Pembahasan RUU di Hotel Jauhkan Legislasi dari Publik
Langkah DPR membahas RUU Cipta Kerja kluster ketenagakerjaan bukan di gedung parlemen, melainkan di hotel, dikritik sejumlah kalangan. DPR dinilai tidak menunjukkan keteladanan ditengah penghematan dan ancaman resesi.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja oleh Badan Legislasi DPR di hotel berbintang selama empat hari terakhir ini dipertanyakan alasan dan dampaknya pada anggaran. Selain memakan anggaran lebih besar, pembahasan di luar gedung DPR itu juga menyulitkan pemantauan publik. Padahal, tema yang dibahas dalam RUU Cipta Kerja itu merupakan isu sensitif menyangkut kluster ketenagakerjaan.
Hingga Selasa (29/9/2020), tim perumus dan tim sinkronisasi dari Baleg DPR dan pemerintah masih membahas norma-norma yang telah disepakati di dalam pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) sebelumnya. Pembahasan masih dilakukan di luar Gedung DPR.
Sebelumnya, Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan, pembahasan di luar gedung DPR itu dilakukan karena ada pemadaman listrik di Gedung DPR. Sejak Kamis, pekan lalu, memang ada gangguan listrik di Gedung DPR. Pada Sabtu dan Minggu, Kesekretariatan Jenderal DPR memadamkan aliran listrik untuk perbaikan. Namun, pada Senin dan Selasa ini, listrik telah normal di Gedung DPR, tetapi pembahasan masih dilakukan di luar Gedung DPR.
Terkait hal ini, Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar, yang dihubungi terpisah, Selasa, mengatakan, pembahasan RUU dilakukan di luar Gedung DPR karena alat kelengkapan dewan (AKD) bersangkutan melakukan upaya mitigasi teknis.
”Itu upaya mitigasi teknis supaya tidak terhambat saja (pembahasannya). Lebih bersiap saja supaya lebih fokus tanpa gangguan teknis,” katanya.
Rapat di luar Gedung DPR pun tidak diatur detail di dalam tata tertib DPR. Kendati ada ketentuan untuk meminta persetujuan dari pimpinan DPR, termasuk untuk menyelenggarakan rapat di hari libur, penyelenggaraan rapat pembahasan RUU Cipta Kerja yang terkesan dikebut, menunjukkan tingginya kepentingan untuk mengesahkan RUU itu secepatnya, dengan cara apa pun, dan di mana pun. Pada dua kali reses di masa sidang sebelumnya, RUU itu juga tetap dibahas.
Praktik rapat DPR di hotel pun sejak lama dikritik, bahkan dilarang pimpinan DPR di era Setya Novanto, karena disoroti oleh publik dan dinilai menghabiskan anggaran.
”Kini, praktik itu dilakukan lagi. Rapat di hotel tentu anggarannya lebih besar daripada rapat di gedung sendiri. Namun, ada faktor pengelolaan anggaran juga di sini karena ini, kan, akhir tahun, dan Oktober sudah mau dibahas anggaran tahun depan sehingga rapat-rapat di hotel itu, antara lain, untuk memaksimalkan serapan anggaran,” kata Lucius Karus, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).
Kajian yang dilakukan Formappi, tahun 2018, menunjukkan, rata-rata untuk membahas dan menghasilkan satu RUU, DPR mengeluarkan anggaran Rp 6 miliar sampai Rp 7 miliar.
Kajian yang dilakukan Formappi, tahun 2018, menunjukkan, rata-rata untuk membahas dan menghasilkan satu RUU, DPR mengeluarkan anggaran Rp 6 miliar sampai Rp 7 miliar. Anggaran itu berasal dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN). Di samping anggaran pembahasan ditanggung DPR, ada juga anggaran pembahasan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
”Ini dulu kritik anggaran yang selalu kami sampaikan karena lebih banyak anggaran legislasi DPR itu nganggur karena pemerintah yang menyervis,” kata Lucius.
Dalam situasi kepentingan pemerintah yang besar terhadap RUU Cipta Kerja, Lucius khawatir rapat-rapat di hotel itu tidak dapat dipertanggungjawabkan sumber dananya, mulai dari snack, makanan, dan fasilitasi lain di hotel tersebut yang diterima oleh anggota DPR. Transparansi ini menjadi penting untuk menghindari kecurigaan publik terkait dengan rapat-rapat yang dilakukan di luar Gedung DPR.
Pembahasan RUU di hotel secara tidak langsung juga membatasi akses bagi publik dan kelompok berkepentingan, seperti buruh, untuk mengawal pembahasan secara langsung.
Selain itu, pembahasan RUU di hotel secara tidak langsung juga membatasi akses bagi publik dan kelompok berkepentingan, seperti buruh, untuk mengawal pembahasan secara langsung. Pembahasan kluster ketenagakerjaan di hotel juga disinyalir merupakan upaya DPR untuk menghindari ancaman buruh yang ingin berunjuk rasa di depan Gedung DPR setiap hari kalau kluster ketenagakerjaan itu dibahas menyimpang dari harapan mereka.
”Jadi, selain problem anggaran, pembahasan di hotel ini juga menyimpan problem substantif dalam asas pembahasan suatu RUU, yakni transparansi dan keterbukaan publik. Sebab, pada kenyataannya, putusan yang diketok dalam pembahasan itu berbanding terbalik dengan keinginan buruh dan masyarakat sipil,” katanya.
Terkait dengan asal anggaran pembahasan RUU Cipta Kerja di tiga hotel berbeda, yakni Sheraton Bandara, Swiss-Belhotel, dan Novotel, menurut Indra Iskandar, berasal dari anggaran legislasi DPR, yakni anggaran AKD terkait atau Baleg DPR.
”Masing-masing AKD punya anggaran untuk penyelesaian RUU,” ujarnya.
Pembahasan RUU Cipta Kerja juga sebaiknya tidak hanya memperhatikan substansi atau materi pasal per pasal, tetapi juga memperhatikan konstituen terbesarnya, yakni publik.
Perhatikan elemen publik
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, mengatakan, pembahasan RUU Cipta Kerja juga sebaiknya tidak hanya memperhatikan substansi atau materi pasal per pasal, tetapi juga memperhatikan konstituen terbesarnya, yakni publik. Rapat di luar Gedung DPR kian menjauhkan pembahasan itu dari publik.
”Rapat di hotel juga sekali lagi menunjukkan lemahnya keteladanan yang ditunjukkan oleh elite. Sebab, ketika pemerintah menyerukan penghematan anggaran dan resesi, apa yang dilakukan oleh DPR berkebalikan dengan itu semua. Hal ini sangat disayangkan karena tidak ada contoh kepemimpinan yang kuat untuk menunjukkan kepada masyarakat bagaimana seharusnya kita beraktivitas di tengah pandemi,” kata Fajri.
Di sisi lain, pembahasan RUU Cipta Kerja yang dilakukan dengan kerja keras, bahkan di hari libur dan reses menunjukkan suatu legislasi dapat dituntaskan sepanjang ada kemauan dari pembentuk UU. Upaya yang besar itu seharusnya juga ditunjukkan untuk pembahasan RUU yang menjadi harapan publik, seperti Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Namun, pada kenyataannya, pembentuk undang-undang beralasan pembahasan RUU itu memerlukan waktu panjang.
”DPR dan pemerintah selanjutnya harus membuktikan bahwa mereka tidak tebang pilih dalam pembahasan RUU lainnya. Kalau RUU Cipta Kerja bisa cepat, pembahasan RUU lainnya yang menjadi konsen publik juga seharusnya bisa sama cepatnya,” kata Fajri.
Setelah tim perumus dan tim sinkronisasi menuntaskan pembahasan RUU, selanjutnya RUU yang telah dirapikan itu dibawa ke dalam rapat kerja bersama pemerintah untuk diambil keputusan tingkat pertama.
Dengan telah tuntasnya pembahasan kluster ketenagakerjaan, RUU Cipta Kerja mendekati garis akhir dari proses legislasi. Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, setelah tim perumus dan tim sinkronisasi menuntaskan pembahasan RUU, selanjutnya RUU yang telah dirapikan itu dibawa ke dalam rapat kerja bersama pemerintah untuk diambil keputusan tingkat pertama. Setelah disepakati dengan mendengarkan suara dari fraksi-fraksi, RUU itu akan dibawa ke paripurna DPR untuk disahkan menjadi UU baru.