RUU Ketahanan Keluarga dinilai tidak terlalu mendesak dilakukan karena saat ini sejumlah aturan telah memberikan perlindungan kepada anggota keluarga sebagai individu dan warga negara yang hak-haknya dijamin konstitusi.
Oleh
RINI KUSTIASIH/INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyusunan Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga dinilai tidak terlalu mendesak dilakukan karena saat ini sejumlah peraturan atau undang-undang telah memberikan perlindungan dan jaminan kepada anggota keluarga sebagai individu dan warga negara yang hak-haknya dijamin oleh konstitusi. Beberapa ketentuan dasar, seperti hak atas pendidikan, kesehatan, dan perlindungan dari kekerasan, selain juga sudah diatur di dalam konstitusi, juga tercantum di beberapa ketentuan lainnya.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam, meminta agar pembahasan RUU Ketahanan Keluarga tidak dilanjutkan. Negara tidak boleh terlalu ikut campur urusan pribadi warga. Sebab, setiap warga memiliki corak tersendiri dalam membangun keluarga.
Apabila hal ini diseragamkan, Indonesia akan mengarah ke pemerintahan sentralistik. Hal itu berbahaya serta mengancam keberagaman di Indonesia.
”Indonesia menjadi kuat karena setiap keluarga dibangun berdasarkan coraknya yang khas sesuai dengan latar belakang budaya dan adat masing-masing. Sebaiknya, kita fokus pada RUU yang terkait kepentingan publik,” katanya saat dihubungi, Selasa (22/9/2020), dari Jakarta.
Di samping itu, sejumlah poin yang ada dalam RUU tersebut sudah diatur dalam UU lain. Tentang anak, misalnya, sudah ada UU tentang Perlindungan Anak. Pentingnya kesehatan keluarga pun juga sudah diatur dalam undang-undang kesehatan. Perempuan dan anak yang terlibat kasus hukum juga sudah diatur dalam metode khusus, seperti Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di Polri.
Koordinator Bidang Akses Keadilan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Feri Sahputra mengatakan, RUU Ketahanan Keluarga selain tidak mendesak dibahas, substansinya juga masih perlu dikaji mendalam, perlu atau tidaknya.
Sebab, sejak dari pendefinisian keluarga sebagai unit terkecil yang didasari oleh ikatan perkawinan yang sah, hal itu berpotensi diskriminatif bagi kelompok tertentu.
”Jika memang definisi keluarga itu harus adanya pernikahan yang sah, yang artinya dilihat dari hukum negara atau UU, dan tercatat dalam KUA atau dukcapil, lalu bagaimana dengan keluarga lain yang terbentuk karena tidak adanya perkawinan, apakah itu artinya mereka tidak akan mendapatkan perlindungan dari negara,” katanya.
Definisi keluarga yang mendasarkan pada perkawinan yang sah, menurut Feri, sejak awal rentan mendiskriminasi bentuk keluarga yang lain.
Sebagai unit atau kumpulan dari pribadi yang hubungannya privat satu sama lain, ada hal-hal yang tidak dapat diintervensi negara, kecuali hal-hal yang menjadi kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan HAM. Sedari awal, tanpa adanya RUU Ketahanan Keluarga pun telah ada jaminan dari negara mengenai hak-hak dasar itu.
”Kalau ternyata negara belum dapat memenuhi hal itu, bukan berarti lalu perlu untuk dibentuk UU yang baru. Karena ini bukan soal ketiadaan UU, melainkan implementasi ketentuan yang belum optimal,” ujarnya.
Menurut Feri, ada hal-hal privat yang sebaiknya tidak diatur oleh negara. Akses kesehatan dan pelayanan dasar, misalnya, negara memang harus masuk ke sana karena itu bukan hanya persoalan privat, melainkan bagian dari kepentingan publik dan jaminan bagi hak warga negara.
Sebagai contoh, jaminan pendidikan untuk anak-anak, negara punya kewajiban memastikan anak dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Negara harus hadir. Demikian juga dalam pemenuhan gizi anak, negara mesti mengoptimalkan bagaimana agar akses pada makanan bernutrisi itu dapat dijangkau oleh keluarga.
”Kalau terjadi kekerasan di dalam keluarga, ini bukan lagi ranah privat. Sebab, kekerasan itu urusan publik dan ada hak-hak pribadi warga negara yang mesti dilindungi di situ sekalipun mereka adalah satu keluarga. Demikian juga kalau ada tindakan keluarga yang mengancam ketertiban umum, negara bisa melakukan intervensi,” tuturnya.
Akan tetapi, kalau soal tata cara dan pola-pola pengasuhan, bahkan nilai-nilai tertentu berusaha ditanamkan dalam keluarga secara sistematis, menurut Feri, itu sudah terlalu jauh merasuk ke dalam urusan masing-masing keluarga.
Di samping itu, di dalam draf RUU Ketahanan Keluarga juga ada pihak lain, termasuk konsultan ketahanan keluarga, yang memberikan bantuan kepada keluarga yang mengalami masalah, kerentanan, tekanan, atau stres. Hal ini, menurut Feri, juga masih dipertanyakan karena sejauh mana konsultan itu mewakili negara dan seperti apa perannya dalam penyelesaian persoalan keluarga.
Anggota Komisi Nasional Perempuan, Dewi Kanti, juga berpendapat, RUU Ketahanan Keluarga tidak dibutuhkan. Menurut dia, tidak semua nilai dalam keluarga itu harus dibuat dalam peraturan formal. ”Ada tatanan etika dan moral yang tak mesti diadministrasikan dalam bentuk hukum,” ujarnya.
Sebaliknya, Dewi mendorong DPR agar fokus membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sempat tertunda pembahasannya. Sebab, RUU ini penting untuk memenuhi rasa keadilan terhadap korban.
Proses pendalaman
Sebelumnya, terkait dengan kekhawatiran sejumlah pihak mengenai masuknya negara ke dalam urusan privat, salah satu pengusul RUU Ketahanan Keluarga, anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Netty Prasetiyani, mengatakan, beberapa unsur privat telah dikeluarkan dari draf RUU Ketahanan Keluarga.
Selain itu, maksud pembentukan RUU itu pun bukan untuk membiarkan negara masuk mencampuri urusan privat, melainkan melindungi keluarga.
”Tidak ada upaya intervensi ruang privat. Keinginan menyeragamkan jenis dan bentuk keluarga di Indonesia itu, sesuatu yang tidak mungkin. Kalau pertanyaannya ialah apakah masih ada yang kurang dari gerakan kultural, seperti PKK dan lain-lain, serta dari apa yang sudah dilakukan oleh kementerian dan lembaga, ini kan sektoral. Dengan RUU ini, kami mengusulkan ada payung hukum UU Ketahanan Keluarga sebagai satu kesatuan yang harus dilihat secara utuh,” tutur Netty.
Ketua Panitia Kerja (Panja) Baleg Harmonisasi RUU Ketahanan Keluarga Willy Aditya mengatakan, penyusunan RUU Ketahanan Keluarga itu masih memerlukan waktu yang panjang. Pihaknya akan meminta koreksi dan perbaikan, serta melakukan kajian mendalam tentang bagaimana sebaiknya unsur-unsur privat di dalam draf RUU Ketahanan Keluarga itu dikeluarkan dan menekankan pada unsur publik.
”Ini masih proses pendalaman di Baleg DPR. Nanti akan dibahas di dalam Panja Baleg bagaimana mestimya draf RUU ini diposisikan, tentu dengan mendengar masukan dari fraksi-fraksi. Nanti, jika memungkinkan, saya juga akan mengusulkan digelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) mengenai RUU ini sehingga ada masukan dari masyarakat,” katanya.
Menurut Willy, jika sembilan fraksi sepakat, RUU Ketahanan Keluarga itu akan diteruskan ke tahap selanjutnya, yakni ke rapat paripurna dan menjadi RUU inisiatif DPR. Namun, jika tidak disepakati fraksi-fraksi, RUU Ketahanan Keluarga itu bisa tidak diteruskan pembahasannya ke tahap selanjutnya.