Mahfud MD: Jangan Biarkan Pelanggar Protokol Kesehatan di Pilkada 2020
Pembiaran terhadap pelanggar protokol kesehatan di Pilkada 2020 akan melahirkan pelanggaran lain. Data Satgas Covid-19, kerawanan di daerah yang menggelar pilkada menurun. Peningkatan justru di daerah yang tak pilkada.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah peningkatan tren pelanggaran di masa kampanye, pemerintah tetap akan melanjutkan tahapan Pemilihan Kepala Daerah 2020 dengan syarat pengetatan protokol kesehatan. Pengetatan protokol kesehatan akan dilakukan melalui tiga strategi, mulai dari pendekatan preventif, persuasif, hingga pidana. Aparat penegak hukum diminta tegas dalam penindakan agar pelanggaran tidak meluas.
Berdasarkan data Badan Pengawas Pemilu (Badan Pengawas Pemilu), tren pelanggaran terhadap protokol kesehatan mulai meningkat dalam kampanye. Pada 28-30 September, ditemukan pelanggaran protokol kesehatan di 35 kabupaten/kota. Sementara pada 26-27 September ada di 19 daerah.
Namun, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, seusai rapat analisis dan evaluasi pelaksanaan kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, Jumat (2/10/2020), di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, mengatakan, secara umum, pelaksanaan kampanye pilkada minggu pertama berjalan cukup baik.
Pelanggaran memang terjadi, tetapi, menurut dia, jumlahnya tidak signifikan.
Jenis pelanggaran pun, menurut dia, tidak fatal. Misal, dalam suatu pertemuan, dari batasan dihadiri 50 orang, ternyata yang hadir 53 orang. Ada pula, dari 50 orang yang hadir di pertemuan, hanya ada lima orang yang memakai masker dan sisanya tidak.
”Jadi, ini kira-kira 15 persen (dari total 309 daerah yang menggelar pilkada) dan kecil-kecil (jenis pelanggarannya) tidak menimbulkan dampak (penularan),” ujar Mahfud.
Hadir dalam rapat tersebut, Mendagri Tito Karnavian serta perwakilan dari seluruh instansi penegak hukum, penyelenggara pemilu, dan pejabat di seluruh daerah yang menggelar pilkada tahun ini.
Selain itu, Mahfud juga mengklaim sejumlah daerah yang menggelar pilkada justru keluar dari status zona merah Covid-19. Sebaliknya, daerah yang tak menggelar pilkada justru naik statusnya menjadi zona merah.
”Di daerah-daerah yang ada pilkada, total 309 daerah, justru zona merah turun dari 45 daerah menjadi 29 daerah. Sementara di daerah yang tidak ada pilkadanya, zona merah naik, dari 25 daerah menjadi 33 daerah. Di DKI Jakarta yang tidak ada pilkada justru angka infeksinya tinggi selalu menjadi juara satu tertinggi penularannya,” ucap Mahfud.
Ia menilai data tersebut menunjukkan Pilkada 2020 tak memengaruhi kerawanan Covid-19. Yang terpenting adalah komitmen pada protokol kesehatan oleh seluruh elemen masyarakat, pemerintah, dan lembaga sosial masyarakat.
”Dari hasil evaluasi hari pertama, kerawanan itu tidak terletak pada daerah itu ada pilkada atau tidak, tetapi pada kedisiplinan dalam melaksanakan protokol kesehatan,” kata Mahfud.
Penegakan disiplin
Dalam rapat analisis dan evaluasi, Mahfud telah menginstruksikan kepada Polri, TNI, dan aparat penegak hukum lainnya agar menegakkan disiplin melalui tiga strategi.
Pertama, pendekatan mitigatif atau preventif. Kedua, cara persuasif. Ketiga, penegakan hukum pidana. ”Kalau yang memang sengaja melawan petugas keamanan, itu ada tindakan penegakan hukum yang bersifat ultimum remedium (sanksi terakhir),” ujar Mahfud.
Penegakan sanksi pidana tersebut seperti terjadi di Tegal, Jawa Tengah. Sebelumnya, Wakil Ketua DPRD Tegal Wasmad Edi Susilo menggelar acara dangdut yang menimbulkan kerumunan. Hal ini berbuntut pada pencopotan Kapolsek Tegal Selatan Komisaris Joeharno dari jabatannya karena dianggap lalai dalam hal izin acara. Wasmad Edi juga ditetapkan sebagai tersangka karena tetap menggelar acara itu sekalipun sudah diperingatkan.
”Ya seperti itu ultimum remedium. Tetapi, kan, yang banyak terjadi dari 35 daerah (di pilkada yang terjadi pelanggaran protokol kesehatan) tadi lebih banyak (penindakan) persuasif, bisa diselesaikan secara persuasif,” katanya.
Mahfud pun mengingatkan kepada para aparat penegak hukum agar tidak membiarkan pelaku pelanggaran protokol kesehatan selama pilkada. Sebab, jika dibiarkan, pelanggaran akan terus terjadi sehingga berpotensi memperparah pandemi Covid-19. ”Sekali kita kalah terhadap pelanggaran, akan terjadi pelanggaran berikutnya di tempat lain sehingga masalah ini tetap harus tegas sebagai instruksi dari pemerintah pusat kepada para penegak disiplin protokol kesehatan,” kata Mahfud.
Ubah metode kampanye
Mendagri Tito Karnavian pun mengingatkan para pasangan calon (paslon) kepala-wakil kepala daerah dan tim kampanye agar tidak mengandalkan kampanye langsung yang mengundang kerumunan massa. Di tengah pandemi, strategi kampanye harus beralih ke virtual.
Tito mengapresiasi beberapa paslon yang telah menggunakan metode kampanye dengan menggunakan layar virtual.
”Itu salah satu teknik. Teknik lain bisa dengan membagikan masker, sabun, hand sanitizer, tempat cuci tangan ditaruh di ruang publik, seperti di bandara, terminal, stasiun, dermaga, dan di depan-depan gang. Dengan gambar paslon dan pesannya,” ujar Tito.
Tito berharap, dengan perubahan pola kampanye itu, persepsi publik terhadap pergelaran pilkada akan baik. Dengan demikian, publik akan bisa menemukan pemimpin yang juga mumpuni dalam mengatasi pandemi Covid-19 beserta dampak sosial-ekonomi di wilayahnya.
Dalam upaya penegakan disiplin, Tito juga meminta kepolisian tidak mengendurkan semangat hingga tahapan Pilkada 2020 usai. Menko Polhukam, lanjut Tito, akan menggelar rapat evaluasi rutin setiap minggu agar pelaksanaan pilkada berjalan sesuai rencana dan kepatuhan terhadap protokol kesehatan terjaga.
”Kalau ada peristiwa penting, kita bergerak entah di tingkat nasional atau di tingkat daerah, itu didorong melakukan analisis dan evaluasi, rapat koordinasi dengan Forkopimda (Forum Koordinasi Pimpinan Daerah) secara insidental,” kata Tito.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Doni Monardo, yang juga hadir saat rapat evaluasi tersebut, membenarkan tingkat kerawanan Covid-19 di daerah yang menggelar pilkada yang menurun dibandingkan dengan daerah yang tidak menggelar pilkada.
Menurut dia, baik daerah yang melaksanakan pilkada maupun yang tidak, sangat bergantung pada ketaatan dan kepatuhan terhadap protokol kesehatan.
”Jadi daerah yang ada pilkada ataupun tidak ada pilkada ini sangat tergantung terhadap protokol kesehatan, manakala aturan yang ada ditepati, ditaati, dan dipatuhi dan mereka yang melanggar diberi sanksi, kita yakin pelaksanaan pilkada bisa berjalan lebih baik lagi,” ujarnya.