Masyarakat Sipil Minta Pemerintah Tak Tutup Opsi Perppu Pilkada
Pemerintah diharapkan tidak menutup opsi penerbitan perppu pilkada. Perppu bisa mengatur sanksi tegas pelanggar protokol kesehatan di pilkada dan mengatur pemungutan suara dalam situasi khusus pandemi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah tren penularan Covid-19 yang masih meningkat, pemerintah, penyelenggara pemilu, dan DPR diminta untuk mengevaluasi perkembangan tahapan untuk menentukan langkah selanjutnya. Selain itu, pemerintah juga diharapkan tidak menutup opsi penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu untuk mengatur sanksi tegas dan aturan khusus pemungutan suara pada masa pandemi.
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) dalam diskusi ”Tiga Kandidat Wafat, Pilkada Jalan Terus?”, Sabtu (3/10/2020), mengatakan, keputusan untuk melanjutkan pilkada sudah diambil. Semua pemangku kepentingan pada akhirnya tidak bisa lari dari keputusan yang telah diambil itu.
Sekarang, tugas pemerintah adalah melaksanakan evaluasi secara berkala, misalnya dari minggu ke minggu. Sebab, berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan KawalCOVID.id, angka penularan Covid-19 sebanyak 295.499 orang. Jumlah itu meningkat 4.317 dalam satu hari. Adapun jumlah pasien yang meninggal 10.972, dan pasien sembuh 221.340.
Sementara itu, ada peserta pilkada yang dilaporkan meninggal karena terpapar Covid-19. Mereka di antaranya adalah calon bupati Berau, Kalimantan Timur; calon Bupati Karo, Sumatera Utara; calon wali kota Bontang, Kalimantan Timur.
Selain memperhatikan perkembangan penularan Covid-19, evaluasi pelaksanaan pilkada juga diatur dalam UU No 6/2020 tentang Penetapan Perppu No 2/2020. Pasal 201 A UU 6/2020 menyebutkan penundaan pelaksanaan pilkada masih bisa dilakukan apabila penularan Covid-19 belum bisa dikendalikan. Evaluasi berkala itu tentunya harus didasarkan pada keselamatan masyarakat sebagai prioritas.
Saat ini, meskipun KPU sudah tiga kali merevisi peraturan KPU yang mengatur tentang protokol kesehatan, regulasi itu dianggap masih kedodoran dalam memitigasi penularan wabah. Lucius menyebutkan, aturan terbaru, yaitu PKPU No 13/2020, adalah aturan yang tanggung. Sanksi yang diatur dalam aturan itu hanya sanksi tertulis, pembubaran, dan pengurangan masa kampanye selama tiga hari.
Tentu saja, aturan itu sangat lembek dan tidak bisa membuat efek jera. Akhirnya, banyak pelanggaran yang terjadi baik saat pendaftaran pasangan calon, maupun pada masa kampanye. Aturan tersebut mendesak untuk diperbaiki agar pelaksanaan pilkada tidak menjadi kluster baru penularan.
”Pihak yang telah memutuskan pilkada dilanjutkan itu, yaitu KPU, DPR, dan pemerintah harus bisa mengantisipasi agar pilkada tidak menjadi kluster baru penularan Covid-19. Oleh karena itu, regulasi wajib diperbaiki dan jika ingin lebih kuat, ya, harus ada perppu. Supaya penyelenggara tak lagi beralasan bahwa PKPU tidak bisa keluar dari jalur UU Pilkada,” terang Lucius.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, menuturkan, sejak awal problem mendasar dari penetapan pilkada 9 Desember adalah ketiadaan instrumen hukum yang kuat. Praktik pemilu yang sukses di berbagai belahan dunia mensyaratkan adanya instrumen hukum yang kuat untuk memitigasi penularan wabah.
Namun, yang terjadi di Indonesia saat ini, pilkada tetap berjalan, tanpa dipenuhi dengan dasar hukum yang kuat. Inovasi instrumen hukum pilkada hanya mengandalkan PKPU yang terbatas karena tetap mengacu pada UU No 10/2016 tentang Pilkada.
”Ada dua hal yang tidak bisa dijangkau PKPU meskipun sudah direvisi tiga kali, yaitu tentang sanksi tegas dan aturan tentang pemungutan suara dalam situasi khusus pandemi. Itu semua harus diatur dalam peraturan setingkat UU agar ada skema hukum untuk memitigasi dampak pilkada di masa pandemi,” ujar Titi.
Urgensi penerbitan perppu di antaranya adalah untuk mengatur sanksi tegas yang memberikan efek jera kepada seluruh aktor yang terlibat dalam pilkada. Selain itu, juga untuk memperbaiki alur koordinasi antara Bawaslu, Kepolisian, dan Satpol PP untuk menindak pelanggar protokol kesehatan.
Pelanggar protokol kesehatan harus ditindak tegas karena mereka membahayakan jiwa orang lain. Namun, selama ini masih ada kesan antarpenegak hukum saling lempar tanggung jawab karena pemahaman mereka tentang regulasi yang belum baik.
Selain itu, perppu juga diharapkan dapat mengatur tentang pemungutan dan penghitungan suara dalam situasi khusus pandemi. Aturan detail tentang protokol kesehatan harus dibuat untuk meminimalisasi potensi penularan dan memastikan hak pilih warga terpenuhi.
Penyandang disabilitas, orang yang sedang sakit atau menjalankan isolasi, masyarakat adat, harus dijamin agar bisa memberikan suaranya. Salah satunya adalah dengan memberikan inovasi kotak suara keliling. Selain itu, pada saat penghitungan suara, untuk mengurangi kerumunan juga dapat diatur penghitungan suara secara elektronik. Inovasi aturan tersebut, menurut Titi, hanya bisa dilakukan jika pemerintah membuat perppu.
Wakil Sekretaris Jenderal PPP Achmad Baidowi mengatakan, jika memang diperlukan regulasi untuk mencegah penularan Covid-19 di pilkada, opsinya adalah penerbitan perppu. Itu dapat terjadi jika ada inisiatif dari pemerintah. DPR tidak bisa membuat revisi UU mendadak.
Usulan atau revisi UU hanya dapat dilakukan jika masuk daftar kumulatif terbuka. Rancangan UU di DPR hanya bisa dibahas setelah diajukan dalam program legislasi nasional. Namun, secara moril, Baidowi sepakat jika perppu dibutuhkan agar regulasi protokol kesehatan selama pilkada lebih kuat.
”DPR bisa saja usulkan itu, tetapi nanti saat pembahasan Prolegnas 2021 pada bulan November. Kalau sekarang, dalam situasi mendesak, ya harus pemerintah yang keluarkan perppu,” kata Baidowi.
Saat ini, yang bisa dilakukan parpol adalah mengimbau agar paslon yang maju di pilkada memaksimalkan kampanye daring. Terutama adalah daerah yang memiliki koneksi internet baik. Daerah yang kurang bagus koneksi internetnya, boleh menyelenggarakan pertemuan terbatas, tetapi sesuai aturan KPU.
Sementara itu, Kamhar Lakumani selaku Sekretaris Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat mengatakan, keselamatan publik adalah yang utama dalam pilkada serentak. Oleh karena itu, Demokrat juga sepakat jika pemerintah mengeluarkan perppu untuk memperbaiki regulasi yang ada. Di sisi lain, Partai Demokrat akan membentuk Satgas Covid-19 yang bertugas memonitor perkembangan di daerah.
Tugas satgas tersebut adalah memastikan bahwa paslon yang diusung dan didukung Demokrat mematuhi aturan protokol kesehatan. Pemantauan itu dilakukan dalam setiap tahapan sejak pendaftaran hingga masa kampanye ini.
”Pesan dari Ketum Demokrat Mas AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) adalah Demokrat harus menang dalam konstestasi pilkada, tetapi juga harus selamat dari Covid-19,” kata Kamhar.