MA: Putusan PK Kasus Korupsi Dilandasi Pertimbangan Kuat
Pasca potongan hukuman terpidana Anas Urbaningrum, MA menilai putusan PK didasari oleh landasan filosofis, yuridis, maupun sosiologis.Namun, KPK menilai hal itu jadi modus yang bertentangan dengan pemberantasan korupsi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARIDAN PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung menilai putusan peninjauan kembali yang diberikan kepada terpidana kasus korupsi sudah didasari oleh landasan filosofis, yuridis, ataupun sosiologis. Dari pertimbangan hukum tersebut, bisa diketahui kerangka dan alur berpikir hukum yang dibangun majelis hakim. Meskipun demikian, Komisi Pemberantasan Korupsi menilai tren pengurangan hukuman koruptor melalui putusan PK MA justru berpotensi menjadi modus.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah mengatakan, peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang menjadi hak asasi bagi terpidana. Terpidana termasuk koruptor bisa mengajukan PK apabila putusannya sudah berkekuatan hukum tetap dan sudah menjalani pidananya. Tata cara pengajuan PK ini juga sudah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012.
Majelis pemeriksa perkara PK akan mengadili dan memutus perkara sesuai dengan ketentuan undang-undang dan rasa keadilan. Dalam memutus, majelis hakim memiliki independensi yang dijamin oleh undang-undang dan tidak dapat dipengaruhi oleh siapa pun. Hakim juga memiliki rasa keadilan.
”Oleh sebab itu, siapa pun harus menghormati putusan apa adanya. Kritik, analisis, kajian terhadap putusan harus dilakukan dengan membaca putusan terlebih dahulu secara lengkap,” kata Abdullah saat dikonfirmasi, Kamis (1/10/2020).
”Oleh sebab itu, siapa pun harus menghormati putusan apa adanya. Kritik, analisis, kajian terhadap putusan harus dilakukan dengan membaca putusan terlebih dahulu secara lengkap.”
Dengan membaca putusan secara lengkap itu, dapat diketahui apa landasan filosofis, yuridis, ataupun sosiologis majelis hakim. Dari pertimbangan itu baru dapat diketahui penalaran hukum atau alur pikir yang dibangun oleh majelis hakim. Kritik, masukan, saran, dan analisis hendaknya dilontarkan setelah mengetahui alasan hukum (legal reasoning).
”Memahami putusan hakim tidak mungkin hanya membaca amarnya, tetapi harus membaca putusan secara tuntas,” kata Abdullah.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan, sejak September 2019 hingga kini, tercatat ada 23 perkara korupsi yang telah mendapatkan pengurangan hukuman melalui putusan PK. Namun, KPK belum menerima salinan putusan lengkap dari MA terkait perkara tersebut. KPK juga berharap agar PK ini tidak dijadikan modus bagi para koruptor untuk mengurangi hukumannya pada putusan tingkat pertama. Fenomena banyaknya permohonan PK ini perlu menjadi perhatian MA, karena meskipun hak terpidana, harus dapat memenuhi rasa keadilan dan komitmen dalam pemberantasan kejahatan luar biasa tersebut. Saat ini, masih ada 37 perkara yang ditangani KPK dan sedang diajukan PK oleh para narapidana kasus korupsi.
Putusan PK terbaru adalah pengurangan hukuman untuk terpidana kasus korupsi mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Anas mendapatkan potongan hukuman enam tahun, yaitu dari 14 tahun penjara menjadi 8 tahun penjara. Menurut majelis hakim agung PK, alasan permohonan terpidana didasarkan pada ”kekhilafan hakim” dapat dibenarkan. Meski dipotong, hak politik dipilih sebagai pejabat publik tetap dicabut selama 5 tahun.
Terkait dengan putusan itu, kuasa hukum Anas Urbaningrum, Firman Wijaya mengatakan, putusan PK MA telah memenuhi rasa keadilan, terutama pertanggungjawaban Anas sebagai Ketum Demokrat. Menurut dia, pengurangan hukuman adalah sebuah keniscayaan karena dalam upaya hukum luar biasa itu, hakim dapat memeriksa hal-hal yang bersifat kekeliruan pada putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap. Saat pengajuan PK, novum atau bukti baru yang dibawa ke MA, salah satunya adalah putusan majelis kasasi yang dianggap tidak proporsional.
”Kami belum bisa berkomentar jauh karena jujur belum menerima salinan putusannya. Namun, menurut kami, pengurangan hukuman pasti sudah dipertimbangkan oleh majelis hakim PK karena mereka memiliki kewenangan untuk memeriksa hal-hal yang sifatnya kekeliruan,” kata Firman.
”Bagi terpidana ini merupakan hak mereka untuk memperjuangkan keadilan melalui PK.”
Firman mengatakan, putusan hakim di tingkat kasasi dianggap tidak proporsional terutama dari aspek pembuktian. Oleh karena itu, majelis PK berwenang melakukan pendalaman pada kebenaran substansi putusan tersebut. Dengan pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis, hakim berkeyakinan untuk mengurangi hukumannya.
”Bagi terpidana ini merupakan hak mereka untuk memperjuangkan keadilan melalui PK,” kata Firman.
Komitmen pemberantasan korupsi
Ali Fikri menegaskan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang berdampak dahsyat pada kehidupan manusia. Oleh karena itu, salah satu upaya pemberantasannya adalah dengan memberikan efek jera terhadap hukuman para koruptor. Hal itu dibutuhkan agar calon pelaku lain tidak melakukan hal yang sama.
”Jangan sampai memunculkan anekdot hukum: bukan soal hukumnya, tetapi soal siapa hakimnya.”
Wakil Ketua KPK Nawawi Pamolango sebelumnya juga mengatakan, pihaknya menghargai independensi kekuasaan kehakiman. Namun, MA seharusnya juga dapat memberikan argumen sekaligus jawaban dalam putusan-putusannya, khususnya putusan PK.
Menurut dia, putusan hakim tidak memerlukan penjelasan asalkan di dalamnya memiliki legal reasoning atau penalaran hukum dari pengambil keputusan tersebut. Itu juga harus ditonjolkan sebagai alasan hukum dalam putusan yang memuat pengurangan hukuman tersebut. Penalaran itu dibutuhkan agar tidak menimbulkan kecurigaan publik yang bisa mengakibatkan tergerusnya rasa keadilan dalam pemberantasan korupsi. Apalagi, putusan PK yang mengurangi hukuman itu terjadi setelah MA ditinggal sosok hakim agung Artidjo Alkostar.
”Jangan sampai memunculkan anekdot hukum: bukan soal hukumnya, tetapi soal siapa hakimnya,” kata Nawawi.