Imbas UU Cipta Kerja, Daerah Kehilangan Sejumlah Kewenangan
Kewenangan yang dicabut di antaranya dalam menentukan kawasan strategis dan sejumlah perizinan berusaha. Hal ini dinilai bertentangan dengan semangat desentralisasi yang menjadi salah satu roh reformasi.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk disahkan menjadi undang-undang akan mencabut kewenangan pemerintah daerah dalam menentukan kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota. Kewenangan itu kini menjadi wilayah pemerintah pusat. Dalam penentuan dan pengaturan tata ruang, kini daerah harus merujuk pada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Ketentuan di dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja itu secara signifikan mengubah ketentuan di dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Di dalam Pasal 10 dan Pasal 11 UU No 26/2007, pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, diberi kewenangan untuk mengatur, membina, serta mengawasi pelaksanaan tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota, serta pelaksanaan tata ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota.
Namun, dalam UU Cipta Kerja, kewenangan atas tata laksana kawasan strategis daerah itu tidak lagi menjadi kewenangan daerah, tetapi menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Penghapusan kewenangan pemda dalam tata laksana kawasan strategis daerah itu, menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, sangat disayangkan.
Sebab, pengambilan kewenangan tersebut oleh pemerintah pusat berpotensi menimbulkan benturan kepentingan antara pusat dan daerah dalam penentuan serta pengawasan kawasan strategis di daerah.
Di sisi lain, konsep kawasan strategis antara pemerintah pusat dan daerah itu bisa berbeda sehingga berpotensi menimbulkan ketidaksesuaian antara kebutuhan daerah dan kebijakan yang diambil oleh pusat.
”Yang kami takutkan ialah tabrakan antara orientasi pembangunan daerah yang disusun oleh pemerintah daerah dan kewenangan pemerintah pusat dalam hal penentuan kawasan strategis daerah ini. Kalaupun kawasan strategis di daerah itu ditetapkan oleh pemerintah pusat, harus dipastikan konsultasi dengan pemda tetap jalan. Kalau tidak nanti pusat ingin mengatur kawasan strategis daerah, sementara itu tidak sesuai dengan visi-misi kepala daerah yang dituangkan di dalam RPJMD, bisa kacau,” kata Robert, saat dihubungi, Rabu (7/10/2020).
Dalam semangat otonomi daerah, setiap kepala daerah yang dipilih oleh rakyat memiliki visi-misi yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Di dalamnya juga akan termuat mengenai rencana detail tata ruang (RDTR) ataupun rencana tata ruang dan wilayah (RTRW).
Dengan konteks kawasan strategis daerah kini diterapkan oleh pusat, menurut Robert, jangan sampai kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat itu tidak sesuai dengan RPJMD yang disusun oleh pemda. Jika perbedaan itu terjadi, justru tidak baik bagi investor karena mereka akan kebingungan, apakah mengikuti desain kawasan yang ditentukan pemerintah pusat atau pemda.
”Setiap kepala daerah, kan, memiliki program masing-masing. Karena dipilih oleh rakyat, tentu program itu yang akan ditagih. Misalnya, dia ingin mengembangkan kawasan ini sebagai sentra produksi, lalu di lain tempat dijadikan kawasan industri, itu kan atas dasar visi-misi dan perspektifnya sebagai kepala daerah. Tetapi, jika kewenangan tata laksana kawasan strategis di daerah kini menjadi kewenangan pusat, boleh jadi itu tidak sesuai dengan RPJMD dan kebutuhan daerah tersebut. Pemda yang paling mengerti potensi dan kebutuhan daerah,” ujar Robert.
Di sisi lain, jika terjadi ketidaksesuaian antara pemerintah pusat dan pemda dalam pennetuan kawasan strategis daerah, menurut Robert, investor cenderung akan memilih untuk mengikuti desain yang ditetapkan oleh daerah. Alasannya, mereka sehari-hari akan bertemu dengan pemda untuk kebutuhan apa pun. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah pusat dengan adanya aturan itu untuk tetap melibatkan pemda dalam penentuan kawasan strategis daerah.
Perizinan berusaha
Selain terkait tata ruang, sejumlah pengaturan perizinan berusaha di daerah juga ditarik ke pusat. Izin-izin berusaha untuk ritel, seperti izin prinsip, izin mendirikan bangunan, izin domisili, dan izin usaha toko, telah menjadi kewenangan pusat.
Sementara untuk penentuan izin lokasi, kini daerah diberi waktu satu bulan untuk memproses izin. Jika melebihi batas waktu itu, pengurusan izin akan ditarik ke pemerintah pusat. Proses pemberian izin oleh pemda itu juga harus mengacu pada norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang akan diatur di dalam peraturan pemerintah (PP).
Robert mengatakan, terkait dengan penerapan NSPK, semua pihak harus mengawal. Sebab, harapannya, NSPK tidak diberlakukan sama untuk semua daerah. Pasalnya, setiap daerah memiliki persoalan masing-masing yang itu tidak bisa dipukul rata oleh pemerintah pusat. Adanya suatu standar pelayanan itu suatu hal yang baik, tetapi seyogianya hal tersebut tidak dijadikan ukuran buta dalam melihat persoalan perizinan yang ada di daerah.
”Dalam hal izin usaha tidak lekas diterbitkan dalam waktu satu bulan, misalnya, solusinya tidak harus pengurusan perizinan itu ditarik langsung ke pusat. Sebab, harus dilihat dulu faktor apa yang menyebabkan perizinan itu tidak bisa cepat dikeluarkan,” kata Robert.
”Kalau, misalnya, faktor keterbatasan sumber daya dan kapasitas, tentu solusinya tidak bisa perizinan ditarik dari daerah. Namun, perlu penambahan sumber daya dan peningkatan kapasitas pegawai. Jika setiap kali ditarik, tentu hal itu tidak menyelesaikan persoalan perizinan di daerah tersebut,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Abdullah Azwar Anas mengatakan, pihaknya belum dapat merespons dengan detail soal UU Cipta Kerja. Pasalnya, Apkasi belum menerima draf resmi UU Cipta Kerja.
”Kami belum dapat merespons banyak. Tetapi, apa pun itu, UU ini semoga tidak menimbulkan kegaduhan. Niat pemerintah untuk menarik investasi semoga bisa terlaksana dan daerah juga bisa berkembang. Rakyat juga bisa lebih sejahtera. Kita lihat nanti di dalam draf resminya karena kami belum mendapatkannya,” kata Anas, yang juga Bupati Banyuwangi, Jawa Timur.
Menyangkut kewenangan daerah dan pusat dalam penetapan kawasan strategis daerah, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, kewenangan dalam urusan penetapan kawasan strategis dibagi di tingkat pusat dan daerah.
”Jadi tidak benar sepenuhnya diambil oleh pusat. UU Cipta Kerja ini hanya menegaskan kembali praktik peraturan yang telah ada sebelumnya, tetapi terserak ke dalam satu payung hukum,” katanya.
Willy mengatakan, penetapan kawasan strategis yang berkenaan dengan urusan absolut pemerintah pusat tentu tetap harus berada di pusat, seperti kawasan pertahanan dan keamanan, batas wilayah NKRI, dan sejenisnya.
Selain itu, kawasan strategis mempertimbangkan aspek eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi penanganan kawasan. Dengan demikian, tetap ada kawasan strategis nasional, provinsi, hingga kabupaten. Dalam pengaturan tata ruang itu, pemerintah pusat menetapkan NSPK.
”Selain itu, pemerintah juga menetapkan kawasan strategis dan melakukan pembinaan, pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah,” katanya.
Penetapan NSPK itu, lanjut Willy, akan dilakukan secara koordinatif antara pemerintah pusat dan pemda. Ia menjamin tidak akan ada pertentangan antara NSPK dan peraturan yang lebih tinggi. ”Dengan koordinasi antara pemerintah daerah dan pusat, maka kondisi daerah tetap menjadi pertimbangan,” ujarnya.
Anggota Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD), Kaka Suminta, menilai, pengambilan kewenangan pemda oleh pemerintah pusat, termasuk dalam tata ruang dan perizinan, itu bertentangan dengan semangat desentralisasi yang menjadi salah satu roh reformasi.
”Pemda dalam hal perizinan dan tata ruang telah terlemahkan. Pengaturan di dalam RUU Cipta Kerja seolah memutar balik yang semua telah diupayakan oleh reformasi,” katanya.