. Ini walaupun tidak sesuai dengan prosedur standar operasi (SOP) yang berlaku di BTN.
Berdasarkan fakta hukum dan didukung dengan adanya alat bukti permulaan yang cukup, maka dua orang yang awalnya diperiksa sebagai saksi ditetapkan tersangka dalam perkara tersebut. Selain Maryono, Yunan Anwar juga ditetapkan sebagai tersangka.
Hari mengatakan, pemeriksaan selanjutnya akan dilakukan terhadap semua pihak yang terkait dengan pemberian fasilitas kredit kepada PT PPM dan PT TP. Tidak tertutup kemungkinan akan ada lagi penetapan tersangka dalam perkara tersebut.
Hormati proses hukum
Atas ditahannya Maryono, BTN menghormati proses hukum yang telah dilakukan Kejagung. ”Bank BTN menghormati proses hukum dalam penyelesaian masalah tersebut dan akan membantu penegak hukum dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah,” kata Corporate Secretary Bank BTN Ari Kurniaman.
Menurut Ari, kredit kepada PT PPM diberikan BTN pada 2014 dan kredit kepada PT TP diberikan pada 2013. Cakupan terhadap pemberian kredit kepada dua perusahaan tersebut masih lebih tinggi sehingga aman dari sisi bank dan telah diikat hak tanggungan.
”Kinerja kami tetap akan solid apalagi pemberian kredit kepada dua perusahaan tersebut telah memiliki agunan yang kuat dan telah disiapkan cadangan yang cukup, sehingga tetap dapat memberikan layanan terbaik bagi nasabah, dengan senantiasa mengedepankan good corporate governance dalam operasionalnya,” kata Ari.
Ia mengungkapkan, BTN selama ini sudah bekerja sama dengan Kejagung dalam memproses debitor nakal yang tidak mau membayar utang. Bahkan, BTN sudah terbantu dengan upaya Kejagung dalam memproses debitor nakal.
Ari menuturkan, selama ini BTN telah banyak melakukan perbaikan, terutama dalam bisnis proses dan meraih sertifikat SNI ISO 37001:2016 dalam bidang kredit komersial (commercial lending) dan bidang pengadaan (procurement).
ISO 37001:2016 merupakan standar internasional yang mengatur sistem manajemen anti-penyuapan (antibribery management system). Sertifikasi yang diperoleh BTN tersebut menegaskan komitmen kepatuhan Bank BTN terhadap implementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 yang mengatur tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
”Sertifikat SNI ISO 37001:2016 sangat berarti bagi Bank BTN dalam melakukan transformasi perusahaan menuju The Best Mortgage Bank in South East Asia yang kita targetkan pada 2025,” kata Ari.