Petisi Daring Tolak UU Cipta Kerja Didukung 1 Juta Warganet, Pemuka Agama Dukung Uji Materi
Dukungan warganet terhadap petisi daring penolakan UU Cipta Kerja mencapai 1 juta dalam waktu satu hari. Sejumlah tokoh agama dan komunitas kepercayaan mendukung adanya upaya uji materi terhadap UU tersebut ke MK.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pemuka agama Islam, Kristen, dan komunitas kepercayaan adat mendukung upaya pengajuan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. UU yang disahkan DPR pada Senin (5/10/2020) itu dinilai merugikan masyarakat, terutama kelompok aliran kepercayaan, marjinal, dan buruh.
Dukungan tersebut selaras dengan petisi ”Maklumat Pemuka Agama Indonesia: Tolak Omnibus Law dan Buka Ruang Partisipasi Publik” di laman Change.org yang hingga Selasa (6/10/2020) pukul 17.30 telah mendapat dukungan lebih dari 1.011.000 warganet atau pengguna internet. Petisi diinisiasi pada 5 Oktober oleh enam orang, yakni Busyro Muqodas, Pdt Merry Kolimon, Ulil Absar Abdalla, Engkus Ruswana, Roy Murtadho, dan Pdt Penrad Sagian.
Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Trisno Raharjo saat pernyataan sikap secara daring, Selasa, mengatakan, pihaknya saat ini membaca dan mempelajari isi UU Cipta Kerja tersebut. Apabila suatu saat PP Muhammadiyah ingin mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), pihaknya telah siap membuat materi.
”Kami pun siap bergabung dengan kelompok masyarakat sipil lain yang ingin melakukan uji materi ke MK,” katanya.
Menurut Trisno, pembahasan RUU Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah dengan DPR dilakukan dengan sangat tertutup. Beberapa surat yang dikirim kepada pemerintah untuk menunda pembahasan dan mengeluarkan kluster pendidikan dalam UU tersebut tidak dipenuhi. Dengan demikian, dia menilai pengesahan UU tersebut merebut partisipasi publik dalam perumusan UU.
”Kami sangat khawatir dalam pembuatan aturan turunan, peraturan pemerintah, akan lebih tertutup dan sulit diakses karena pembahasan di DPR saja yang seharusnya terbuka, nyatanya tertutup,” ucapnya.
Pendeta Merry Kolimon mengatakan, UU yang dibuat oleh pemerintah bersama DPR seharusnya memenuhi unsur keadilan. Untuk mencapai keadilan tersebut, pembahasan seharusnya melibatkan partisipasi masyarakat dan mendengarkan masukan dari berbagai kelompok kepentingan.
Pandemi Covid-19 yang mengubah pola interaksi seharusnya tidak menjadi persoalan. Pertemuan tatap muka bisa dialihkan secara virtual tanpa mengurangi unsur partisipasi masyarakat. ”Pembahasan UU Cipta Kerja terkesan tertutup,” katanya.
Dalam catatannya, UU Cipta Kerja yang disahkan itu tidak mampu memastikan aspek perlindungan lingkungan hidup dan cenderung memudahkan eksploitasi alam. Padahal, pada era kenormalan baru, manusia seharusnya bisa lebih menghargai alam yang menjadi tempat tinggal.
”UU Cipta Kerja menguntungkan pebisnis dan pengusaha sehingga abai terhadap perlindungan pekerja, bahkan meningkatkan kerentanan pekerja perempuan,” kata Merry.
Tokoh pesantren, Roy Murtadho, mengingatkan, pemerintah dan DPR mendapatkan mandat dari seluruh rakyat, bukan hanya dari kalangan pengusaha. Oleh sebab itu, UU yang diciptakan harus mampu memenuhi unsur keadilan bagi seluruh kelompok masyarakat.
”Hari ini, keadilan terasa jauh dari masyarakat, terutama kelompok buruh,” katanya.
Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia Engkus Ruswana menyesalkan ketiadaan partisipasi publik dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. Ia khawatir UU tersebut membuat kasus perampasan hak atas tanah terus terulang sehingga merugikan masyarakat adat.
Cendekiawan Nahdlatul Ulama, Ulil Abshar Abdalla, menilai pemerintah dan DPR dalam beberapa kebijakan terkesan tidak mendengar suara rakyat. Itu dapat dilihat dari sejumlah aturan, seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU KPK, serta desakan untuk menunda pemilihan kepala daerah serentak 2020.
”Saya menganggap ada yang salah dengan pengelolaan negara. Pemerintah dan DPR dalam beberapa tahun terakhir semakin tidak bisa mendengarkan suara rakyat. Ini semacam penyelewengan kekuasaaan,” ucapnya.
Seperti diberitakan, RUU Cipta Kerja disahkan di dalam Rapat Paripurna Penutupan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-2021 Dewan Perwakilan Rakyat, yang dipercepat, Senin (5/10/2020). Dari sembilan fraksi, dua fraksi menolak pengesahan RUU Cipta Kerja itu karena melihat RUU itu cacat secara formil dan materiil.
Dua fraksi yang menolak pengesahan ialah Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kedua fraksi itu memberikan catatan berkenaan dengan materi ataupun mekanisme pembahasan RUU tersebut yang dinilai terburu-buru dan tidak memperhatikan aspirasi publik sehingga berpotensi merugikan rakyat serta membuka celah bagi liberalisasi ekonomi.
Terkait dengan pembahasan RUU Cipta Kerja, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja yang juga Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, pembahasan dilakukan dalam 64 kali rapat.
Rinciannya, 56 kali rapat panja, 2 kali rapat kerja dengan pemerintah, 6 kali rapat tim perumus dan tim sinkronisasi. Rapat dilakukan tujuh hari penuh, termasuk pada hari libur dan masa reses DPR sejak Februari-Oktober 2020.
Supratman mengatakan, pembahasan RUU Cipta Kerja itu telah dilakukan sesuai dengan prosedur, bahkan sangat terbuka karena selalu disiarkan secara langsung oleh TV parlemen dan ditayangkan di media sosial DPR. Rapat yang dilakukan dari Senin-Minggu, baik di dalam maupun di luar gedung DPR, telah seizin pimpinan DPR. Hasilnya, RUU Cipta Kerja yang di dalamnya berisi 15 bab dan 185 pasal tuntas dibahas.