Pemerintah dan DPR Sepakat Hapus Aturan PP yang Bisa Cabut Sebuah UU
Dua ketentuan dalam draf RUU Cipta Kerja yang menimbulkan polemik terkait hierarki peraturan perundang-undangan akhirnya dicabut oleh pemerintah dan DPR. Hal itu mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi.
Oleh
RINI KUSTIASIH DAN INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati untuk mencoret dua ketentuan dalam draf Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang menimbulkan polemik terkait dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Aturan yang menyatakan peraturan pemerintah dapat mengganti undang-undang, serta ketentuan tentang peraturan presiden yang dapat mencabut peraturan daerah, kini dihapus dari pembahasan.
Sebelumnya, dalam Pasal 170 RUU Cipta Kerja diatur, ”Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini”.
Pasal itu dipahami oleh banyak pihak sebagai pelanggaran terhadap hierarki peraturan perundang-undangan. Sebab, peraturan pemerintah (PP) dapat mencabut undang-undang (UU). Padahal, dari hierarkinya, tingkatan UU lebih tinggi daripada PP. Substansi pasal itu pun disepakati untuk dihapuskan dari draf RUU dalam pembahasan lanjutan RUU Cipta Kerja antara pemerintah dan DPR. Senin (28/9/2020), rapat tim perumus dan tim sinkronisasi menghapus pasal itu dari draf RUU Cipta Kerja. Rapat dipimpin Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya.
Selain Pasal 170, pemerintah dan DPR dalam pembahasan kluster administrasi pemerintahan sebelumnya juga menghapus ketentuan tentang peraturan presiden (perpres) yang dapat mencabut peraturan daerah (perda). Hal itu diatur dalam Pasal 251 Ayat (2) yang berbunyi, ”Perda provinsi dan peraturan gubernur dan/atau perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan peraturan presiden”.
Pasal 170 itu memang tidak mungkin dilaksanakan, tetapi pada kenyataannya ada aturan itu di dalam draf RUU Cipta Kerja. Agak aneh saja kalau tim penyusun dari pemerintah atau DPR tidak tahu bahwa aturan itu tidak masuk akal. Namun, bisa saja ketentuan itu dicoba untuk dimasukkan dan diharapkan bisa lolos di tingkat pembahasan dan menjadi draf. Tentu perancang UU tidak mungkin tidak mengetahui ketentuan itu keliru, tetapi boleh jadi ada unsur kesengajaan.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari saat dihubungi, Senin, mengatakan, penghapusan Pasal 170 dari draf RUU Cipta Kerja merupakan langkah yang benar kendati tidak dapat menjadi pembenaran bagi keseluruhan proses pembahasan RUU Cipta Kerja yang dipandang tidak sesuai dengan UU No 12/2011 juncto UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
”Pasal 170 itu memang tidak mungkin dilaksanakan, tetapi pada kenyataannya ada aturan itu di dalam draf RUU Cipta Kerja. Agak aneh saja kalau tim penyusun dari pemerintah atau DPR tidak tahu bahwa aturan itu tidak masuk akal. Namun, bisa saja ketentuan itu dicoba untuk dimasukkan dan diharapkan bisa lolos di tingkat pembahasan dan menjadi draf. Tentu perancang UU tidak mungkin tidak mengetahui ketentuan itu keliru, tetapi boleh jadi ada unsur kesengajaan,” katanya.
Memasukkan ketentuan yang tidak masuk akal atau salah secara hierarki, menurut Feri, menjadi salah satu praktik dalam penyusunan legislasi yang represif. Menilik pada praktik-praktik penyusunan omnibus law yang berkarakter kurang demokratis di sejumlah negara, upaya memasukkan pasal-pasal tertentu secara sengaja dalam draf itu kerap ditemui. Sekalipun pada akhirnya pasal tersebut dihapus di dalam pembahasan dan pendalaman, upaya kesengajaan itu bisa menjadi salah satu modus untuk meloloskan ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Pasal lain yang problematik, tambah Feri, diyakini masih banyak tersebar di dalam draf RUU Cipta Kerja. Pembentukan UU dengan cara omnibus law itu sendiri juga merupakan praktik yang tidak dikenal di dalam mekanisme pembentukan UU di Indonesia. UU No 12/2011, misalnya, tidak mengatur mekanisme pembentukan UU dengan metode omnibus law.
Sementara itu, dalam diskusi bertajuk ”Menimbang Urgensi Omnibus Law di Tengah Pandemi” yang diadakan Policy Center Ikatan Alumni UI, 25 September lalu, Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Kementerian Koordinator Perekonomian Elen Setiadi mengatakan, pencabutan perda dan ketentuan kepala daerah mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
”Jadi, yang diusulkan RUU Cipta Kerja, yang disampaikan pemerintah kepada DPR, pada Februari kemarin sudah disepakati bahwa pencabutan perda tetap mengikuti mekanisme dalam putusan MK. Tidak dibatalkan presiden, tetapi sesuai mekanisme yang ada,” ujar Elen.
MK dalam putusan nomor 56/PUU-XIV/2016 telah membatalkan pengaturan di dalam UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang membolehkan presiden membatalkan perda. Ketentuan pembatalan perda hanya dapat dilakukan melalui uji materi ke Mahkamah Agung.
Kuatkan sisi preventif
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Na Endi Jaweng berpendapat, penghapusan klausul peraturan presiden bisa mencabut peraturan daerah dalam RUU Cipta Kerja harus dibarengi dengan penguatan dari sisi preventif pembuatan perda. Kementerian Dalam Negeri harus serius dalam mengulas rancangan perda.
Ulasan serius dari Kemendagri itu, lanjutnya, bertujuan untuk menyisir ketentuan yang bermasalah dari perda tersebut. Setelah rancangan perda dinyatakan clean and clear, baru Kemendagri memberikan nomor registrasi.
”Unsur preventif ini harus diperkuat dan paling penting. Misalnya, perda tentang pajak retribusi. Jika sudah menjadi perda, masyarakat telanjur terkena dampak hukumnya. Kemendagri, kan, punya otoritas pemberian nomor registrasi. Tidak boleh rancangan naik jadi perda kalau belum ada nomor registrasi dari Kemendagri. Kalau Kemendagri serius di situ, semestinya tak ada lagi perda bermasalah,” paparnya.
Terkait pengawasan represif, Mahkamah Agung, kan, tak boleh cari-cari perda bermasalah. Sifatnya, kan, menunggu. Repotnya, tak semua masyarakat sanggup beracara di Mahkamah Agung. Butuh uang besar, terutama untuk sewa pengacara.
Apabila pengawasan efektif sudah berjalan, tetapi masih ditemukan juga perda bermasalah, Robert mendorong Mahkamah Agung selaku lembaga peradilan yang berwenang membatalkan perda untuk membuka kamar khusus perda di Pengadilan Tinggi Usaha Negara.
”Terkait pengawasan represif, Mahkamah Agung, kan, tak boleh cari-cari perda bermasalah. Sifatnya, kan, menunggu. Repotnya, tak semua masyarakat sanggup beracara di Mahkamah Agung. Butuh uang besar, terutama untuk sewa pengacara,” katanya.
Selain itu, Robert juga mendorong ada ketentuan peralihan dalam RUU Cipta Kerja saat ini. Ketentuan itu harus menyatakan semua perda yang bertentangan dengan RUU Cipta kerja dibatalkan. Dalam catatan KPPOD, ada 347 perda bermasalah saat ini. Ketentuan peralihan dalam RUU Cipta Kerja ini akan mengikis kekhawatiran para pelaku usaha terkait perda-perda bermasalah yang masih eksis saat ini.