Sepekan lebih waktu kampanye berjalan, terjadi terus pelanggaran protokol kesehatan. Tak cuma partisipasi pemilih yang bisa turun, pilkada di tengah lonjakan kasus Covid-19 juga bisa memperparah kondisi pandemi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan pemilihan umum di tengah lonjakan kasus positif Covid-19 justru bisa memperparah kondisi pandemi Covid-19. Bahkan, di sejumlah negara, tingkat partisipasi pemilih justru menurun drastis.
Senior Manajer Program International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) Adhy Aman saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (2/1/2020), mengatakan, sejumlah negara mengalami penurunan partisipasi pemilih ketika berkukuh menggelar pemilu di tengah pandemi virus korona pada Februari dan Maret 2020. Pada periode itu, kurva kasus positif Covid-19 belum menunjukkan tanda menurun.
Negara-negara tersebut, antara lain, Australia, yang tingkat partisipasi pemilihnya menurun dari 83 persen menjadi 77,3 persen. Perancis sebelumnya 63,6 persen menjadi 44,7 persen. Iran dari 60,09 persen menjadi 42,32 persen. Penurunan partisipasi paling signifikan terjadi di Mali dari 42,7 persen menjadi 7,5 persen.
Menurut Adhy, fenomena itu patut dijadikan pelajaran bagi Indonesia ketika ingin menggelar pilkada tahun ini. Apalagi, kurva kasus positif Covid-19 di Indonesia masih tinggi.
Pada Jumat ini, jumlah kasus positif di Indonesia bertambah 4.317 orang dari hari sebelumnya sehingga jumlah totalnya mencapai 295.499 orang.
”Kalau kurva sedang meningkat, tentu risiko penularan ataupun penambahan kasus lebih tinggi meski protokol kesehatan diterapkan. Itu patut diperhatikan, terutama dampak kepada psikologi pemilih. Karena mau sehebat apa pun penyelenggara pemilu melakukan persiapan, kalau pemilihnya sendiri tidak percaya bahwa risiko akan rendah, mereka tidak akan datang memilih. Adapun kesuksesan pemilu diukur, antara lain, dari partisipasi pemilih,” tutur Adhy.
Berbeda dengan Korea Selatan, Mongolia, Tokyo, Singapura, negara-negara tersebut menggelar pemilu ketika kurva kasus positif Covid-19 sedang landai. Dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan, kekhawatiran lonjakan kasus pun tidak terjadi.
Karena mau sehebat apa pun penyelenggara pemilu melakukan persiapan, kalau pemilihnya sendiri tidak percaya bahwa risiko akan rendah, mereka tidak akan datang memilih.
Covid-19 di Sabah perlu mendapat perhatian
Dari catatan IDEA, lebih jauh Adhy mengatakan, belum terdapat negara yang mengalami kenaikan kasus positif Covid-19 akibat pergelaran pemilu di kawasan Asia Pasifik. Namun, lonjakan kasus Covid-19 di Negara Bagian Sabah, Malaysia, perlu menjadi perhatian.
Kamis kemarin, terjadi lonjakan 260 kasus baru Covid-19 di Sabah. Ini lonjakan terbesar kedua sejak awal pandemi setelah munculnya 277 kasus baru pada 4 Juni lalu.
Menurut Adhy, masih terlalu dini mengkaitkan pemungutan suara pada 26 September di Sabah dengan peningkatan infeksi virus. Sebab, data yang ada baru menunjukkan kasus selama satu minggu.
”Namun, faktanya memang menunjukkan adanya peningkatan (kasus positif Covid-19) saat kegiatan kampanye berlangsung. Peningkatan kasus sudah mulai terlihat sejak 20 September atau enam hari sebelum pemilu atau hampir seminggu sejak kampanye dimulai pada tanggal 14 September,” ucap Adhy.
Berkaca dari itu, Adhy berharap penyelenggara pemilu di Indonesia seharusnya bisa lebih tegas dalam mengatur kegiatan kampanye. Ia mencontohkan, di Singapura, segala bentuk pertemuan politik (political rally) dilarang. Begitu pula di Korea Selatan, segala pertemuan politik dilarang sehingga calon dan partai politik menerapkan kampange metode baru, seperti kampanye virtual dan perlombaan lewat daring.
Berbeda dengan Mongolia, di mana penyelenggara pemilunya masih membolehkan paslon untuk menggelar pertemuan publik asalkan mematuhi protokol kesehatan.
”Nah, karena dibuka peluang itu, partai-partai lebih memilih mengadakan metode konvensional. Karena dibuka pintunya. Berbeda kalau ada pelarangan, pasangan calon terdorong untuk berinovasi,” tutur Adhy.
Selain itu, menurut Adhy, paslon juga harus mampu menjadi teladan bagi konstituennya dalam mengurangi risiko penularan virus.
Penularan di kabupaten menurun
Zonasi risiko bergerak sangat dinamis. Kalau bahasa saya, the numbers react to our response. Kalau kitanya dalam menerapkan protokol masih lemah, membuat kerumunan, dan tidak patuh pada protokol kesehatan, akan sangat mungkin penambahan kasus terjadi lagi.
Secara terpisah, anggota Dewan Pakar Satgas Covid-19, Dewi Nur Aisyah, menjelaskan bahwa jumlah kabupaten/kota dengan risiko penularan tinggi di 309 daerah pilkada mengalami penurunan dalam empat pekan terakhir.
”Pada tanggal 6 September terdapat 45 kabupaten/kota dengan risiko tinggi. Kemudian, per tanggal 27 September terdapat 29 kabupaten/kota di risiko tinggi,” kata Dewi.
Namun, sebenarnya zonasi itu bukan jaminan mutlak. Sebab, risiko penularan sangat mungkin bergerak tinggi apabila pilkada tidak dibarengi penerapan protokol kesehatan yang ketat.
”Zonasi risiko bergerak sangat dinamis. Kalau bahasa saya, the numbers react to our response. Kalau kitanya dalam menerapkan protokol masih lemah, membuat kerumunan, dan tidak patuh pada protokol kesehatan, akan sangat mungkin penambahan kasus terjadi lagi,” tutur Dewi.