Warga Papua Berharap Perbaikan Hukum Selesaikan Konflik
Konflik antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata hingga kini masih berlangsung di Papua. Seperti halnya di Maluku dan Kalimantan Tengah, warga Papua juga ingin konflik diselesaikan dengan dialog untuk perdamaian.
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan konflik di Papua antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata yang berlangsung hingga kini dinilai masih mengedepankan militerisasi dengan pelibatan TNI/Polri secara masif. Masyarakat Papua sebenarnya ingin setiap konflik diselesaikan dengan damai, seperti halnya di Maluku dan Kalimantan Tengah.
Pemerhati perdamaian Papua Barat, Yan Christian Warinussy, dalam webinar ”Sabda dan Nada Perdamaian Papua: Bersama Mendamaikan Papua”, Senin (21/9/2020), mengatakan, konflik yang berlangsung lebih dari setengah abad di Papua tidak pernah terselesaikan dengan baik. Bahkan, konflik itu cenderung terus terjadi seiring dengan bergabungnya Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bahkan, dua tahun terakhir, menjelang berakhirnya kebijakan otonomi khusus di Papua, kekerasan meningkat. Terakhir, terjadi penembakan terhadap pendeta Yeremias Zanambani di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Pendeta Yeremias diduga ditembak saat hendak menuju lokasi ternak babi untuk memberi makan. Kini, kepolisian sedang mengusut dalang penembakan pendeta tersebut.
Baca juga : Tujuh Kabupaten di Papua Rawan Gangguan Keamanan
”Belum juga diketahui siapa pelakunya, sudah ada stigma bahwa pelaku penembakan adalah kelompok kriminal bersenjata. Padahal, seharusnya usut tuntas dulu kasus tersebut. Sebab, jika tidak diusut tuntas, kasus seperti itu sering digunakan oleh negara untuk menjustifikasi bahwa daerah tersebut sering terjadi tembak-menembak,” terang Yan Warinussy.
Belum juga diketahui siapa pelakunya, sudah ada stigma bahwa pelaku penembakan adalah kelompok kriminal bersenjata. Padahal, seharusnya usut tuntas dulu kasus tersebut. Sebab, jika tidak diusut tuntas, kasus seperti itu sering digunakan oleh negara untuk menjustifikasi bahwa daerah tersebut sering terjadi tembak-menembak.
Menurut Yan, dengan menstigma suatu daerah sebagai lokasi konflik bersenjata, kerap dijadikan alasan untuk mendirikan pos polisi ataupun pos militer. Pola-pola kekerasan dan stigmatisasi itu juga kerap menjadi modus untuk merampas tanah ulayat di Papua. Dalam kasus yang dia tangani di Papua Barat, misalnya, dua pemilik tanah ulayat dikriminalisasi oleh perusahaan penambang kayu. Penambang kayu masuk ke tanah ulayat warga, tetapi tidak ada penyelesaian terhadap hak warga pemilik tanah tersebut. Kemudian, pada April 2019 terjadi pembunuhan sadis terhadap seorang polisi Brimob yang bertugas di perusahaan tersebut. Tanpa alasan jelas, dua pemilik hak ulayat dituduh sebagai pelakunya.
”Ini merupakan pola kriminalisasi yang terjadi di Papua. Orang sipil dituduh melakukan kekerasan, padahal belum jelas duduk perkaranya. Sebelumnya warga aman dan damai memanfaatkan hasil alam, lalu dituduh wilayahnya tidak aman karena ada tembak-menembak,” terang Yan.
Menurut Yan, penyebab yang membuat konflik di Papua kian meruncing dan seolah tak terselesaikan adalah tidak pernah ada upaya penyelesaian secara hukum. Pemerintah seolah melabeli dan menstigma negatif masyarakat sipil sebagai kelompok kriminal bersenjata. Akibatnya, di mata publik, warga sipil Papua muncul dengan narasi negatif. Seharusnya, jika ingin menyelesaikan konflik secara damai, buatlah investigasi secara mendalam oleh Komnas HAM, misalnya. Dengan demikian, duduk perkara konflik dan kekerasan bersenjata di Papua dapat diselesaikan. Dorong dialog secara damai, integral sejumlah pihak dan tokoh masyarakat Papua. Rakyat Papua juga ingin didengar suaranya, bukan malah direpresi dengan kekuatan polisi dan militer.
”Yang selalu terjadi, tidak ada upaya penyelesaian yang baik secara hukum masalah pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Apa yang terjadi ditutup-tutupi dan dinarasikan sesuai kepentingan penguasa. Tanpa penyelesaian hukum yang baik, konflik di Papua sulit berakhir dalam waktu dekat,” papar Yan.
Kompleks
Pemerhati perdamaian di Papua, Latifah Anum Siregar, menambahkan, konflik di Papua sudah sangat kompleks. Tak hanya tentang konflik sumber daya alam seperti di Maluku dan Kalimantan Tengah, dimensi konflik di Papua lebih banyak dan beragam. Ini karena konflik di Papua sudah berlangsung sangat lama.
Namun, Latifah menyoroti, konflik di Papua sebenarnya meningkat tajam sejak 2014. Itu ditandai dengan pendekatan represif terhadap kebebasan sipil di Papua. Diduga, strategi itu dilakukan untuk menahan solidaritas negara-negara Pasifik terhadap gerakan Organisasi Papua Merdeka. Hal itu seolah menjadi target operasi terhadap masyarakat sipil yang gencar menyuarakan pelanggaran HAM di Papua. Kemudian, hal itu diperparah pada tahun 2018 di mana ada banyak transaksi amunisi terjadi. Menurut catatan Latifah, ada lebih dari 4.000 butir peluru ditransaksikan di Papua.
Sejak itu pula gerakan masyarakat sipil di Papua kian nyaring menyuarakan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Mereka menuntut ketidakadilan sosial, hukum, dan penindasan yang terjadi di Papua. Namun, aspirasi itu kemudian diredam dengan narasi persatuan, seperti ”Saya Papua, Saya Indonesia”. Masalah yang sebenarnya tidak pernah diselesaikan. Namun, tuntutan masyarakat sipil di Papua dianggap sebagai bentuk separatisme.
Menurut Latifah, dalam penyelesaian konflik di Papua, pemerintah juga inkonsisten. Masyarakat tidak pernah mendengar suara orang Papua. Namun, kebijakan dari pusat seolah dipaksakan. Salah satunya dengan UU Otonomi Khusus dan pemekaran wilayah. Pemerintah hanya memberikan dana daerah, tanpa memikirkan program pemberdayaan masyarakat.
”Konsep dan revisi UU Otonomi Khusus Papua serta pemekaran wilayah itu datangnya dari pemerintah pusat. Tidak ada dialog antara pemerintah pusat dan warga Papua untuk mengetahui apa sebenarnya aspirasi mereka,” kata Latifah.
Menjelang berakhirnya UU Otonomi Khusus Papua, Latifah juga melihat ada peningkatan kekerasan bersenjata di Papua. Pada Januari-September 2020 terjadi sekitar 30 kasus penembakan di Papua. Dikhawatirkan, kasus akan naik frekuensinya karena warga yang menjadi korban berasal dari kedua belah pihak, baik aparat maupun sipil.
Pemerintah harus berdialog dengan warga Papua. Jangan hanya sebatas rekonsiliasi elite, tetapi benar-benar menjaring aspirasi warga Papua. Hal itu bisa dilakukan dengan memperbanyak dialog bersama tokoh masyarakat maupun masyarakat sipil Papua.
Menurut Latifah, jika pemerintah ingin mengakhiri konflik di Papua, buatlah jeda kemanusiaan. Tarik kebijakan represif aparat di Papua karena sudah banyak korban masyarakat sipil di sana. Pemerintah juga harus berdialog dengan warga Papua. Jangan hanya sebatas rekonsiliasi elite, tetapi benar-benar menjaring aspirasi warga Papua. Hal itu bisa dilakukan dengan memperbanyak dialog bersama tokoh masyarakat maupun masyarakat sipil Papua.
Tak tunggal
Pemerhati perdamaian Maluku, Pendeta Jacky Manuputi, menyampaikan, di Maluku, konflik dan segregasi sosial juga lama terjadi. Dia mencatat setidaknya konflik itu terjadi dalam empat fase dimulai sejak 1999-2004. Hingga saat ini, masyarakat pun masih merasa trauma dan sisa-sisa konflik masih ada. Namun, di Maluku, konflik tersebut dapat diselesaikan dengan pendekatan budaya. Dia termasuk sosok sentral yang mendukung upaya perdamaian di Maluku.
Selain itu, menurut Jacky, para tokoh perdamaian juga secara khusus meminta pemerintah terlibat dalam upaya rekonsiliasi konflik di Maluku. Saat itu dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebelum adanya perjanjian Malino II. Konflik di Maluku pun akhirnya dapat selesai setelah sekitar 8.000 orang menjadi korban.
”Konflik di Poso dan Ambon juga sulit sekali diatasi. Bahkan, hingga empat kali kepemimpinan presiden baru bisa terselesaikan,” kata Jacky.
Menurut Jacky, salah satu upaya untuk menyudahi konflik di Maluku adalah dengan pendekatan dialog masyarakat. Pendekatan itu perlu melibatkan seluruh elemen pemangku kepentingan. Sebab, belum tentu pendekatan yang dibuat pemerintah pusat sesuai bagi daerah. Pemerintah harus memilih pendekatan lain yang lebih humanis.
”Ingat juga bahwa ada yang mengail di air keruh dalam setiap konflik. Mereka seolah berbisnis di pusaran konflik dan tidak mau konflik berakhir dengan damai,” ujar Jacky.
Ingat juga bahwa ada yang mengail di air keruh dalam setiap konflik. Mereka seolah berbisnis di pusaran konflik dan tidak mau konflik berakhir dengan damai.
Yanedi Jagau, pemerhati perdamaian dari Sampit, Kalimantan Tengah, menambahkan, penyebab konflik pasti tak tunggal. Namun, belajar dari konflik di Sampit, penyebabnya adalah adanya praktik premanisme, perpindahan penduduk (transmigrasi), serta runtuhnya rezim otoriter. Setelah Orde Baru tumbang, muncul kekuatan-kekuatan kecil dan lokal di daerah. Mereka masuk dengan konflik kepentingan, seperti mengkriminalisasi dan memarjinalkan masyarakat adat serta merampas hutan dan hak adat. Konflik-konflik itu kemudian dikemas sedemikian rupa hingga yang terlihat di publik adalah benturan antarsuku bangsa. Padahal, jauh di luar itu ada kelindan konflik kepentingan lainnya.
Belajar dari pengalaman rekonsiliasi konflik di Sampit, Yanedi mengajak masyarakat Papua agar bangkit dari meratapi nasib. Masyarakat Papua perlu bangkit melawan dengan pendekatan yang sistematis. Salah satunya dengan menuntut penyelesaian konflik dari sisi administrasi dan hukum. Masyarakat Papua harus bangga dengan identitas dan adat istiadatnya sehingga suatu saat apa yang ada di masyarakat adat dapat berkontribusi untuk membangun peradaban bangsa yang besar ini.
”Jangan biarkan ada perampasan tanah adat melalui korporasi besar yang disetujui negara. Ini dampaknya luar biasa bagi masyarakat adat. Hutan hilang, tempat berburu hilang, makanan hilang. Ini sebenarnya yang perlu dicari solusinya agar tercipta penyelesaian konflik yang damai,” tutur Yanedi.