Pejabat yang Terbuka Umumkan Positif Covid-19 Merasa Lebih Tenang
Sejumlah pejabat yang pernah terpapar Covid-19 memilih terbuka mengumumkan statusnya ketimbang menutupi hal itu. Alhasil, mereka merasa lebih tenang sekaligus membantu percepatan pemulihan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pejabat di Indonesia yang terpapar Covid-19 merasa lebih tenang setelah terbuka mengumumkan statusnya kepada publik. Dukungan mengalir dari berbagai kalangan dan hal tersebut turut membantu mereka pulih dari guncangan psikologis.
Hal ini mengemuka dalam diskusi daring yang digelar Populi Center dan Smart FM Network bertajuk ”Covid-19: Suara Penyintas”, Sabtu (26/9/2020). Turut hadir dalam diskusi itu Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto dan Wakil Ketua Ombudsman RI Lely Pelitasari Soebekty.
Hadir pula anggota Badan Pengawas Pemilu, Ratna Dewi Pettalolo; Rektor IPB University Arif Satria; dan senior Biostatician European Organisation for Research and Treatment of Cancer, EU, Brussels, Baktiar Hasan.
Arif Satria sempat terguncang ketika tahu bahwa ia positif Covid-19. Dia menyebut penyakit ini seperti memberi pengalaman biologis sekaligus spiritual. Lalu, dia putuskan untuk mengumumkan penyakitnya seminggu lalu.
”Begitu mendeklarasikan diri terkena Covid-19, ini awal saya mendapat energi positif. Doa-doa dan harapan mengalir dari mana-mana. Poin saya, mendeklarasikan ini penting agar kita mendapat semangat dari teman-teman lain,” ujarnya.
Kondisi Arif sudah tak stabil beberapa minggu sebelum dinyatakan positif Covid-19. Selain rutinitas yang padat, dia kelelahan karena rutin bermain bulu tangkis hingga enam set. Setelah berolahraga, dia minum es sehingga rentan terserang radang tenggorokan.
Selama dirawat di rumah sakit, dia berbagi cerita dengan pejabat lain yang sudah lebih dulu terpapar Covid-19, Lely Pelitasari Soebekty. Berbagi pengalaman dengan penyintas memantik semangat agar segera terbebas dari virus korona jenis baru (SARS-CoV-2). Dia juga menuliskan pengalaman spiritualnya dalam bentuk lirik lagu.
Ratna Dewi Pettalolo juga mengumumkan status positif Covid-19. Ketika desas-desus tentang dirinya beredar di grup aplikasi percakapan, dia langsung membuka diri kepada publik. ”Setelah diumumkan, saya justru mendapat dukungan dari teman-teman,” katanya.
Namun, tak semua komentar nyaman didengar. Komentar itu terkait statusnya sebagai penyelenggara pemilu. Ada keraguan terkait pelaksanaan pilkada di saat penyelenggaranya sendiri terjangkit virus korona.
”Tetapi ketika sedang di rumah sakit, saya coba untuk tidak menggubris karena kita kan diharuskan untuk selalu dalam keadaan senang atau menghindari perasaan yang bisa mengganggu imunitas tubuh,” kata Dewi yang pernah dirawat di Rumah Sakit Undata Palu, Sulawesi Tengah, ini.
Berbeda dengan Arif dan Dewi, dua penyintas Covid-19 lainnya, Bima Arya dan Lely Pelitasari Soebekty, terjangkit di awal pandemi Covid-19. Dengan demikian, belum banyak informasi tentang penyakit ini. Bahkan, Bima merupakan pasien Covid-19 pertama di Bogor.
Minimnya informasi tentang Covid-19 sempat membuat Bima paranoid. Covid-19 waktu itu tak hanya menyerang pernapasan, tetapi juga pikiran dan perasaan. Oleh karena itu, dia sempat puasa media sosial selama beberapa hari untuk menghindari perasaan cemas karena terpapar informasi spekulatif tentang penyakit ini.
Kini, Bima bergabung dengan komunitas alumni Covid-19 Bogor. Komunitas ini ingin mengingatkan publik bahwa Covid-19 itu nyata. Para penyintas juga memberi dukungan kepada pasien yang masih berjuang untuk sembuh.
Lely menambahkan, dia tak menyangka akan terkena Covid-19. Sebab, dia tidak merasakan gejala apa pun. Status orang tanpa gejala (OTG) belum dikenal ketika dia dinyatakan positif pada akhir Maret lalu. Minimnya informasi tentang Covid-19, kata Lely, membuat tenaga kesehatan waswas. Ketika di rumah sakit, tenaga kesehatan buru-buru saat berkunjung.
”Terlihat sekali bahwa tenaga kesehatan pun masih beradaptasi dengan penyakit ini. Mereka ketakutan. Ketika ditanya, mereka menjawab sambil berjalan,” katanya.
Baktiar Hasan berpendapat, pejabat yang terkena Covid-19 semestinya mempunyai empati lebih besar. Ini karena mereka sudah merasakan sendiri Covid-19. Dengan demikian, kebijakan yang dibuat seharusnya mendorong agar pandemi cepat selesai.
Eropa, katanya, menjadi salah satu contoh baik. Para pejabat publiknya selalu melibatkan saintis untuk mengambil keputusan. Saintis tidak sekadar menjadi pelengkap saat gelaran konferensi pers. Saintis dengan didampingi pejabat turut berbicara kepada publik. Dengan demikian, publik mengetahui bahwa informasi itu berasal dari orang yang kompeten di bidangnya.