Jika penyidik serius mengembangkan kasus Pinangki, mestinya Pinangki didakwa dengan Pasal 12 Huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus terkait Joko Tjandra yang ditangani Kejaksaan Agung dinilai hanya menyasar para pihak yang saat ini telah ditetapkan menjadi tersangka. Dengan demikian, dugaan adanya pihak lain yang terlibat dikhawatirkan tidak tersentuh.
Selain Pinangki Sirna Malasari yang kini menjadi terdakwa, terdapat pula dua tersangka lain dalam kasus upaya pengurusan fatwa bebas dari Mahkamah Agung untuk Joko Tjandra. Mereka adalah Joko Tjandra dan Andi Irfan Jaya. Joko merupakan terpidana kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali tahun 2019. Saat itu, ia divonis 2 tahun penjara oleh Mahkamah Agung. Namun, ia kabur dan baru ditangkap akhir Juli lalu.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi (MAKI) Boyamin Saiman, Minggu (27/9/2020), menilai, konstruksi dakwaan terhadap Pinangki Sirna Malasari hanya memperkecil perkara. Dakwaan Pasal 5 Undang-Undang Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 hanya akan berhenti pada Pinangki sebagai penerima suap.
”Dengan pasal itu, maksud dan tujuan dari suap itu tidak perlu dibuktikan dan tidak perlu dicari karena memang pasalnya hanya begitu,” kata Boyamin.
Menurut Boyamin, jika penyidik serius mengembangkan kasus itu, mestinya Pinangki didakwa dengan Pasal 12 Huruf a UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian, hadiah atau janji yang diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dapat dikembangkan dengan memeriksa pihak-pihak terkait yang diduga mendukung Pinangki.
Adapun Pinangki yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan permufakatan jahat, menurut Boyamin, terlalu berlebihan. Sebab, alur perkara yang dituangkan dalam surat dakwaan adalah Joko Tjandra percaya kepada Pinangki untuk mengurus fatwa bebas bagi Joko dari Mahkamah Agung, tetapi kenyataannya Pinangki tidak mampu.
”Kalau begitu, kan, cukup pasal penipuan saja, tidak perlu pasal menerima suap. Jadi, memang konstruksi dakwaannya mengecil sehingga terkesan melokalisasi perkara ini hanya di Pinangki,” ujar Boyamin.
Hal lain yang dinilai tidak logis adalah dakwaan permufakatan jahat, yaitu Pasal 15 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, yang terjadi hanyalah pembicaraan antara Pinangki dan Joko Tjandra disertai beberapa orang lain tanpa melibatkan pihak lain dengan kepentingan masing-masing.
Sebelumnya, kuasa hukum Joko Tjandra, Krisna Murti, mengatakan, dalam pemeriksaan, kliennya mengaku ditipu melalui proposal rencana aksi yang dibuat Pinangki. Pertama, karena Joko mengaku diminta membayar uang muka, sementara proposal belum dibuat. Kedua adalah bahwa fatwa MA tidak dapat menggugurkan putusan PK dari MA.
Hal itulah yang membuat Joko Tjandra membatalkan proposal tersebut. Pembatalan itu disampaikan kepada Anita Kolopaking dengan menuliskan kata ”NO” pada proposal rencana aksi.
Dalam pemeriksaan, menurut Krisna, penyidik juga menanyakan tentang istilah king maker dan beberapa inisial nama, seperti T dan DK,yang ada dalam proposal rencana aksi kepada Joko Tjandra. Namun, Joko menjawab tidak kenal dengan inisial itu.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berpandangan, tampak ada upaya untuk menyederhanakan kasus itu dengan melokalisasi hubungan Joko Tjandra dengan Pinangki sebatas kasus penipuan. Sebab, Pinangki hanya ditempatkan sebagai individu, bukan dalam konteks dia sebagai seorang jaksa yang secara institusional memiliki tugas sebagai penuntut umum dan eksekutor.
Menurut Fickar, kasus terkait Joko Tjandra mestinya diletakkan secara lebih luas sebagai perkara yang melibatkan antarinstansi penegak hukum. Namun, yang terjadi saat ini adalah penanganan kasus secara terpisah-pisah, yakni oleh kepolisian dan kejaksaan.
”Ini, kan, konyol. Jadi, tidak ada kesadaran bersama dengan melihat bahwa ini satu rangkaian, mulai dari Pinangki bertemu Joko Tjandra, menerima uang, menghilangkan nama Joko Tjandra dalam red notice, lolos dari pantauan Imigrasi, dan bolak-balik ke Indonesia,” kata Fickar.
Dengan penanganan secara terpisah, menurut Fickar, yang terjadi adalah penyederhanaan kasus. Padahal, jika dirangkai menjadi satu, perkara terkait Joko Tjandra ini adalah kasus besar yang kemungkinan besar melibatkan banyak pihak.
Dalam konteks itu, lanjut Fickar, mestinya Joko Tjandra tidak mungkin akan percaya begitu saja kepada Pinangki tanpa ada pihak lain di belakangnya. Dengan demikian, kasus ini tidak hanya sekadar Joko Tjandra tertipu Pinangki, tetapi lebih dari itu.
”Seharusnya KPK mengambil alih kasus ini karena merupakan kasus besar yang lintas instansi dan melibatkan aparat penegak hukum,” ujar Fickar.
Secara terpisah, kuasa hukum Pinangki, Jefri Moses Kam, mengatakan, banyak hal di dalam surat dakwaan terhadap Pinangki yang tidak sesuai dengan kenyataan. ”Intinya, banyak hal yang tidak sesuai. Nanti kami sampaikan dalam eksepsi,” kata Jefri.