Di tengah minimnya anggaran pertahanan, pengadaan alat utama sistem persenjataan bekas yang tua dan kuno kerap menjadi pilihan. Pilihan yang kemudian justru memberatkan dan gagal menciptakan efek gentar.
Oleh
Edna C Pattisina
Ā·4 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Defile kendaraan tempur seusai Upacara Peringatan HUT ke 74 Korps Marinir Tahun 2019 di Lapangan Kesatrian Marinir Sutedi Senaputra, Bhumi Marinir Karangpilang, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (15/11/2019).
Di tengah minimnya anggaran pertahanan, pengadaan alat utama sistem persenjataan bekas yang tua dan kuno kerap menjadi pilihan. Pilihan yang kemudian justru memberatkan dan gagal menciptakan efek gentar.
Mengutip data Stockholm International Peace Research Institute, sejak tahun 2000, anggaran pertahanan Indonesia tidak lebih dari 1 persen produk domestik bruto. Bandingkan dengan Singapura yang anggaran pertahanannya bisa mencapai 3,3 persen PDB dan Malaysia 1,5 persen PDB.
Pilihan pada alat utama sistem persenjataan (alutsista) bekas atau kuno akhirnya kerap diambil untuk mengatasi kebutuhan yang mendesak di tengah keterbatasan anggaran. Sejumlah contoh di masa lalu memperlihatkan hal tersebut, antara lain saat pemerintah membeli pesawat tempur A-4E Skyhawk dari Israel pada 1979, main battle tank Leopard dari Jerman pada 2012, dan tiga kapal multirole light frigate dari Brunei Darussalam pada 2014.
Akan tetapi, dorongan publik membuat beberapa kali Presiden Joko Widodo menyampaikan komitmen untuk tidak lagi akan membeli alutsista bekas.
Parade kendaraan tempur menghiasi Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, untuk menyemarakkan peringatan HUT ke-74 TNI, Sabtu (5/10/2019).
Maka, tak mengherankan, informasi yang bocor dari Kementerian Pertahanan Austria tentang rencana Indonesia membeli 15 pesawat tempur bekas jenis Eurofighter Typhoon, pertengahan Juli lalu, menuai kontroversi. Selain tak sesuai komitmen Presiden, ada persoalan biaya yang tinggi dari sisi pengoperasian pesawat itu, lalu kekhawatiran akan tahun hidup pesawat, suku cadang, ditambah pemeliharaan.
Persoalan-persoalan ini sebenarnya sudah muncul pada alutsista bekas yang dibeli oleh pemerintah sebelumnya.
Ambil contoh, pembelian kapal-kapal perang Jerman Timur berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1992. Ada 39 kapal perang yang terdiri dari 16 korvet Parchim Class, 14 LST (landing ship tank) Frosch Class, dan 9 penyapu ranjau.
Laksamana (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno, yang pernah menjadi Komandan Kapal KRI Teluk Lampung yang merupakan Frosch Class, menceritakan, kapal-kapal Jerman Timur itu sesungguhnya didesain beroperasi di Laut Baltik yang tenang.
Kompas/Wawan H Prabowo
Tim akrobatik TNI Angkatan Udara unjuk kebolehan di langit Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, untuk menyemarakkan peringatan HUT ke-74 TNI, Sabtu (5/10/2019).
Laut Baltik dikelilingi daratan Eropa dan memiliki bagian keluar yang sempit dan dangkal. Tidak heran, airnya relatif tenang serta salinitasātingkat keasinanārendah karena banyaknya muara sungai. Salinitas di Laut Baltik berkisar 10 gram garam/1.000 gram air laut, bandingkan dengan di Indonesia yang salinitas lautnya berada di angka 32-34. Ukuran Laut Baltik juga relatif kecil, yaitu 377.000 km persegi, dibandingkan dengan luas lautan Indonesia 5,8 juta km persegi.
Laksamana Madya (Purn) Widodo yang pernah menjadi Wakil Komandan KRI Gilimanuk dan Komandan KRI Cirebon, keduanya kapal perang Jerman Timur, menambahkan, desain awal kapal itu untuk sekali serang dari Jerman Timur ke Jerman Barat lewat Baltik. āBukan untuk laut lepas, apalagi samudra,ā ujarnya.
Tedjo juga mengakui kapal itu tidak untuk laut lepas. Namun, baik Tedjo maupun Widodo mengakui kualitas kapal tersebut di masa-masa awal penggunaannya. Walaupun dibeli Indonesia setelah tiga tahun tidak digunakan, setelah perbaikan di sana-sini, terbukti kualitas logamnya bagus dan kecepatannya sangat tinggi.
Kebutuhan Indonesia
Akan tetapi, kecepatan kapal perang Jerman Timur tersebut membawa konsekuensi pada borosnya BBM dan pendeknya waktu operasi. Dua hal ini tak cocok dengan Indonesia yang membutuhkan kapal yang bisa berpatroli di laut luas tanpa harus sering mengisi logistik.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Warga mengunjungi KRI Teluk Cirebon 543 di Dermaga Muarajati, Pelabuhan Cirebon, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (9/12/2019). Kapal ini dibuat 28 September 1979 di Jerman Timur.
Persoalan lainnya, mahalnya pemeliharaan. Dengan kondisi salinitas di perairan Indonesia yang tinggi, kapal-kapal itu lebih mudah berkarat. Widodo mengatakan, kapal itu harus dicat antikarat setiap bulan.
Terkait suku cadang, awalnya ada 300 kontainer yang berisi suku cadang sebagai bagian dari paket pembelian. Namun, karena sulitnya penataan, suku cadang sulit dicari saat diperlukan.
Yang makin menyulitkan, pabrik kapal itu sudah tutup. Akibatnya, anak buah kapal harus mencari atau membuat suku cadang serupa untuk mengganti yang lama.
āDi sini mulai terjadi penurunan fungsi karena kalau suku cadang yang asli, kan, sudah cocok semuanya, termasuk absorpsi getaran kapal dan lainnya,ā kata Widodo.
Tangkapan layar judul berita Kronen Zeitung, media Austria yang mengabarkan bahwa Menhan Indonesia Prabowo Subianto mengirim surat ke Menhan Austria untuk menjajaki pembelian 15 pesawat tempur Eurofighter Typhoon milik AU Austria.
Potensi korupsi
Di luar persoalan-persoalan itu, pengadaan kapal-kapal perang Jerman Timur menuai kontroversi terbesar karena dugaan penggelembungan anggaran pengadaan hingga puluhan kali dari harga seharusnya. Kasus ini menunjukkan pembelian alutsista berpotensi menjadi ajang korupsi.
Terkait potensi korupsi ini, Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan Djoko Purwanto menekankan telah ada mekanisme pengawasan berupa tim monitoring yang sifatnya ad hoc.
Adapun mengenai pengadaan alutsista saat ini, Wakil Menteri Pertahanan Wahyu Trenggono pernah mengatakan TNI membutuhkan alutsista sementara. Dalam rencana pengadaan Eurofighter Typhoon, misalnya, pesawat itu dibutuhkan di antaranya untuk melatih pilot dan menutupi kekurangan pesawat-pesawat baru yang pengadaannya memerlukan waktu sekurangnya 5 tahun (Kompas, 24/7/2020).
Terlepas dari hal itu, pengadaan kapal perang dari Jerman Timur patut menjadi pelajaran. Yang terpenting lagi, tujuan membeli alutsista adalah memberikan efek gentar. Jika yang dibeli alutsista tua dan kuno, efek gentar jelas tak akan muncul.