Demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Hal ini salah satunya disebabkan oleh adanya dominasi kuasa uang atau modal dalam sistem politik yang ada. Beberapa pemilihan pejabat publik disebut-sebut melibatkan uang.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dominasi kuasa uang atau modal dalam sistem politik di Indonesia menjadi salah satu catatan kritis dari fenomena demokrasi di Tanah Air yang tidak lagi stagnan, tetapi menuju ke arah regresi. Sistem pemilihan yang membutuhkan biaya politik besar hanya memungkinkan para elite politik untuk berkoalisi dengan kekuatan kapital besar, termasuk kelompok elite-pengusaha yang berkepentingan dengan kekuasaan.
Sejumlah pembicara dalam peluncuran buku berjudul Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression?, yang diadakan Australian National University (ANU) Indonesia Project, Rabu (23/9/2020), secara daring, membahas berbagai sisi dari demokrasi di Indonesia yang disinyalir menunjukkan penurunan kualitas. Pembicara yang hadir ialah cendekiawan dan ekonom Emil Salim; Laode M Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan, yang juga mantan unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); Thomas Power dan Eve Warburton, keduanya editor buku; serta Allen Hicken, Profesor Ilmu Politik dari University of Michigan.
Demokrasi Indonesia memang mundur. Partai politik kehilangan legitimasinya, kekritisan pers dan media dalam ancaman, pelemahan institusi demokrasi dan negara hukum, salah satunya KPK, serta demokrasi berbasis kekuatan uang atau kapital.
Emil dalam catatan singkatnya mengatakan, demokrasi Indonesia memang mundur. Ia mencatat sejumlah hal, antara lain partai politik kehilangan legitimasinya, kekritisan pers dan media dalam ancaman, pelemahan institusi demokrasi dan negara hukum, salah satunya KPK, serta demokrasi berbasis kekuatan uang atau kapital, yang disebutnya sebagai demokrasi cukong.
”Di samping kondisi itu, situasi pandemi Covid-19 juga diabaikan karena pilkada tetap digelar pada Desember mendatang. Hal itu seolah mengabaikan fakta bahwa beberapa provinsi terancam bahaya dan ada kenaikan kasus Covid-19. Tindakan itu mengabaikan dampak dari kemungkinan kehilangan keselamatan manusia,” ujarnya.
Dengan kecenderungan regresi demokrasi itu, Emil menyangsikan adanya kemajuan yang berarti dalam beberapa waktu dekat ini. Namun, ia memiliki harapan dan keyakinan perubahan itu akan terjadi pada 2045 ketika anak-anak muda, yang kini merupakan bagian dari kelompok milenial, mengambil tampuk kepemimpinan. Pada saat itulah, menurut Emil, perubahan terjadi.
”Ya, demokrasi kami mundur, tetapi kemunduran itu seperti kami berdansa cha cha cha, mundur satu langkah untuk maju 10 langkah ke depan pada 2045,” katanya.
Kritik terhadap sistem politik yang terlalu bertumpu pada kekuatan uang juga diutarakan Laode yang menyebutkan hal itu sebagai akar persoalan demokrasi di Indonesia. Pemilihan pejabat-pejabat publik di Indonesia disebutnya selalu melibatkan uang. Bukti empirisnya ialah 400.000 amplop yang diungkapkan oleh KPK milik seorang kader partai politik yang disiapkannya untuk menghadapi pilkada. Kasus itu terungkap pada 2019, beberapa saat sebelum ia habis masa jabatannya di KPK.
”Ini yang saya berikan contoh empiris, yakni saya mendapati 400.000 amplop. Ini bukan real democracy, tetapi komedi demokrasi,” ujarnya.
Kuasa uang dalam sistem politik Indonesia itu juga masuk ke ranah hukum. Ia mencontohkan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, yang ketika itu menerima suap dalam kasus pilkada. Laode dalam paparannya juga mengutip perkataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang menyebutkan 92 persen calon kepala daerah didanai oleh cukong, yakni para pemilik modal.
Kuasa uang dalam politik memicu praktik korupsi. Hal itu dapat dilihat dari tingginya angka korupsi politik yang ditangani KPK.
Kuasa uang dalam politik memicu praktik korupsi. Hal itu dapat dilihat dari tingginya angka korupsi politik yang ditangani KPK. Dari data yang dipaparkan Laode, sepanjang 2004-2019, sebanyak 257 anggota DPR dan DPRD ditangkap dalam kasus korupsi, diikuti oleh 119 bupati dan wali kota, serta 21 gubernur. Mereka yang ditangkap umumnya kader dan elite parpol. Korupsi oleh kader ditemukan merata di hampir semua parpol. Problemnya ialah pada pendanaan parpol yang tidak jelas.
”Dari siapa uang parpol itu, hanya Tuhan yang tahu. Mereka bisa merekrut orang dari luar parpol untuk menjadi kepala daerah sepanjang ia memiliki uang,” ujar Laode.
Sementara itu, menanggapi pertanyaan dari audiens mengenai kaitan antara kapitalisme dan kemunduran demokrasi, Emil menyebutkan ada kaitan erat. Sebab, kuasa kapital menimbulkan kesenjangan dan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Demokrasi yang diharapkan dapat menekan kesenjangan, menstimulasi pertumbuhan, dan pelibatan masyarakat pada faktanya secara negatif dikuasai konglomerat.
”Kandidat-kandidat itu, mereka orang-orang baik. Jika tidak memiliki uang untuk maju dalam pilkada, mereka akan menjadi orang jahat (bad guys) karena didukung konglomerat. Sistem pemilihan dan oligarki di parlemen, antara lain, adalah sistem yang membuat jalan politik kita terkorupsi, dan itu tidak akan secara positif memengaruhi pertumbuhan,” tutur Emil.
Dari atas ke bawah
Di samping paparan mengenai politik uang, para pembicara mengulas substansi buku yang secara garis besar mencatat kemunduran demokrasi dipicu oleh faktor dari atas dan faktor dari bawah. Faktor dari atas ialah keterlibatan aktor-aktor atau elite antidemokrasi, yang sebagian merupakan anasir dari rezim pemerintahan Orde Baru yang mampu melebur dengan sistem baru pasca-Orba. Adapun faktor dari bawah berupa munculnya kekuatan masyarakat sipil yang kurang memberikan dukungan pada nilai-nilai demokratisasi, termasuk tumbuhnya kekuatan masyarakat sipil berbasis agama yang kerap main hakim sendiri dalam menyikapi suatu persoalan.
Thomas Power mengatakan, ada tiga hal utama yang mesti diperhatikan dalam melihat demokrasi di Indonesia. Pertama, transisi demokrasi yang belum mapan karena defisit penegakan hukum. Keberadaan lembaga seperti KPK dan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menjamin transisi demokrasi itu berjalan sesuai harapan. Alasan utamanya karena korupsi dipandang sebagai endemi di Indonesia.
”Transisi demokrasi juga mengakomodasi integrasi elite Orba ke dalam rezim demokrasi sehingga kian menguatkan mereka setelah 1999. Hal itulah yang menjadi basis dari oligarki,” katanya.
Kedua, sabotase demokrasi oleh elite politik itu sendiri. Mereka membuat demokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya karena mereka melakukan hal-hal yang justru melemahkan institusi demokrasi, seperti KPK. Di satu sisi, kalangan masyarakat sipil berusaha menentang itu, tetapi tidak berhasil, sebagaimana terjadi dalam peristiwa unjuk rasa besar-besaran, September 2019.
Ketiga, pelemahan demokrasi dari bawah. Muncul tindakan-tindakan masyarakat sipil yang berpandangan sempit (illiberal), terutama dikaitkan dengan tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh ormas berbasis keagamaan kepada pihak lainnya. Di sisi lain, ormas-ormas itu bertentangan dalam polarisasi yang tidak sehat.
Kemunduran demokrasi Indonesia dipandang secara umum sebagai gejala yang juga dialami oleh negara-negara lain di dunia. Kemunduran demokrasi menjadi problem global saat ini.
Allen Hicken menyampaikan, demokrasi di Indonesia masih merupakan demokrasi yang stabil dan relatif lebih baik daripada demokrasi di negara lain di kawasan, seperti Thailand dan Filipina. Kemunduran demokrasi Indonesia dipandang secara umum sebagai gejala yang juga dialami oleh negara-negara lain di dunia. Kemunduran demokrasi menjadi problem global saat ini.
Namun, bukan berarti kemunduran demokrasi Indonesia dibiarkan begitu saja. Menurut Allen, ada persoalan checks and balances dan polarisasi. Mekanisme penyeimbang (checks and balances) lemah karena lembaga seperti KPK dan MK kini menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan. Padahal, selama ini dua lembaga itu menjadi simbol demokrasi di Indonesia. Di sisi lain, masyarakat sipil melemah dalam 10 tahun terakhir.
Sementara itu, menurut Allen, polarisasi menjadi faktor lain yang mengancam demokrasi di Indonesia.
”Polarisasi membahayakan demokrasi karena membagi masyarakat menjadi lawan satu sama lain. Mereka tidak hanya berbeda pandangan politik, tetapi lebih dari itu menempatkan pihak lain sebagai musuh yang harus dihancurkan. Sekalipun ada upaya untuk merangkul, misalnya dengan menjadikan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan, itu tidak menjamin polarisasi berakhir,” tuturnya.