Studi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, pasangan calon mengeluarkan dana kampanye melebihi total hartanya. Bawaslu diharapkan melakukan audit terkait kebenaran laporan pendanaan pasangan calon tersebut.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu diharapkan melakukan audit terkait kebenaran laporan pendanaan dari pasangan calon untuk pemilihan kepala daerah. Dari studi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, pasangan calon mengeluarkan dana kampanye melebihi total hartanya.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding mengatakan, Rabu (30/9/2020), dalam studi benturan kepentingan dalam pendanaan pilkada pada 2018, salah satu poin rekomendasi KPK adalah penerapan dan penegakan sanksi untuk pasangan calon yang melanggar peraturan.
”Penerapan dan penegakan sanksi untuk paslon yang melanggar peraturan meliputi kebenaran laporan pendanan oleh pasangan calon dan pelaksanaan audit oleh auditor dari Bawaslu,” kata Ipi.
Penerapan dan penegakan sanksi untuk pasangan calon yang melanggar peraturan meliputi kebenaran laporan pendanan oleh pasangan calon dan pelaksanaan audit oleh auditor dari Bawaslu.
Studi tersebut dilakukan berdasarkan survei pada 2015, 2017, dan 2018. Berdasarkan studi tersebut, pasangan calon mengeluarkan dana kampanye lebih dari setengah atau melebihi total hartanya. Alhasil, harta yang dimiliki pasangan calon bukan satu-satunya penentu kemenangan.
Dana terbesar yang dikeluarkan adalah untuk biaya pertemuan sebesar 60,1 persen, biaya operasional meliputi logistik, transportasi, konsumsi, atribut, baliho, dan lain-lain sebesar 42,4 persen. Adapun dana saksi sebesar 28,3 persen dan kampanye sebesar 24,2 persen.
Biaya mahar ke partai merupakan salah satu biaya terbesar dalam pendanaan pilkada. Besaran biaya mahar ditentukan melalui kesepakatan dua belah pihak yang diakui oleh 20 responden dengan besaran antara Rp 50 juta hingga Rp 500 juta per kursi.
KPK menemukan terdapat indikasi Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK), Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang tidak dilaporkan secara benar serta tepat.
Akibat dari besarnya biaya politik selama pilkada membuat calon membutuhkan dana dari penyumbang sehingga menimbulkan benturan kepentingan. Dominasi donatur sebagai pengusaha memiliki konsekuensi pada kemudahan perizinan dalam menjalankan bisnis, mengikuti proyek barang dan jasa pemerintah, serta keamanan dalam menjalankan bisnis.
Dalam webinar Pembekalan Calon Kepala Daerah dan Penyelenggara Pemilu yang diadakan oleh KPK, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Giri Suprapdiono mengatakan, pemberantasan korupsi di Indonesia belum optimal karena korupsi di sektor politik masih marak terjadi.
Sejak 2004 hingga Mei 2020, 27 dari 34 provinsi terdapat 397 kasus korupsi yang dilakukan pejabat politik. Secara keseluruhan, berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 253 kepala daerah dan 503 anggota DPR/DPRD menjadi tersangka dari Januari 2010-Juni 2018. Korupsi tersebut terjadi karena biaya yang tinggi dalam kontestasi.
Berdasarkan kajian Libang Kemendagri, biaya yang dikeluarkan untuk menjadi bupati atau wali kota sebesar Rp 20 miliar-Rp 30 miliar. Adapun untuk menjadi gubernur dibutuhkan biaya hingga Rp 20 miliar-Rp 100 miliar. Hal tersebut menyebabkan terjadinya benturan kepentingan dan para kepala daerah berusaha mengembalikan uang yang dikeluarkan dengan cara korupsi.
Anggaran pilkada
Secara terpisah, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengingatkan agar pilkada dapat berlangsung secara aman, lancar, dan dapat menjadi simbol demokrasi hak dari rakyat untuk memilih pemimpin yang dapat memajukan daerahnya.
Pengamanan itu bukan hanya kampanye, pemungutan, dan perhitungan suara. Sejak awal termasuk citra kondisi untuk mengamankan. Itu semua memerlukan biaya. Belum lagi alat proteksi bagi petugas pengamanan.
Untuk keberhasilan pilkada, maka dibutuhkan anggaran. Hingga saat ini, sudah ada sembilan provinsi yang mengalokasikan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) sebesar 100 persen untuk KPU. Adapun untuk Bawaslu dari NPHD sudah teralokasikan sebanyak 100 persen untuk sembilan provinsi, sedangkan kabupaten/kota 98,94 persen. Namun, anggaran pengamanan Polri/TNI baru 75,47 persen untuk sembilan provinsi.
Tito berharap, permasalahan tersebut segera dituntaskan karena pilkada sudah masuk pada tahapan inti. ”Pengamanan itu bukan hanya kampanye, pemungutan, dan perhitungan suara. Sejak awal termasuk citra kondisi untuk mengamankan. Itu semua memerlukan biaya. Belum lagi alat proteksi bagi petugas pengamanan,” kata Tito.
Dalam kampanye, Tito berharap para pasangan calon melakukannya dengan mematuhi protokol kesehatan. Mereka diharapkan melakukan kampanye dengan menggunakan alat peraga yang mendukung penanganan Covid-19, seperti masker.