Pandemi Ubah Sensus Penduduk 2020
Pandemi Covid-19 memaksa Badan Pusat Statistik menyesuaikan penyelenggaraan Sensus Penduduk 2020. Literasi masyarakat akan pentingnya statistik dan data juga menjadi sorotan.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 memaksa Badan Pusat Statistik menyesuaikan penyelenggaraan Sensus Penduduk 2020. Meski tidak seideal yang direncanakan di awal, diharapkan kegiatan sepuluh tahunan ini akan memenuhi tujuan besar untuk menyelesaikan sengkarut data yang menjerat Indonesia. Literasi masyarakat akan pentingnya statistik dan data juga menjadi sorotan.
Tanggal 26 September kita peringati sebagai Hari Statistik Nasional. Tahun ini, persoalan statistik menghadapi tantangan yang besar, terutama terkait pelaksanaan Sensus Penduduk 2020. Sensus yang dilangsungkan saban 10 tahun sekali ini kini diadakan di tengah pandemi Covid-19.
Kepala Subdirektorat Statistik Demografi BPS M Nashrul Wajdi, Sabtu (26/9/2020), mengatakan, pelaksanaan Sensus Penduduk 2020 harus disesuaikan dengan berbagai dampak pandemi Covid-19 baik dari aspek perencanaan operasi hingga pelaksanaan di lapangan.
Nashrul memastikan, Sensus Penduduk 2020 ini akan tetap memenuhi tujuan utama, yakni menyediakan jumlah, komposisi, dan persebaran kota-desa, serta karakteristik. Meski tidak sepenuhnya ideal, ia mengatakan, sensus yang digelar akan tetap memenuhi tujuan besar, yaitu menuju satu data kependudukan Indonesia. ”Kami juga sudah membangun dasbor data bersama Dukcapil,” katanya.
Baca juga : Lampu Kuning Kemiskinan
Ia mengatakan, saat ini Sensus Penduduk memasuki tahapan akhir pencacahan lapangan. Hingga Sabtu (26/9/2020), rata-rata progres telah mencapai di atas 90 persen penduduk yang sudah dicacah. Contohnya, 7.068 dari 7.686 target satuan lingkungan setempat (SLS) atau satuan wilayah di bawah desa, di Papua Barat, sudah terdata.
”Setiap daerah bervariasi, ada yang masih 80 persen tetapi sudah ada yang 100 persen. Rata-rata di atas 90 persen,” kata Nashrul.
Belajar dari pengalaman di lapangan, Nashrul menilai, ada tugas besar dari seluruh pemegang kepentingan untuk meningkatkan kesadaran dan literasi statistik masyarakat. ”Sebagian warga tidak merasa sensus berpengaruh langsung pada mereka sekarang,” ucapnya.
Ia memahami bahwa kondisi yang tidak ideal ini adalah dampak dari pandemi Covid-19. Realokasi anggaran pada April membuat anggaran sensus penduduk sebesar Rp 4,034 triliun turun hampir 75 persen menjadi Rp 1,102 triliun. Hal ini membuat BPS harus melakukan penyesuaian tersebut.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Agus Pambagio, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (26/9/2020), mengatakan, situasi pandemi tentu akan menghambat kelancaran kerja para petugas sensus di lapangan. Kedatangan mereka bisa saja ditolak oleh warga karena dianggap bisa menularkan virus Covid-19.
”Apalagi, di daerah yang menerapkan pembatasan wilayah yang ketat, petugas sensus akan sulit bertemu langsung dengan warga. Dalam Covid-19 ini, orang pasti takut kalau ada tamu (petugas sensus) datang, masuk ke rumah. Yang jadi tenaga sensus, kan, pasti juga takut,” ujar Agus.
Oleh karena itu, menurut Agus, BPS harus memperpanjang tenggat waktu Sensus Penduduk 2020. Hingga akhir tahun pun, dia meyakini, target menyensus seluruh penduduk bisa tidak tercapai akibat pandemi. Ia mengusulkan agar sensus penduduk daring diperpanjang, sekaligus mengintensifkan sosialisasi ke publik.
”Jadi, harus diperpanjang waktunya. Kalau tidak diperpanjang pasti datanya tidak akurat karena banyak yang tidak bisa terjaring,” ucap Agus.
Sensus penduduk daring dimulai sejak 15 Februari 2020 dan sedianya berakhir pada 31 Maret 2020. Akan tetapi, BPS memperpanjang masa sensus hingga akhir September 2020 akibat pandemi.
Agus berharap, publik bisa memanfaatkan tenggat waktu yang ada. Sebab, sensus penduduk ini sangat berguna untuk satu data Indonesia sesuai Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia, yang diteken Presiden Joko Widodo pada 12 Juni 2019.
Dengan satu data, pengambilan kebijakan akan lebih tepat. Selain itu, potensi korupsi yang muncul akibat ketidakcocokan data juga bisa dicegah.
”Kebijakan sosial tidak akan berjalan dengan baik kalau data tidak pernah beres dan tidak valid,” ujar Agus.
Pembersihan data
Sementara itu, Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Dukcapil Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh mengaku sangat terbantu dengan pelaksanaan Sensus Penduduk 2020. Dengan bekerja sama BPS, Dukcapil cukup memberikan basis data yang dimiliki ke BPS, lalu data tersebut akan diperbarui oleh petugas BPS di lapangan.
”Artinya, kami ingin mendapatkan updating dari lapangan secara langsung sehingga bisa langsung perbaikan atau data cleansing (pembersihan data). Sensus ini menguntungkan kami, kerja terintegrasi. Kalau kami turun, BPS turun, triliun rupiah anggaran terbuang. Kami pun berinisiatif menyerahkan data ke BPS untuk dicocokan, tetapi nanti datanya dikembalikan lagi ke kami,” kata Zudan.
Menurut Zudan, di situasi pandemi ini, pelaporan data masyarakat ke dukcapil akan sangat rendah, mulai dari data orang yang meninggal, hingga kelahiran baru. Namun, dengan sensus penduduk, persoalan itu bisa tertangkap jauh lebih lengkap.
”Jika pandemi ini belum tuntas, pemerintah bisa punya kebijakan untuk memperpanjang (tenggat waktu). Karena saya meyakini, tidak mudah mendata masyarakat di situasi pandemi. Petugas sensus harus punya strategi khusus untuk bertemu warga,” ucap Zudan.
Tiga zona
Nashrul mengatakan, sensus yang awalnya direncanakan secara keseluruhan dengan wawacara tatap muka langsung, kini pelaksanaanya harus dibagi ke tiga zona.
Zona 1 mencakup sebagian Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi sekitar 23,72 persen penduduk Indonesia; Zona 2 utamanya mencakup hampir seluruh Jawa-Bali (74,76 persen), dan Zona 3 mencakup Papua Barat dan Papua kecuali Kota Jayapura (1,52 persen).
Pada Zona 1, pengambilan data karakteristik dilakukan dengan cara pengisian mandiri oleh penduduk ke dalam dokumen yang didrop petugas yang kelak akan diambil kembali. Pada Zona 3 ini, sensus dilakukan dengan cara biasa yakni pemeriksaan daftar penduduk (DP), verifikasi keberadaan penduduk, dan wawancara karakteristik demografi secara tatap muka langsung.
Zona 2, yang mencakup hampir 75 persen penduduk Indonesia, tidak melalui proses pendataan karakteristik penduduk tersebut; dari data umur hingga status pekerjaan dan pendidikan tertinggi. Akibatnya, jumlah variabel yang didapatkan tidak akan sekomprehensif pada dua zona lainnya.
Nashrul mengatakan, untuk Zona 2 ini karakteristik penduduk akan menggunakan data dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri.
Perumahan elite
Penyelenggaraan sensus daring pun dianggap berhasil, partisipasinya mencapai 19 persen atau sekitar 51,4 juta jiwa. Meski tidak memenuhi target 22,9 persen, Nashrul menilai ini raihan yang positif mengingat ini adalah sensus pertama Indonesia yang digelar secara daring. Ia mengatakan, di Australia, sensus daring perdana hanya diikuti 10 persen penduduk. Dengan ini, metode daring juga akan dapat dimanfaatkan survei BPS selanjutnya.
Secara umum, penerimaan masyarakat terhadap petugas sensus pun baik, kata Nashrul, bahkan hingga ke daerah pedalaman seperti di kawasan Suku Anak Dalam, Sumatera.
Justru hambatan dialami petugas di kawasan perumahan elite. Nashrul mengungkapkan, petugas bahkan sering kali tidak bisa menemui ketua wilayah setempat. Padahal, seluruh petugas sudah dilengkapi dengan tanda pengenal, hingga masker, tabir wajah, dan sarung tangan. ”Kami juga sudah berikan kesempatan untuk mempermudah sensus, seperti wawancara via telepon,” kata Nashrul.
Metode pengisian mandiri juga beberapa kali menemui masalah karena warga tidak mau mengisi dokumen. Warga menuduh petugas menelantarkan tugasnya.