KPK kini seperti berjalan tertatih-tatih dalam keadaan yang gelap. Kolaborasi bersama masyarakat pun perlu terus dilakukan untuk kembali membangkitkan lembaga antirasuah.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penindakan dan pencegahan korupsi bukan semata tugas para penegak hukum, melainkan juga menjadi tugas semua pihak. Sebagai upaya memberikan pemahaman lebih terkait dengan upaya melawan korupsi kepada publik, Komisi Pemberantasan Korupsi mengadakan kegiatan Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi.
Kegiatan Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi (AJLK) 2020 menghadirkan kelas intensif bagi 35 peserta lolos yang berasal dari latar belakang jurnalis dan non-jurnalis. Para peserta yang disebut sebagai KawanAksi ini akan mengikuti kelas secara dalam jaringan selama delapan hari kerja sejak Senin (5/10/2020).
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar menyampaikan, kegiatan AJLK bertujuan memberikan pemahaman kepada publik terkait dengan upaya pemberantasan korupsi. Pemahaman dibutuhkan agar ruang kolaborasi dengan masyarakat dapat terjadi.
”Baik oleh jurnalis, akademisi, maupun masyarakat secara umum diharapkan memiliki semangat yang sama dalam pemberantasan korupsi. Kita semua bisa terus menyatukan diksi, merawat negeri, dan menghasilkan karya untuk melawan korupsi,” ujar Lili dalam pembukaan kelas intensif AJLK.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK Febri Diansyah mengatakan, kegiatan ini diharapkan tidak hanya memberikan pemahaman terkait dengan teknik jurnalistik, tetapi lebih jauh juga berkaitan dengan pemahaman tentang korupsi. Bukan hanya dari aspek hukum, melainkan juga terkait dengan sosial, politik, dan ekonomi.
Kegiatan AJLK akan diisi 25 pengajar dan para mentor yang mendampingi peserta untuk berdiskusi dalam kelompok kecil. Adapun tugas akhir yang akan diberikan terkait dengan bagaimana memberantas korupsi sesuai dengan peran masing-masing.
”Melalui kegiatan ini diharapkan akan ada semakin banyak inisiatif pemberantasan korupsi yang dilakukan masyarakat. Kita semua berharap pemberantasan korupsi tetap menjadi misi kita bersama, menjadi kerja kita bersama teman-teman semua,” kata Febri.
Perubahan paradigma
Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menilai, pendekatan melihat korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang terorganisasi secara sempurna sudah mulai melemah. Terlebih lagi dengan direvisinya Undang-Undang KPK yang menunjukkan ”pembunuhan” bagi lembaga antirasuah.
Saat ini, kata Zainal, pembicaraan pembangunan ekonomi tidak diikuti pemberantasan korupsi, bahkan korupsi cenderung dipandang sebagai oli pembangunan. Padahal, pemberantasan korupsi sangat berkait erat dengan kemajuan pembangunan Indonesia.
”Apakah nyaris tidak ada masa depan untuk pemberantasan korupsi? Untuk hari ini tidak karena KPK sedang gelap, tetapi suatu saat saya percaya akan terbit matahari,” ujar Zainal.
Selain menunggu putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian UU KPK Nomor 19 Tahun 2019, Zainal menyampaikan, peta jalan pemberantasan korupsi harus dibuat. Khususnya berkaitan dengan pendekatan perbaikan kelembagaan atau penanganan kasus umum.
Seleksi komisioner KPK ke depan pun perlu ada perbaikan. Meski tidak mungkin sepenuhnya tidak melibatkan presiden dan parlemen, setidaknya dapat memperkecil konteks politik untuk menghindarkan kepentingan partai politik tertentu.
”Kalau sekarang, misalnya anggota Komisi III DPR ada 53 orang dan dibutuhkan 50 persen plus 1 (27 orang) untuk memilih lima komisioner KPK yang bisa saja hanya berasal dari tiga partai sehingga dapat menyetir kepentingan KPK. Lain halnya apabila one man one vote, akan ada agenda politik berbeda yang bisa dimainkan partai lain,” tutur Zainal.
Upaya lain agar terpilih komisioner KPK yang bebas dari kepentingan partai politik dapat dilakukan pemilihannya oleh DPD agar kepentingan daerah yang dibawa. Memperpanjang masa jabatan komisioner KPK juga dapat menjadi pilihan untuk terhindar dari pengaruh konstelasi politik.
”Kita hidup di proses yang panjang dan ini (pemberantasan korupsi) pertarungan besar yang harus dilakukan. Jatuh dan kalah berkali-kali itu enggak penting, yang penting seberapa kuat kita berdiri kembali dan melakukan perlawanan balik (terhadap serangan pemberantasan korupsi),” ujar Zainal.
Penyidik senior KPK, Novel Baswedan, juga mengatakan, kondisi KPK saat ini sedang tidak berdaya dan banyak hal yang membelenggu sehinggga kerja KPK menjadi tidak optimal. Penindakan yang terbelenggu akibat revisi UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 juga membuat pencegahan menjadi tidak optimal.
”Ketika melihat KPK dilemahkan dan berjalan tertatih-tatih, kita berharap beberapa waktu ke depan ada kesempatan KPK bisa bangkit kembali. Menjaga KPK sekarang menjadi hal yang bisa dilakukan meski di tengah segala persoalan dan kelemahan yang terjadi,” ucap Novel.
Penyelidik KPK, Aulia Postiera, mengatakan, saat UU KPK direvisi, KPK sebagai lembaga independen bisa dikatakan sedang menuju kematian. Meski begitu, pekerjaan pemberantasan korupsi harus tetap dijalankan.
”Saya melihat, walau banyak masyarakat yang apatis, banyak juga yang punya harapan besar (terhadap KPK). Sebagai penegak hukum, saya selalu memotiviasi diri, dalam keadaan apa pun, saya berusaha menuntaskan kasus yang sedang ditangani,” kata Aulia.