Dua Eks Anggota Tim Mawar Jadi Pejabat Kemenhan, Syarat Integritas Dilanggar
KASN diminta mengecek pemilihan pejabat di Kementerian Pertahanan yang dua di antaranya diisi mantan anggota Tim Mawar. Keduanya dinilai tak memenuhi syarat integritas.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua perwira tinggi TNI yang terlibat dalam penculikan aktivis tahun 1997-1998 dinilai tidak memenuhi syarat integritas dan moralitas untuk menjadi pejabat pimpinan tinggi madya di Kementerian Pertahanan. Komisi Aparatur Sipil Negara dituntut untuk mengecek pemilihan keduanya. Jika kemudian ditemukan pelanggaran, KASN bisa merekomendasikan pengangkatan keduanya dikaji ulang.
Kedua pejabat yang dimaksud adalah Brigadir Jenderal (TNI) Dadang Hendrayudha sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan Brigjen (TNI) Yulius Selvanus sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan Kemenhan. Pengangkatan keduanya melalui Keputusan Presiden Nomor 166/TPA Tahun 2020 tertanggal 23 September 2020 setelah menerima usulan dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Dadang dan Yulius merupakan anggota Tim Mawar yang terbukti terlibat dalam penculikan sembilan aktivis pada 1997-1998. Semua anggota Tim Mawar adalah anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD. Kopassus saat itu dipimpin Prabowo Subianto.
Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), majelis hakim Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta memvonis Dadang 16 bulan penjara dan Yulius 20 bulan penjara plus dipecat dari TNI. Namun, di tingkat banding, putusan pemecatan Yulius dibatalkan. Meski demikian, hakim memperberat hukuman penjara Yulius menjadi dua tahun enam bulan penjara. Adapun Dadang tetap dihukum 16 bulan penjara.
Guru Besar Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sofian Effendi, saat dihubungi, Senin (28/9/2020), menekankan, salah satu syarat untuk bisa menjadi pejabat pimpinan tinggi di kementerian/lembaga harus memiliki rekam jejak jabatan, integritas, dan moralitas yang baik.
Selain dalam Pasal 19 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, syarat itu juga diatur dalam aturan turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
Dengan Dadang dan Yulius divonis bersalah oleh pengadilan dalam kasus penculikan aktivis tetapi tetap bisa diangkat menjadi pejabat, proses pemilihan keduanya patut dipertanyakan. Menurut dia, pengisian jabatan pimpinan tinggi di Kemenhan sama dengan yang berlaku di instansi pemerintah lainnya, yaitu harus melalui perekrutan terbuka oleh panitia seleksi dan diawasi oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Dengan demikian, KASN perlu mengecek apakah mekanisme perekrutan terbuka itu ditempuh Kemenhan. Kemudian, jika mekanisme itu ditempuh Kemenhan, patut dipertanyakan alasan panitia meloloskan kedua orang itu menjadi pejabat.
Kaji ulang
Jika ditemukan pelanggaran, Ketua KASN periode 2014-2019 tersebut mendesak agar KASN menegur Kemenhan. Selain itu, Sofian juga merekomendasikan pengangkatan keduanya dikaji ulang.
”Agar tak jadi bulan-bulanan. Ini, kan, modal pemerintah. Modal untuk instansi pemerintah yang paling pokok itu kepercayaan publik. Kalau publiknya tidak percaya bahwa pelaksanaan sistem merit tidak jalan atau tidak dijalankan, kepercayaan publik kepada pemerintah bisa turun,” ujarnya.
Ketua KASN Agus Pramusinto mengatakan akan mengecek persoalan itu. Dia sependapat dengan Sofian bahwa pengisian jabatan pimpinan tinggi seharusnya berdasarkan integritas, selain memperhatikan aspek kompetensi dan kinerja.
Bersurat ke Presiden
Secara terpisah, Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Zaenal Muttaqin menyampaikan, IKOHI bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil akan mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo. Surat itu menuntut agar Presiden mencabut keputusan pengangkatan Yulius dan Dadang.
IKOHI menolak siapa pun yang terlibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) menduduki jabatan publik. Terlebih masih banyak aktivis yang diculik pada 1997-1998 belum jelas keberadaannya hingga kini. Keluarga korban pun masih menanti keadilan.
”Pengangkatan kedua orang itu tentu sungguh memalukan karena pada saat bersamaan Indonesia menjadi anggota (tidak tetap) Dewan Keamanan PBB dan anggota Dewan HAM PBB. Dengan mengangkat dua orang ini akan menampar muka sendiri. Bagaimana akan mengkritik pelanggaran HAM di sejumlah negara di dunia jika di dalam negeri sendiri tidak ada mekanisme yang ketat untuk seleksi jabatan publik,” ujar Zaenal.
Anggota Komisi Nasional HAM, Choirul Anam, melihat pengangkatan dua orang yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu tersebut memperlihatkan bahwa Presiden belum memiliki komitmen yang kuat terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Yang lebih mengecewakan, persoalan penculikan aktivis 1997-1998 merupakan bagian dari yang dijanjikan Presiden Jokowi untuk dituntaskan. Janji itu disampaikannya saat Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 dan diulang saat Pilpres 2019.
”Dalam konteks ini, semakin terlihat bahwa agenda keadilan dalam kerangka penyelesaian pelanggaran berat HAM masa lalu hanya pemanis semata, bukan komitmen kenegaraan seorang Presiden,” ujar Choirul.
Juru Bicara Menteri Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak belum merespons pertanyaan Kompas terkait pengangkatan kedua pejabat itu sejak Minggu (27/9/2020). Begitu pula Kepala Biro Humas Sekretariat Jenderal Kemenhan Brigjen TNI Djoko Purwanto.