Mereka Mencoba Menyapa Pemilih Lewat Ketukan Layar
Kampanye Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19 dimulai. Media sosial menjadi medium calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah berinteraksi dengan calon pemilih. Namun, strategi ini bukan tanpa tantangan.
Calon wakil wali kota Tangerang Selatan, Banten, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, memiliki akun di lima media sosial lintas platform. Hingga Rabu (23/9/2020), akun Twitter @RahayuSaraswati diikuti 31.000 pemilik akun Twitter. Ia aktif mencuitkan gagasannya untuk memperbaiki Tangerang Selatan. Saras juga aktif membagikan dukungan dari sejumlah tokoh terhadap pencalonannya di akunnya itu.
Saras mengungkapkan, dalam situasi pandemi Covid-19, berkampanye di media sosial bisa menjadi cara untuk menjaga keselamatan masyarakat, pasangan calon, dan timnya. Sebab, berkampanye secara konvensional dengan mengumpulkan massa akan meningkatkan kemungkinan terpapar Covid-19.
”Tentunya (berkampanye di media sosial) sangat efektif dan efisien dari segi waktu, karena biasanya perlu waktu untuk pindah dari satu titik ke titik berikutnya, sedangkan ini hanya pindah ruang daring,” ujar Saras.
Pilkada 9 Desember 2020 berlangsung di 270 daerah di Indonesia. Para kandidat dan tim suksesnya punya waktu 26 September hingga 5 Desember untuk berkampanye. Di tengah pandemi Covid-19, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2020 melarang kampanye dengan pengumpulan massa sebagai antisipasi penularan Covid-19. Kampanye di ruang digital amat didorong.
Saras bertutur, selain menggunakan media sosial, ia juga menggunakan aplikasi Zoom untuk mengadakan pertemuan, seperti rapat dan forum diskusi kelompok. Saras juga memanfaatkan aplikasi ini untuk melakukan webinar.
Meskipun demikian, ia mengakui masih ada tantangan yang harus dihadapi dalam berkampanye menggunakan media sosial. Tantangan utama terletak pada usaha membangun ikatan atau atmosfer, seperti pertemuan tatap muka secara fisik. Selain itu, pemahaman masyarakat dalam penggunaan aplikasi juga menjadi tantangan. Apalagi, kendala jaringan internet masih sering terjadi.
Saras mengaku tak hanya akan berkampanye menggunakan media sosial. Ia memilih untuk menyeimbangkan antara kampanye di media sosial dan secara konvensional. Sebab, masih ada masyarakat yang tidak terjangkau dengan media sosial.
Sementara itu, calon gubernur Kalimantan Selatan, Denny Indrayana, juga menjadikan kampanye berbasis teknologi sebagai salah satu strategi. Menurut dia, menggunakan media sosial relatif efisien sepanjang tak menggunakan cara mahal, seperti memakai buzzer (pendengung).
Sejauh ini, Denny memilih cara manual memperkenalkan gagasannya di media sosial kepada calon pemilih, yakni dengan membagikan kontennya dari orang ke orang. Di media sosialnya tersebut, ia menyampaikan gagasan terkait ekonomi, penanganan Covid-19, ajakan menolak politik uang, serta mendorong pilkada yang jujur dan adil.
Denny telah memiliki akun Twitter, Facebook, Instagram, dan Youtube. Keempat akun itu hanya dikelola satu orang secara aktif dan beberapa sukarelawan mengamplifikasinya kepada calon pemilih.
Ia mengakui, jabatannya sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia periode 2011-2014 turut mendongkrak popularitasnya di media sosial. Akun Twitter @dennyindrayana, misalnya, memiliki 590.000 pengikut.
Keterbatasan dana
Dengan keterbatasan dana yang dimiliki, Denny merasakan tantangan berkampanye menggunakan media sosial lebih kompleks. Sebab, ia tidak dapat mengelola akun media sosialnya secara profesional.
”Media sosial itu bisa murah dan efisien. Namun, kalau ingin lebih maksimal tidak murah, seperti untuk beriklan, menyewa tim yang menyiapkan konten, teknologi untuk menyebarluaskan, dan buzzer supaya lebih viral,” ujarnya.
Selain itu, menurut Denny, daya jangkau media sosial juga hanya mengarah kelas menengah ke atas yang memiliki akses internet. Di Kalimantan Selatan, tidak sedikit masyarakat yang tak mempunyai akses internet.
Selain masalah teknis sinyal, sejumlah orang juga tidak memiliki telepon pintar. Karena itu, ia tetap melakukan kampanye secara konvensional, yaitu bertemu langsung dengan masyarakat melalui kunjungan dari pintu ke pintu.
Calon bupati Karawang, Jawa Barat, Cellica Nurrachadiana, juga memanfaatkan media sosial sebagai alternatif berinteraksi dan berbagi informasi dengan masyarakat. Salah satunya Instagram. Akun Instagram Cellica aktif sejak Maret 2016. Kini, diikuti 275.000 pemilik akun. Fitur Stories akun Instagram Cellica, yakni @cellicanurrachadiana, tak pernah sepi. Ia rutin mengunggah ulang story dari masyarakat, teman, dan kerabat yang menandai dirinya.
Beberapa kali warga menyampaikan kritik di kolom komentar tentang perbaikan jalan yang tak kunjung dilakukan pemerintah daerah. Cellica tak mengabaikan suara itu. Dia meresponsnya dengan jawaban detail.
Pilkada 2020, dinilai Cellica, yang merupakan petahana, lebih menantang ketimbang pilkada lima tahun lalu. Sebelumnya, peserta kampanye tak dibatasi jumlahnya. Sekarang, pola sosialisasi akan lebih didominasi media sosial. ”Ada beberapa strategi yang beda dari lima tahun lalu,” katanya.
Keyakinan Cellica berdasarkan pengalamannya belasan tahun terjun dalam dunia politik. Dia meyakini, menyapa masyarakat bukan hanya dilakukan ketika ada kepentingan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan. Proses ini tak serta-merta, tapi bertahap dan butuh konsistensi.
Ketua Tim Pemenangan Pasangan Cellica-Aep, Jaenal Aripin, mengatakan, lima tahun lalu, pihaknya menggelar 100 titik pertemuan akbar yang dihadiri ribuan pendukung. Saat ini, ada 1.684 titik lokasi yang akan dikunjungi Cellica dan calon wakil bupati pendampingnya untuk pemaparan gagasan serta penyerapan aspirasi masyarakat. Satu titik hanya boleh dihadiri tak lebih dari 20 orang.
Agenda luring diprioritaskan bagi mereka yang tidak terjangkau media sosial. Sebelum acara itu dimulai, tim survei akan memastikan jumlah peserta yang datang sesuai dengan kesepakatan dan tidak terjadi kerumunan.
”Jika di titik kumpul tersebut dihadiri lebih dari 20 orang, saya akan membatalkan agenda kunjungan dan menjalankan rencana cadangan di titik lainnya,” kata Jaenal.
Kesepakatan bersama
Pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, menuturkan, para ketua umum partai politik perlu bertemu untuk merumuskan kesepakatan tidak menggelar kampanye langsung pada masa pandemi Covid-19. Kampanye dapat menggunakan sarana komunikasi seperti media sosial agar tidak menimbulkan kerumunan yang berpotensi menyebarkan Covid-19.
Selain untuk mencegah penyebaran Covid-19, kampanye di media sosial juga dapat meminimalkan terjadinya gesekan fisik di masyarakat. Karena itu, Emrus mengusulkan agar kampanye di media sosial di masa mendatang tetap dilakukan maksimal meski suatu saat nanti sudah tidak ada lagi pandemi Covid-19.
Ia mengungkapkan, dengan kondisi pandemi Covid-19, media sosial akan menjadi sarana kampanye yang efektif dengan dibarengi kampanye di media arus utama. Selain itu, mereka juga dapat menggunakan aplikasi seperti Zoom untuk berdialog dengan calon pemilih. Dialog tersebut dibutuhkan untuk melihat perilaku dari calon pemilih.
Baca juga: Kendala Kampanye Daring di Daerah Tanpa Sinyal
Dari hasil pertemuan di aplikasi tersebut, calon kepala daerah bisa mereproduksi konten dengan lebih kreatif. Mereka bisa menambahkan efek suara dan grafis agar lebih menarik untuk dibagikan ke media sosial.
Di tengah perubahan pola kampanye yang diperkirakan akan lebih intensif di ruang daring ketimbang gelombang pilkada serentak terdahulu, pengawasan ruang daring juga harus meningkat. Ini untuk menjamin kampanye di ruang daring juga berlangsung sesuai dengan rambu regulasi.
Terkait hal itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan mengawasi media sosial calon kepala daerah. Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengungkapkan, berkaca pada Pilkada Jakarta 2017, perdebatan politik di media sosial bisa membuat situasi sosial masyarakat menjadi panas (Kompas.id, 22/9/2020).
Menurut Fritz, spektrum konten politik di media sosial sangat luas. Bawaslu tidak bisa langsung bertindak jika tak terdapat unsur pelanggaran yang nyata. Kampanye di media sosial menyebarkan visi, misi, dan program serta berangkat dari percakapan organik warganet. Platform harus mendeteksi jika ada unsur rekayasa dalam kampanye di media sosial tersebut.
Dari sisi jumlah, akun resmi pasangan calon kepala daerah juga dibatasi. Anggota KPU, Viryan Aziz, menyatakan, pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur bisa memiliki 30 akun di semua platform media sosial, sedangkan pasangan calon bupati dan calon wakil bupati atau wali kota-wakil wali kota bisa mendaftarkan 20 akun resmi.
KPU hanya membolehkan akun resmi pasangan calon yang beriklan di media sosial. Penggunaan akun resmi untuk beriklan di media sosial bertujuan mencegah penggunaan akun anonim dan buzzer dalam menyampaikan iklan politik. Selama masa tenang, akun tersebut dinonaktifkan untuk mencegah kampanye dan munculnya iklan politik di masa tenang.
Sementara iklan politik adalah konten berbayar dari peserta pemilu. Unggahan pribadi warganet terkait pilihan politiknya tidak termasuk iklan, tetapi bagian dari kemerdekaan berpendapat.