Pemotongan Hukuman Terpidana Korupsi Jadi Alarm bagi Pemberantasan Korupsi
Politik hukum pemberantasan korupsi di Mahkamah Agung, dinilai berubah.. Hal ini terlihat dari 23 putusan PK yang memberi keringanan hukuman bagi koruptor. Sebelumnya, MA kerap kali memperberat hukuman terpidana korupsi
JAKARTA, KOMPAS — Banyaknya pengurangan hukuman terhadap koruptor menjadi alarm bagi pemberantasan korupsi yang berjalan mundur. Karena itu, putusan yang dijatuhkan oleh majelis peninjauan kembali perlu diperiksa oleh badan pengawasan Mahkamah Agung.
Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi, sejak 2019 hingga September 2020 terdapat 23 hukuman terhadap koruptor yang dikurangi MA melalui peninjauan kembali (PK). Adapun PK yang telah diajukan oleh terpidana korupsi pada Januari-September 2020 yang belum diputus ada 37 perkara.
Seharusnya ada pemeriksaan terhadap putusan tersebut yang dilakukan Badan Pengawas (bawas) MA untuk melihat apakah ada akal-akalan di dalamnya (Asfinawati).
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, mengatakan, Jumat (2/10/2020), fenomena pengurangan hukuman ini menjadi alarm bagi pemberantasan korupsi.
”Seharusnya ada pemeriksaan terhadap putusan tersebut yang dilakukan Badan Pengawas (bawas) MA untuk melihat, apakah ada akal-akalan di dalamnya. Jika tidak ada pemeriksaan, hakim menjadi tidak tersentuh,” kata Asfinawati.
Baca juga: Potongan Hukuman bagi Koruptor Berlanjut, Komitmen MA Dipertanyakan
Ia mencontohkan, pengurangan hukuman bagi terpidana kasus korupsi proyek Hambalang, Anas Urbaningrum, dari semula 14 tahun penjara menjadi 8 tahun, perlu diperiksa. Sebab, jika memang ada kesalahan di pengadilan sebelumnya berarti Anas seharusnya dinyatakan bebas. Namun, hakim justru memberikan pengurangan hukuman.
Dalam putusan tersebut juga disebutkan bahwa saksi yang dihadirkan menyatakan Anas tidak melakukan kesalahan. Menurut Asfinawati, seharusnya hakim juga memeriksa alat bukti lain dan tidak hanya berdasarkan keterangan dari saksi. Hal tersebut memperlihatkan sebuah permainan sehingga terkesan bukti tidak cukup.
Menurut Asfinawati, banyaknya pengurangan hukuman terhadap koruptor menunjukkan politik hukum terhadap pemberantasan korupsi sedang berjalan ke arah sebaliknya. Sebab, peradilan bisa dipengaruhi oleh situasi politik dan tekanan dari masyarakat.
Banyaknya pengurangan hukuman terhadap koruptor menunjukkan politik hukum terhadap pemberantasan korupsi sedang berjalan ke arah sebaliknya.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Eddy OS Hiariej menjelaskan, berdasarkan asas Reformatio Inmelius, permohonan PK jika dikabulkan, MA harus menjatuhkan hukuman yang lebih ringan termasuk bebas atau lepas.
Baca juga: Pemberantasan Korupsi Semakin Suram
”Secara normatif, PK diajukan jika terdapat novum, pertentangan antara pertimbangan dan putusan, atau kesesatan hakim,” kata Eddy.
Ia menjelaskan, banyak terpidana koruptor yang mengajukan PK dengan harapan MA mau menerimanya sehingga mereka akan mendapatkan keringanan hukuman. Sebab, selama ini ada kecenderungan terdakwa korupsi dalam pemeriksaan kasasi di MA diganjar dengan hukuman tinggi.
Padahal, secara doktrin MA bukan judex factie melainkan judex juris sehingga putusan kasasi seharusnya maksimal sama dengan putusan judex factie dalam penghukuman. Menurut Eddy, kemungkinan terpidana korupsi banyak yang mengajukan PK karena melihat kesesatan pada putusan kasasi MA yang menghukum lebih berat dari judex factie.
MA bukan judex factie melainkan judex juris, sehingga putusan kasasi seharusnya maksimal sama dengan putusan judex factie dalam penghukuman.
Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji mengungkapkan, apa pun polemik dan perdebatan terhadap putusan PK oleh MA, sebaiknya putusan MA tetap harus dihormati sebagai representasi lembaga tertinggi yudisial. MA memiliki pertimbangan tersendiri atas alasan pengajuan kasus-kasus PK yang sifatnya multi variasi.
Fenomena yang terjadi saat ini lebih kepada perubahan perilaku dari para pelaku korupsi dan sistem penegakan hukum yang sudah mengarah pada rehabilitasi serta pengobatan kepada pelaku. Alhasil, sistem penegakan hukum lebih berbasis pada pendekatan preventif daripada represif yang mengoptimalkan hukuman.
Menurut Indriyanto, pendekatan preventif terhadap pemberantasan korupsi diharapkan akan berpengaruh pada minimalisasi peningkatan korupsi ke depan. Namun, tetap harus ada keseimbangan pada tataran penindakannya.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan, PK merupakan upaya hukum luar biasa yang dimaksudkan untuk mengoreksi dan memperbaiki kesalahan atau kekeliruan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
”Sebab, bukan tidak mungkin dalam putusan tersebut terdapat kesalahan atau kekeliruan yang merupakan kodrat manusia, termasuk hakim yang memeriksa dan memutus perkara,” kata Andi.
Bukan tidak mungkin dalam putusan tersebut terdapat kesalahan atau kekeliruan yang merupakan kodrat manusia, termasuk hakim yang memeriksa dan memutus perkara (Andi Samsan Nganro).
Ia menjelaskan, menurut Pasal 263 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ada tiga alasan yang dapat dijadikan dasar terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan PK. Alasan tersebut yakni ada novum, ada pertentangan dalam putusan atau antarputusan satu sama lain, atau ada kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.
Apabila terpidana atau ahli warisnya mengajukan permohonan PK dengan mendalilkan alasan-alasan atau salah satu alasan yang dimaksud dan menurut MA dalam pemeriksaan PK bahwa alasan tersebut cukup beralasan serta terbukti, maka MA dapat mengabulkan. Dengan dikabulkannya PK tersebut, hukuman terpidana bisa dikurangi.
Andi mengungkapkan, beberapa alasan pengurangan hukuman itu terjadi, di antaranya pemohon PK/terpidana si A berkeberatan karena kualitas perbuatannya sama dengan terdakwa lain si B yang pemeriksaan perkaranya terpisah dengan si A, tetapi hukuman yang dijatuhkan berbeda. Misalnya, Si A dijatuhi hukuman 7 tahun, sedangkan si B dipidana 3 tahun.
Hukuman si A bisa diserasikan atau diperbaiki/dikurangi menjadi 5 tahun. Begitu juga terpidana yang sudah memulihkan atau sebagian besar telah mengembilan kerugian keuangan negara dapat dikurangi hukumannya secara proporsional. Hal tersebut sesuai penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, pengembalian kerugian keuangan negara dapat dipertimbangkan sebagai keadaan yang meringankan.
Beberapa alasan pengurangan hukuman itu terjadi, di antaranya pemohon PK/terpidana si A berkeberatan karena kualitas perbuatannya sama dengan terdakwa lain si B yang pemeriksaan perkaranya terpisah dengan si A, tetapi hukuman yang dijatuhkan berbeda.
Apalagi, setiap putusan hakim wajib mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Hal ini juga sering dijadikan pertimbangan majelis hakim PK sehingga mengurangi hukuman terpidana. Misalnya, peran terpidana hanya membantu dan bukan pelaku utama, sedangkan pidana yang dijatuhkan dinilai terlampau berat.
Baca juga: Tren Putusan Tak Wakili Harapan Publik
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengungkapkan, PK adalah upaya hukum luar biasa sehingga tak ada lagi upaya hukum lain yang dapat dilakukan KPK. Ia hanya berharap, KPK segera memperoleh salinan putusan dari perkara-perkara tersebut.
”Yang pasti KPK telah melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Biar masyarakat saja yang menilai makna rasa keadilan dan semangat pemberantasan korupsi dalam putusan-putusan PK tersebut,” kata Nawawi.