Mendagri: Antisipasi Kerumunan Saat Penetapan Calon
Rabu (23/9/2020), KPU di 270 daerah bakal menetapkan calon kepala/wakil kepala daerah di Pilkada 2020. Mendagri Tito Karnavian meminta kerumunan massa tak terjadi kembali. Ini penting demi mencegah penularan Covid-19.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengingatkan jajaran Satuan Polisi Pamong Praja atau Satpol PP di 270 daerah yang menggelar Pemilihan Kepala Daerah 2020 untuk mengantisipasi kerumunan massa saat penetapan calon kepala/wakil kepala daerah pada Rabu (23/9/2020).
Satpol PP diminta berkoordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya agar kerumunan yang berpotensi menularkan Covid-19, seperti terjadi saat tahapan pendaftaran calon, tidak terulang kembali.
Tito Karnavian menyampaikan hal itu dalam Rapat Koordinasi Kesiapsiagaan Pilkada 2020 dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19 dengan Kepala Satpol PP dan Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik di 270 daerah yang menggelar Pilkada 2020, Selasa (22/9/2020).
”Besok itu penetapan calon. KPU sudah menyampaikan tidak ada undangan untuk calon atau tim suksesnya. Yang ada hanya rapat pleno tertutup oleh KPU. Kemudian, setelah itu, diumumkan KPU. Pengumumannya melalui situs KPU atau dipasang di papan pengumuman kantor KPU,” tutur Tito.
Dengan cara itu, kerumunan massa pendukung calon yang terjadi saat tahapan pendaftaran calon, awal September lalu, bisa dicegah.
Namun, Tito mengingatkan, tidak tertutup kemungkinan calon yang dinyatakan lolos akan euforia menanggapi keputusan KPU. Bisa dengan arak-arakan atau bentuk lainnya. Selain itu, bisa juga terjadi, calon yang dinyatakan tidak lolos meluapkan kekecewaannya lantas mengerahkan massa ke kantor KPU. Kemungkinan-kemungkinan itu harus bisa dicegah.
”Tidak boleh sampai terjadi lagi kerumunan massa,” ujarnya.
Antisipasi kerumunan juga ditekankannya tak boleh terjadi di tahapan pilkada lainnya. Sebagai contoh, saat pengambilan nomor urut undian calon pada 24 September, masa kampanye selama 71 hari yang dimulai sejak Sabtu (26/9), dan saat pemungutan suara pada 9 Desember 2020.
Untuk mengantisipasi hal itu, Satpol PP diminta mengintensifkan koordinasi dengan TNI/Polri dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dengan penguatan koordinasi, langkah penindakan ketika terjadi pelanggaran protokol kesehatan bisa lebih optimal.
Satpol PP, misalnya, bisa menindak dengan menggunakan payung hukum peraturan daerah atau peraturan kepala daerah tentang kepatuhan pada protokol kesehatan. Polri bisa menindak dengan sejumlah aturan yang beririsan dengan kepatuhan protokol kesehatan, seperti Pasal 212 dan 218 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 14 Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit, dan Pasal 93 UU No 6/2018 tentang Karantina Kesehatan. Adapun Bawaslu bisa menindak peserta pilkada yang melanggar aturan protokol kesehatan yang diatur dalam peraturan KPU.
”Tindakan tegas dibutuhkan, tetapi jangan secara eksesif atau berlebihan, seperti main pukul. Namun, jangan pula terlihat lemah, ragu. Kalau lemah tidak akan dihargai, berlebihan mungkin akan digugat atau dicaci maki. Prinsipnya, kalau ada yang melanggar, tegakkan aturan,” kata Tito.
Dekati peserta pilkada
Selain langkah penindakan, Tito mendorong jajaran Satpol PP dan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik di 270 daerah yang menggelar pilkada untuk mendekati para calon dan partai politik. ”Dekati mereka agar mereka mematuhi setiap aturan protokol kesehatan selama pilkada,” ujarnya.
Pendekatan kepada partai politik ini, menurut Tito, juga ditempuh pemerintah pusat. Dalam rapat bersama para pemimpin partai politik di level pusat yang dipimpin Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Selasa pagi, para pemimpin partai disebutkan Tito akan mendorong jajarannya di daerah, termasuk calon yang mereka usung, untuk mematuhi protokol kesehatan.
Hasil evaluasi
Langkah-langkah antisipasi tersebut perlu diperkuat karena, berdasarkan hasil evaluasi Kemendagri terhadap tahapan pendaftaran calon yang menimbulkan kerumunan massa, kerumunan salah satunya terjadi akibat belum maksimalnya koordinasi antara penyelenggara pilkada dan pihak-pihak yang mengamankan pilkada. Akibatnya, kerumunan dibiarkan terjadi dan penindakan di lapangan terhadap mereka yang melanggar protokol kesehatan nyaris tidak ada.
Kerumunan juga ditimbulkan karena belum optimalnya sosialisasi soal pentingnya mematuhi protokol kesehatan. Hal lainnya, para bakal calon kepala/wakil kepala daerah masih menggunakan cara-cara lama, yaitu unjuk kekuatan dengan mengerahkan massa pandukung saat mendaftar ke KPU.
Langkah-langkah antisipasi juga perlu diperkuat karena, berdasarkan hasil rapat kerja antara pemerintah, Komisi II DPR, dan penyelenggara pemilu, Senin (21/9/2020), diputuskan Pilkada 2020 tetap digelar pada 9 Desember 2020 dengan catatan pengetatan kepatuhan terhadap protokol kesehatan.
Dalam acara pembacaan pernyataan sikap desakan penundaan Pilkada 2020 oleh koalisi masyarakat sipil, Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah mengingatkan, puncak dari demokrasi adalah kemanusiaan. Oleh karena itu, setiap proses di tahapan pilkada harus mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan, keselamatan, kesehatan, dan keamanan dalam situasi pandemi.
”Yang paling manusiawi dilakukan oleh negara adalah menunda pilkada,” ucap Anis.
Dalam situasi penyelenggaran proses demokrasi, menurut Anis, pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu harus selalu memprioritaskan situasi darurat, situasi wabah, dan situasi-situasi khusus yang bisa mengancam keselamatan banyak orang. Adapun situasi saat ini, Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia berada pada situasi yang darurat akibat pandemi Covid-19. ”Mestinya tidak ada alasan untuk tidak menunda pilkada,” katanya
Anis melihat bahwa sensitivitas pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu telah tumpul dengan tetap melanjutkan tahapan pilkada di tengah pandemi. Mereka tidak mempertimbangkan ratusan ribu korban yang telah terinfeksi positif Covid-19. ”Bahkan juga sampai pada penyelenggara sendiri yang berada di garda paling depan juga sudah banyak positif. Itu juga menjadi pertimbangan utama (tunda pilkada),” tutur Anis.