Diskriminasi Pelayanan Publik sebagai Bentuk Malaadministrasi
Ombudsman RI menilai kasus diskriminasi pelayanan publik yang masuk kategori malaadministrasi masih sering terjadi, antara lain izin pendirian rumah ibadah dan diskriminasi pendidikan anak-anak penghayat.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus diskriminasi dalam pelayanan publik masih kerap ditemui di Indonesia. Beberapa kasus yang marak terjadi adalah izin pendirian rumah ibadah, penerbitan administrasi kependudukan penghayat maupun aliran agama tertentu, hingga pendidikan anak para penghayat. Ombudsman berharap pejabat pelayan publik kian menyadari bahwa diskriminasi adalah bentuk malaadministrasi.
Anggota Ombudsman RI, Ahmad Suaedy, dalam webinar, Rabu (23/9/2020), di Jakarta mengatakan, diskriminasi masuk dalam 10 jenis malaadministrasi yang diatur dalam Peraturan Ombudsman Nomor 26 Tahun 2017. Namun, penjelasan diskriminasi yang dimaksud dalam aturan itu masih diartikan secara umum, yaitu pelayanan yang membedakan.
Padahal, bentuk diskriminasi ada banyak, terutama bentuk diskriminasi khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Jika mengacu pada regulasi itu, bentuk diskriminasi pelayanan publik yang dapat dikategorikan malaadministrasi antara lain diskriminasi kaum marjinal, baik secara spasial maupun masyarakat. Diskriminasi itu sering terjadi pada kaum pinggiran, penganut agama kepercayaan, etnis atau ras tertentu, difabel, dan sebagainya.
Selama lima tahun terakhir, laporan yang masuk ke Ombudsman tentang diskriminasi pelayanan publik jumlahnya fluktuatif. Namun, dari rekomendasi yang dikeluarkan Ombudsman, masih ada 27 persen yang tidak ditindaklanjuti.
”Selama lima tahun terakhir, laporan yang masuk ke Ombudsman tentang diskriminasi pelayanan publik jumlahnya fluktuatif. Namun, dari rekomendasi yang dikeluarkan Ombudsman, masih ada 27 persen yang tidak ditindaklanjuti,” kata Ahmad.
Selama 2014-2020, ada 687 laporan dugaan malaadministrasi terkait diskriminasi pelayanan publik yang diterima Ombudsman RI. Jumlah laporannya pun meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2014 hanya ada 15 laporan, 2015 ada 39 laporan, 2016 ada 61 laporan, 2017 ada 80 laporan, 2018 ada 94 laporan, 2019 ada 114 laporan, dan hingga September 2020 sudah ada 126 laporan. Laporan dugaan diskriminasi minoritas paling mendominasi, yaitu sebanyak 126 laporan. Diskriminasi itu terutama menyangkut adat, agama, kepercayaan, disabilitas, hingga kaum marjinal.
Laporan yang diterima Ombudsman itu di antaranya kasus dugaan malaadministrasi 3.000-an KTP elektronik warga Ahmadiyah di Desa Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat. Warga Ahmadiyah di wilayah itu ditolak saat hendak membuat KTP-el. Selain itu, ada malaadministrasi tidak diberikannya pelayanan terhadap Majelis Agama Kaharingan Indonesia (MAKI) di bidang pendidikan dan keagamaan. Di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, sebanyak 5.000-an warga adat sabuk hutan lindung juga ditolak saat hendak membuat KTP-el.
”Ombudsman masih harus melakukan penguatan pemahaman dan sensitivitas tentang hak-hak minoritas dan kelompok rentan dalam pengawasan pelayanan publik serta partisipasi masyarakat. Sebab, penanganan malaadministrasi terhadap kelompok minoritas dan rentan ini masih kecil dan polanya belum jelas,” kata Ahmad.
Melanggar HAM
Sementara itu, pengajar Universitas Gadjah Mada, Zainal Abidin Bagir, mengatakan, diskriminasi termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang paling inti. Hal itu diatur dalam UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, dan ratifikasi konvensi HAM internasional.
Oleh karena itu, sikap Ombudsman RI yang mengarusutamakan diskriminasi sebagai bentuk malaadministrasi disambut baik. Menurut Zainal, selama ini masih banyak sekali terjadi kasus diskriminasi yang dialami kaum marjinal, misalnya diskriminasi dari sisi pendidikan, pendirian izin rumah ibadah, dan urusan administrasi kependudukan.
”Dengan pengarusutamaan diskriminasi sebagai bentuk malaadministrasi, Ombudsman sudah melakukan peran sebagai penafsir hak asasi manusia dalam konteks administrasi,” kata Zainal.
Dengan pengarusutamaan diskriminasi sebagai bentuk malaadministrasi, Ombudsman sudah melakukan peran sebagai penafsir hak asasi manusia dalam konteks administrasi.
Menurut Zainal, memang di Indonesia kasus yang paling banyak terjadi adalah judisialisasi dan birokratisasi agama. Itu karena akar permasalahannya ada di peraturan atau UU yang diskriminatif. Misalnya, soal agama yang diakui dalam UU. Oleh karena itu, harus dibuka ruang tafsir untuk memenuhi hak kelompok rentan.
Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Agung Budi Maryoto menambahkan, dari data pengawasan pengaduan masyarakat Polri, obyek penyalahgunaan hukum, hak asasi manusia 29 kasus, penyalahgunaan wewenang 47 kasus, hingga pelayanan masyarakat 10 kasus. Tidak semua laporan ditindaklanjuti karena sebagian hanya dalam bentuk pengawasan Polri. Dari total 1.064 kasus yang masuk, hanya 750 kasus yang dapat ditindaklanjuti.
Budi menyebutkan, masih tingginya pengaduan masyarakat itu disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor itu antara lain penanganan perkara yang berlarut-larut, adanya intervensi pihak lain dalam perkara, rekayasa atau manipulasi penanganan perkara, masih adanya pungli dalam pelayanan publik, penyalahgunaan wewenang oleh penyidik, serta penyidik tidak menyampaikan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan (SP2HP) kepada pelapor.