Di tengah ancaman dan minimnya anggaran, pengadaan alat utama sistem persenjataan TNI diharapkan tetap berjalan cermat dan mencegah berbagai konflik kepentingan para pihak.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO/EDNA C PATTISINA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah ancaman yang semakin kompleks dan keterbatasan anggaran pertahanan, pembelian alat utama sistem persenjataan TNI harus cermat dan mencegah konflik kepentingan. Mekanisme pengawasan harus dimaksimalkan.
Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muhammad Haripin, mengatakan, terlepas dari kekurangan yang ada, berbagai aturan untuk menjaga transparansi sudah ada. Namun, implementasinya yang bermasalah.
”Untuk pengawasan, ada Komisi I DPR, lalu untuk memastikan kebutuhan, ada KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan). Namun, dalam praktiknya, aturan dan lembaga itu tidak berjalan optimal atau sengaja mandek,” kata Haripin.
Aturan tersebut bisa berjalan tidak optimal karena adanya konflik kepentingan dan kepentingan bisnis para pihak yang terlibat dalam proses pengadaan. Selain itu, politik negara juga berubah-ubah dari yang mendukung pemenuhan Kebutuhan Pokok Minimum (MEF) secara gencar kepada sikap yang kelihatannya kurang terlalu antusias. Padahal, biaya sudah banyak dikeluarkan dan tenggat pun semakin dekat. Hal tersebut membuat konsistensi dalam pelaksanaan kebijakan juga bermasalah.
”Pembelian alutsista jadinya melenceng dari perencanaan seperti MEF,” kata Haripin.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, mengatakan, untuk menyiasati pengadaan alutsista TNI di tengah keterbatasan, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto harus melakukan konsultasi kepada publik dan mengutamakan TNI sebagai pengguna.
”Jangan sampai anggaran Rp 131,2 triliun yang justru paling besar dibandingkan kementerian atau lembaga lain justru digunakan untuk kebutuhan yang tidak sesuai peta MEF dan respons Covid-19, terlebih karena selama ini akuntabilitas pengadaan sangat dipertanyakan,” kata Alvin.
Ia mengungkapkan, dari pengukuran Indeks Integritas Pertahanan Pemerintah yang dilakukan TII pada 2013 dan 2015, variabel pengadaan publik di sektor pertahanan konsisten mendapatkan skor buruk, yakni di angka 45 persen. Menurut Alvin, hal tersebut masih stagnan hingga sekarang karena tidak ada perubahan signifikan yang dilakukan.
Asumsi tersebut bisa dibuktikan dari masih dominannya korupsi pengadaan di sektor pertahanan, seperti dalam kasus pesawat F-16, Apache, helikopter AW-101, dan kapal SSV. Keinginan membeli pesawat bekas Eurofighter Typhoon dari Austria juga sarat persoalan transparansi dan akuntabilitas.
TII mengusulkan agar dalam melakukan impor alutsista harus melalui skema pemerintah ke pemerintah dan jangan sampai ada broker yang terlibat karena akan menambah risiko akuntabilitas. Selain itu, seluruh proses dan kontrak pengadaan harus dapat diakses publik, terutama pengadaan dengan skema kontrak offset sesuai mandat Undang-Undang Industri Pertahanan.
Alvin mengingatkan, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) juga perlu memperkuat standar antikorupsi, menelusuri beneficial owner, dan menegakkan uji kelayakan yang ketat ketika akan melakukan pengadaan publik dengan suatu perusahaan di bidang pertahanan. Kasus korupsi PT PAL Indonesia dan PT Dirgantara Indonesia harus menjadi pelajaran.
Kepala Biro Humas Kemenhan Djoko Purwanto mengatakan, penyelenggaraan pembangunan kekuatan pokok TNI memerlukan adanya pengawasan dan pengendalian yang optimal, baik secara internal maupun eksternal.
Di Kemenhan, ada Inspektorat Jenderal Kemenhan yang bertugas melakukan pengawasan. Irjen ini membawahi tim monitoring yang dibentuk secara adhoc berdasarkan kebijakan bersama semua pemangku kepentingan. Tim ini melakukan audit, review, dan evaluasi, serta pemantaan terfokus dan komprehensif. ”Menhan khusus mengundang KPK untuk pengawasan dan asistensi yang lebih dalam guna memastikan akuntabilitas dan transparansi semakin baik, pun demikian dengan BPK,” kata Djoko.
Di Mabes TNI, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan, untuk menjamin akuntabilitas pengadaan alutsista, TNI selalu berpedoman pada peta jalan MEF. Pengadaan alutsista yang sumber dananya dari Pinjaman Luar Negeri dan Dalam Negeri dan Industri Pertahanan berdasarkan kebutuhan setiap angkatan.
Proses awalnya, setiap angkatan melakukan kajian sehingga pengadaan alutsista bisa berdasarkan kebutuhan pengguna dan ada interoperabilitas.
Setelah itu, ditentukan persyaratan operasional yang diterjemahkan dalam bentuk spesifikasi teknis. Studi berikutnya ialah mencari alutsista yang memenuhi spesifikasi teknis dan kebutuhan operasi tersebut. Kalau ada produksi dalam negeri yang sesuai, menjadi prioritas.
Kepala Staf TNI AU Marsekal Fadjar Prasetyo mengatakan, selain perencanaan yang menggunakan patokan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan pengawasan BPK, di TNI AU sudah diberlakukan pengadaan barang dan jasa secara elektronik.
Sistem ini merupakan terobosan dalam pelayanan publik untuk mewujudkan akuntabilitas dalam pengadaan barang dan jasa, yang dalam pelaksanaannya diproses melalui suatu aplikasi Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE).
Adapun Kepala Staf TNI AL Laksamana Yudo Margono mengatakan, selain tahap yang berjenjang mulai dari masukan komandan di lapangan hingga kajian kebutuhan operasi, di TNI AL juga ada Dewan Penentu Pengadaan (Wantuada). Dewan ini yang kemudian memberi masukan ke Mabes TNI yang memiliki Dewan Serup, yaitu Dewan Kebijakan Penentu Pengadaan TNI untuk kemudian diusulkan ke Kemenhan.
”Rangkaian proses ini yang menjamin terpenuhinya kebutuhan alutsista dan akuntabilitasnya,” kata Yudo.