Orientasi pembangunan kekuatan TNI diharapkan tak lagi semata pada pemenuhan kebutuhan pokok minimum TNI tetapi melihat ancaman yang dihadapi. Politik anggaran pertahanan pun semestinya mendukung.
Oleh
Edna C Pattisina/Rini Kustiasih/Prayogi Dwi Sulistyo
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS – Menghadapi ancaman yang kian kompleks terhadap eksistensi dan kedaulatan Indonesia, kebijakan pembangunan kekuatan TNI perlu direorientasi.
Orientasi pembangunan diharapkan tak lagi semata pada pemenuhan kebutuhan pokok minimum TNI tetapi melihat ancaman yang dihadapi. Politik anggaran pertahanan pun semestinya mendukung. Tanpa anggaran yang memadai, kekuatan alat utama sistem persenjataan TNI terus tertinggal, bahkan dari negara tetangga.
Kian kompleksnya ancaman yang dihadapi Indonesia saat ini disampaikan oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dalam wawancara dengan Kompas, akhir pekan lalu. Ia mencontohkan, saat ini ketika Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid-19, eskalasi ketegangan terjadi di Laut China Selatan akibat klaim China atas wilayah itu, termasuk wilayah Laut Natuna Utara.
“Kita memerlukan reorientasi kebijakan pembangunan kekuatan agar bisa menghadapi ancaman-non tradisional dan tradisional,” kata Hadi Tjahjanto.
Semakin kompleksnya ancaman juga menjadi kajian Kementerian Pertahanan (Kemenhan).
Kepala Biro Humas Kemenhan Djoko Purwanto mengatakan, ancaman yang aktual saat ini adalah terorisme dan radikalisme, separatisme dan pemberontakan bersenjata, bencana alam, pelanggaran wilayah perbatasan, perompakan dan pencurian kekayaan alam, wabah penyakit Covid-19, serangan siber dan spionase, peredaran dan penyalahgunaan narkoba.
“Untuk ancaman potensial, perang konvensional di Laut China Selatan. Memang masih dalam bentuk saling pamer kekuatan. Tapi kita tetap waspada dan mendorong ASEAN sebagai zona perdamaian, kebebasan dan netral,” kata Djoko.
Dalam perkembangan perang modern, ancaman-ancaman itu hadir pada saat yang bersamaan bahkan terkadang saling terkait.
Saat ini, dalam menghadapi dinamika di Laut China Selatan, TNI mengerahkan kemampuan dan kekuatan untuk selalu hadir di Laut Natuna Utara yang berbatasan dengan Laut China Selatan.
“TNI menghadirkan kapal-kapal kombatan dan pesawat patroli maritim, sebagai bentuk kehadiran yang terus menerus, sinergi dengan lembaga lain seperti Bakamla (Badan Keamanan Laut),” kata Hadi.
Pada saat yang sama, TNI di berbagai penjuru nusantara melaksanakan operasi penanganan medis, operasi pengamanan, operasi dukungan, dan operasi penegakan disiplin protokol kesehatan. Seluruh operasi ini dilaksanakan oleh Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) I, II dan III.
Untuk bisa menghadapi spektrum ancaman yang semakin kompleks, TNI mengembangkan kemampuan ketiga matra secara terpadu. Adanya Kogabwilhan memungkinkan interoperabilitas komando dan pengendalian operasi.
Djoko mengatakan, telah ada perubahan kebijakan terkait pertahanan. Ia mencontohkan kebijakan sinkronisasi gelar satuan TNI dengan paradigma pembangunan nasional yang tidak lagi Jawa Sentris tetapi Indonesia Sentris.
Untuk pembangunan Kekuatan Pokok TNI Tahun 2020-2024 tetap melanjutkan Rencana Strategis Tahap II (2015-2019).
Untuk menjaga kontinuitas, diadakan strategi pembangunan TNI yang terdiri dari rematerialisasi, revitalisasi, relokasi dan pengadaan serta penghapusan dengan memprioritaskan tiga aspek utama pemenuhan pembangunan yang meliputi: Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista), Pemeliharaan dan Perawatan, serta Organisasi dan Sarana Prasarana.
Namun pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie mengkritik pembangunan kekuatan TNI selama ini yang berdasarkan pemenuhan Kebutuhan Pokok Minimum (Minimum Essential Force–MEF). Menurutnya, pembelian persenjataan terutama alutsista seharusnya berbasis pada ancaman yang dihadapi, anggaran, kapasitas, dan kapabilitas.
“Kalau MEF itu pembelian berbasis daftar belanja. Jadi apa yang mau dibahas? Aspek-aspek dasar pemenuhannya sangat kurang,” kata Connie.
Menurut Connie, perencanaan pembangunan kekuatan TNI seharusnya lebih jelas mendefinisikan ancamannya.
Selain itu, ia menyarankan agar konsep pembangunan kekuatan TNI tidak lagi hanya mentargetkan pemenuhan kebutuhan pokok minimal, tetapi harus ideal. Oleh karena itu, tidak saja MEF harus diubah, tetapi juga doktrin dari angkatan darat, laut, dan udara perlu diubah agar sistem pertahanan Indonesia lebih terintegrasi.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Effendi Simbolon mengatakan, berdasarkan ancaman yang ada seharusnya pemerintah memberi perhatian yang lebih optimal pada pembangunan kekuatan TNI. Apalagi, ancaman terhadap kedaulatan negara baik dari luar maupun dalam negeri, terus meningkat.
“Ini PR (pekerjaan rumah) besar untuk kita, di HUT ke-75 TNI. Dari rezim ke rezim dana alutsista terlalu kecil. Kekuatan tiga matra, AD, AL, dan AU, jauh tertinggal dibanding kebutuhannya menghadapi ancaman,” kata Effendi.
Menurut Effendi, selama ia 20 tahun menjadi anggota DPR, belum ada yang signifikan kebijakannya dalam memenuhi ketercukupan anggaran TNI, baik untuk alutsista maupun kesejahteraan anggota TNI.
Akibatnya, kekuatan alutsista Indonesia terus tertinggal, bahkan dari negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
“Kalau terjadi sesuatu, bagaimana kalau mereka datang ke wilayah kita untuk mencari logistik. Lalu, siapkah kita menghadapi hal itu dengan kemampuan alutsista yang ada, keterampilan perang prajurit, dan strategi pertahanan yang kita miliki,” kata Effendi.