"Tak Berharap Anak Jadi Buruh"
Puluhan tahun menjadi buruh belum tentu menjanjikan kehidupan yang laik. Ditambah lagi, rancangan regulasi terbaru membuat profesi buruh kian tidak pasti.
Herry Hermawan (40) sudah menjadi buruh di perusahaan otomotif sejak tahun 1999. Setelah bekerja 1,5 tahun, ia diangkat menjadi karyawan tetap di perusahaan yang berkantor di Kelapa Gading, Jakarta Utara, itu.
Di tahun 2004, koperasi perusahaan menawarkan program cicilan rumah buat karyawan. Dengan uang muka Rp 7,5 juta dan angsuran Rp 384.000 per bulan selama 15 tahun, lulusan SMK ini bisa menempati rumah mungil di Bekasi, Jawa Barat.
Baca juga : Buruh Kecewa Aspirasinya Mental
Rumah tipe 29/60 itu memiliki dua kamar. Dia, istri, dan lima anaknya menempati rumah itu. Artinya, hanya satu kamar yang tersedia untuk anak-anak. Beruntung, semua anaknya laki-laki.
"Kalau sudah nikah nanti, mau tak mau anak-anak saya harus segera mengontrak atau tinggal di rumah mertua karena tak cukup ruang di rumah saya," kata Herry saat ditemui di depan Kompleks Parlemen, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (5/10/2020).
Dia sebenarnya ingin memiliki rumah yang lebih besar. Paling tidak, agar anaknya tak perlu tidur berimpitan seperti ikan pepes. Akan tetapi, pendapatan berkata lain.
Dengan pemasukan sekitar Rp 6 juta per bulan, ia tak percaya diri membeli rumah baru. Apalagi di keluarganya kini, upah buruhnya menjadi satu-satunya pendapatan keluarga. Dari gaji itu dia membiayai kelima anaknya. Dari lima anak, empat di antaranya sudah sekolah. Dalam situasi normal, keuangan keluarga lebih mendingan karena dia bisa mengajukan lembur. Sejak pandemi, lembur ditiadakan.
Selain itu, perusahaan hanya menjamin maksimal tiga anak. Ketika perusahaan mengadakan acara rekreasi karyawan, misalnya, dua anaknya yang lain tak boleh ikut.
Dengan pemasukan sekitar Rp 6 juta per bulan, ia tak percaya diri membeli rumah baru. Apalagi di keluarganya kini, upah buruhnya menjadi satu-satunya pendapatan keluarga. Dari gaji itu dia membiayai kelima anaknya. Dari lima anak, empat di antaranya sudah sekolah. Dalam situasi normal, keuangan keluarga lebih mendingan karena dia bisa mengajukan lembur. Sejak pandemi, lembur ditiadakan.
Herry dan kawan-kawan datang ke komplek DPR di Jalan Gatot Subroto, Senin, untuk memprotes pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Dia menilai, peraturan itu membuat status sebagai buruh kian tak pasti.
Jumlah pesangon pekerja yang terkena pemutusan Hubungan Kerja (PHK), misalnya, dikurangi. Penghapusan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) diduga kuat akan menggerus pendapatan buruh. Di samping itu, pengaturan kerja yang fleksibel berpotensi membuat buruh dikontrak seumur hidup.
"Melihat realitas hari ini, saya sama istri tak berharap anak saya jadi buruh seperti saya," ujarnya.
Baca juga: Pengesahan RUU Cipta Kerja Tinggal Tunggu Rapat Paripurna DPR
Di masa depan, kata Harry, orang-orang harus memiliki inisiatif dan kreativitas agar dapat bertahan hidup. Sementara menjadi buruh, terutama buruh di tingkat operator, terasa sekadar menjalani hidup secara rutin.
"Di bidang fabrikasi, contohnya, tak ada istilah inisiatif. Kami bekerja sesuai praktik saja. Seperti saya, misalnya. Pasang, kasih baut, kencengin, udah jadi mobil. Berpuluh-puluh tahun seperti itu. Kalau kritis sama atasan, dipindahkan ke tempat yang lebih nggak enak," kata pengurus Federasi Serikat Pekerja Aneka Sektor Indonesia ini.
Ikut menopang penghasilan
Buruh perusahaan elektronik, Leni (41) menambahkan, ia sudah bekerja di perusahaan selama 21 tahun. Kendati demikian, pendapatannya masih di bawah Rp 5 juta. Karyawan perusahaan elektronik yang berkantor di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, ini beruntung lantaran suaminya juga bekerja dan berpenghasilan tetap.
"Jika RUU Cipta Kerja ini disahkan, tidak kebayang nantinya bagaimana nasib kami ke depan. Sekarang saja hidup sudah pas-pasan. Saya beruntung punya suami yang juga punya penghasilan tetap. Tetapi bagi buruh yang suami atau istrinya tak bekerja, pasti hidup akan lebih berat. Apalagi bagi karyawan kontrak yang tak punya kepastian kapan akan diangkat," ujarnya.
Baca juga : Tolak RUU Cipta Kerja, Buruh Batam Bersiap Mogok Kerja dan Unjuk Rasa
Penghapusan UMSK, misalnya, akan berdampak pada penurunan pendapatan. Jika perusahaan nantinya mengacu kepada upah minimum provinsi (UMP), gaji Leni akan turun karena UMP Jawa Barat lebih kecil dibanding UMSK Bogor.
Selain itu, peran Leni sebagai pengurus serikat juga membuatnya dalam tekanan. Ia pernah masuk ke dalam daftar pemutusan hubungan kerja (PHK), 2018 lalu. "Untung saja semua karyawan mogok secara bersamaan waktu itu, sehingga perusahaan membatalkan PHK tersebut," ujarnya.
Menurut Leni, buruh adalah profesi penting dalam menopang perekonomian Indonesia. Oleh sebab itu, buruh harus dilindungi.
Resahkan keluarga
RUU Cipta Kerja turut membuat was-was keluarga buruh. Ika Handayani (39), ibu rumah tangga asal Palmerah, Jakarta Barat, misalnya, kini harus mengirit uang belanja. Suaminya, Abdul Manap (40) yang sehari-hari bekerja sebagai pesuruh kantor (office boy/OB), selalu dibayang-bayangi ancaman PHK. Apalagi statusnya hanyalah pekerja alih daya.
Selama pandemi ini, setidaknya sudah ada enam rekan OB Abdul yang diberhentikan begitu saja tanpa pesangon. Alasan perusahaan adalah efisiensi. Perusahaan yang berlokasi di Jalan KS Tubun Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, itu, kini hanya mempekerjakan dua OB termasuk Abdul.
"Setiap hari suami bilang, jangan boros-boros. Takutnya kalau kena PHK, kan nggak ada pesangon," kata Ika saat ditemui di rumahnya.
Kekhawatiran Ika dan Abdul bukan tanpa alasan, lantaran PHK bukan sesuatu yang asing bagi mereka. Abdul pernah mencicipi pahitnya PHK massal tiga tahun silam saat masih bekerja sebagai OB di salah satu perusahaan ritel di Kota Tangerang, Banten. Padahal, ia sudah bekerja selama delapan tahun di sana.
"Waktu itu nggak ada pesangon sama sekali. Tapi sama vendor, suami saya dijadikan OB bantuan. Kerjanya pindah-pindah dari satu kantor ke kantor lain," tambah Ika yang juga mantan OB.
Abdul dan Ika kini tinggal di rumah orang tua Ika di Palmerah. Di lahan seluas 14 meter persegi itu, dibangun rumah bersusun tiga. Disitulah pasangan ini bermukim bersama tujuh anggota keluarga lainnya. Rumah itu berbatasan langsung dengan area pemakaman TPU Grogol Kemanggisan.
Ketujuh anggota keluarga yang tinggal di sana adalah dua anak Abdul-Ika, kedua orangtua Ika, dua adik kandung, dan satu adik ipar. Sebagai balas budi karena tinggal di sana, Ika menanggung biaya makan semua anggota keluarga bersama adik iparnya yang bekerja sebagai petugas keamanan.
Di sisi lain, Ika masih harus membeli popok dan susu untuk anak bungsunya yang masih berusia dua tahun. "Saya yang susah atur keuangan. Bapak saya nggak bisa jualan karena pandemi, jadi saya yang nyediain makan sehari-hari sekeluarga," katanya.
Keduanya masih belum berpikiran untuk membeli atau mengontrak rumah sendiri. Sebab, gaji Abdul saat ini masih setara UMR. Adapun UMR kini Rp 4,2 juta. Meski begitu, Ika bersyukur karena Abdul tak mendapatkan pengurangan gaji selama pandemi ini. Sebagai gantinya, ia harus merelakan tunjangan hari raya tahun ini tidak dibayarkan.
Selama ini, Abdul juga urung mengajukan cuti. Sebab, cuti di perusahaannya berarti potong gaji. Seingat Ika, Abdul hanya mengajukan cuti 2 kali saat ia melahirkan anak pertama dan anak keduanya. Masing-masing, Abdul mengajukan cuti dua hari.
"(Cuti) satu harinya dipotong Rp 150.000. Makanya suami waktu itu sampai nunda-nunda punya anak kedua karena nggak mau cuti," ungkap Ika.
Ancaman PHK juga mengintai Bambang (39), pramubakti di salah satu perusahaan perbankan di Jakarta Selatan. Pada Jumat (2/10/2020) lalu, perusahaannya telah memberhentikan tiga karyawan."Tiga teman sopir kemarin kena PHK. Sama-sama outsourcing kayak saya," katanya.
Ketiganya sama sekali tidak mendapatkan pesangon dari pihak vendor. Mereka hanya terbantu oleh dana dari BPJS Ketenagakerjaan.
Para pekerja yang diberhentikan tersebut, juga sudah tidak muda lagi. Ketiganya telah belasan tahun bekerja di perusahaan tersebut. Karenanya, peluang kerja bakal terbatas karena mereka harus bersaing dengan tenaga-tenaga muda untuk mendapatkan posisi sebagai alih daya. Hal ini semakin membuat Bambang khawatir.
"Padahal saya masih punya tanggungan kredit rumah lebih dari Rp 3 juta per bulan. Semoga RUU Cipta Kerja bisa memberikan kepastian status kerja buat kami-kami ini," kata Bambang yang juga sudah 16 tahun bekerja di tempat itu.