Pemerintah, Komisi II DPR, dan penyelenggara pemilu memutuskan Pilkada 2020 tetap digelar pada 9 Desember 2020. Desakan sejumlah pihak agar pilkada ditunda demi keselamatan rakyat di tengah pandemi Covid-19 diabaikan.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah, Komisi II DPR, dan penyelenggara pemilu mengabaikan desakan publik agar Pemilihan Kepala Daerah 2020 ditunda hingga pandemi Covid-19 dapat dikendalikan. Mereka beranggapan situasi saat ini masih terkendali sehingga pemilihan tetap bisa digelar. Padahal, penambahan kasus baru Covid-19 terus meningkat. Bahkan, Senin (21/9/2020), penambahan kasus harian mencapai rekor tertinggi sejak pemerintah pertama kali mengumumkan adanya kasus Covid-19 di Tanah Air pada 2 Maret lalu.
Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, pada Senin ada penambahan 4.176 kasus baru Covid-19 jika dibandingkan dengan sehari sebelumnya. Ini merupakan penambahan kasus harian tertinggi di Indonesia.
Dengan tambahan kasus harian itu, hingga 21 September total ada 248.852 kasus Covid-19 di Tanah Air. Sebanyak 180.797 pasien telah dinyatakan sembuh dan 9.677 pasien meninggal dunia.
Menteri Agama Fachrul Razi termasuk salah satu pasien Covid-19. Saat ini, Menag tengah menjalani isolasi mandiri.
Sekalipun kondisi pandemi Covid-19 kian membahayakan dan desakan publik makin kuat agar Pilkada 2020 ditunda, pemerintah, Komisi II DPR, dan penyelenggara pemilu menganggap situasi saat ini masih terkendali. Karena itu, dalam rapat yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, tahapan pilkada serentak di 270 daerah diputuskan tetap dilanjutkan pada tahun ini.
Berdasarkan pantauan Kompas, selama rapat berlangsung sekitar empat jam, tak ada paparan soal data penularan Covid-19 yang terbaru, terutama di daerah yang menggelar pilkada. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebatas memaparkan jumlah anggota penyelenggara pemilu di pusat dan daerah yang terpapar Covid-19.
Selain itu, desakan penundaan pilkada dari publik, seperti dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, juga tak dibahas mendalam. Tak ada pula anggota Komisi II DPR yang menyuarakan penundaan pilkada meski rakyat yang mereka wakili banyak yang menghendakinya.
Menurut Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, penundaan tidak mungkin dilakukan karena tak ada satu institusi pun yang bisa memastikan akhir dari pandemi Covid-19.
Selain itu, dengan pilkada tetap digelar, masyarakat bisa segera memperoleh pemimpin yang memiliki legitimasi kuat dalam menanggulangi pandemi. Pilkada juga disebutnya sebagai momentum mendorong 270 pemerintah daerah yang akan menggelar Pilkada 2020 agar lebih maksimal dalam menangani krisis akibat pandemi dan dampaknya.
Kemudian, dengan jumlah kontestan yang lebih dari 270 pasangan, ia meyakini akan terjadi pembagian alat pelindung diri yang masif di masyarakat.
Alasan lainnya, anggaran Pilkada 2020 sudah hampir seluruhnya dicairkan. Dengan total anggaran Rp 19 triliun, hal itu diharapkan dapat menstimulasi ekonomi.
Larangan konser
Untuk mencegah kluster penularan Covid-19 kembali muncul di proses pilkada selanjutnya, Komisi II DPR meminta adanya larangan pertemuan yang melibatkan orang banyak atau kerumunan, seperti rapat umum, konser, dan arak-arakan. Peserta pilkada pun dianjurkan agar berkampanye melalui daring.
Selain itu, sinergi lintas lembaga diminta diperkuat guna menegakkan kepatuhan pada protokol kesehatan dengan berlandaskan aturan yang ada.
Namun, Ketua Bawaslu Abhan menilai perlu adanya payung hukum baru berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk memperkuat kepatuhan pada protokol kesehatan selama tahapan pilkada. Perppu itu diharapkan berisi pula ancaman sanksi yang lebih berat bagi pelanggarnya.
Setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), desakan penundaan pilkada juga muncul dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
”Di tengah pandemi Covid-19 serta demi keselamatan bangsa dan menjamin pelaksanaan yang berkualitas, KPU hendaknya mempertimbangkan dengan saksama agar Pilkada 2020 ditunda sampai keadaan memungkinkan,” ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Sekretaris Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Paulus Christian Siswantoko pun mendorong penundaan Pilkada 2020. Penundaan terutama penting di daerah yang berisiko tinggi penularan Covid-19.
Ketua Pimpinan Pusat Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Philip K Widjaja, yang juga menyuarakan penundaan Pilkada 2020, meminta pemerintah bertanggung jawab pada keselamatan rakyatnya.
Desakan penundaan pun bermunculan di sejumlah daerah. Di Medan, Sumatera Utara, kemudian di Lampung, misalnya, sejumlah elemen masyarakat sipil mendesak agar pilkada ditunda.
Makin meluas
Penambahan kasus aktif Covid-19 terus terjadi dan penularan antarwilayah diyakini bakal meluas jika pilkada tetap diselenggarakan.
”Pilkada pasti meningkatkan mobilitas orang di dalam dan antarwilayah sehingga risikonya bisa dimodelkan. Apakah pemerintah sudah menghitung penambahan kasus dan risiko kematian, berikut antisipasinya? Kalau ini belum dihitung, berarti kebijakannya tanpa dasar sains,” kata Iqbal Elyazar, epidemiolog dari Forum Ilmuwan Muda Indonesia.
Ketua Satuan Tugas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia Zubairi Djoerban mengingatkan, Jakarta yang memiliki layanan rumah sakit dan tenaga kesehatan terbanyak sudah kewalahan menghadapi penambahan kasus baru Covid-19. Situasi bakal lebih mengkhawatirkan jika penularan membesar di daerah-daerah.
”Dengan situasi ini, saya mendukung pilkada ditunda dulu. Kita semua saat ini harus fokus dulu menanggulangi Covid-19,” katanya.