Ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, mendesak pemerintah, DPR, dan KPU untuk menunda pilkada mengingat perkembangan kasus Covid-19 yang masih terus meninggi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU meminta pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Komisi Pemilihan Umum menunda pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 hingga tahap darurat kesehatan masyarakat selesai. Ormas Islam terbesar di Indonesia ini berpendapat, walaupun menggunakan protokol kesehatan ketat, tahapan pilkada yang melibatkan lebih dari 100 juta orang itu sulit terhindar dari kerumunan orang. Potensi munculnya kluster baru dalam pelaksanaan tahapan pilkada pun sangat besar.
Ketua PBNU Said Aqil Siroj melalui keterangan tertulis, Minggu (20/9/2020), mengatakan, Nahdlatul Ulama selalu mencermati perkembangan penanggulangan pandemi Covid-19. Baru-baru ini, penyebaran Covid-19 semakin meluas dan bahkan jumlah pasien positif harian terus memecah rekor tertinggi. Semua elemen masyarakat berkewajiban memutus penyebaran penyakit akibat virus SARS-CoV-2 itu. Pemerintah, selaku regulator, sebaiknya juga memprioritaskan kebijakan untuk mengentaskan krisis kesehatan terlebih dulu. Upaya pengetatan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) perlu didukung tanpa mengabaikan kelangsungan kehidupan ekonomi masyarakat.
”Nahdlatul Ulama berpendapat bahwa melindungi kelangsungan hidup (hifdz al-nafs) dengan protokol kesehatan sama pentingnya dengan menjaga kelangsungan ekonomi (hifdz al-mâl) masyarakat. Namun, karena penularan Covid-19 telah mencapai tingkat darurat, prioritas utama kebijakan negara dan pemerintah selayaknya diorientasikan untuk mengentaskan krisis kesehatan,” ujar Said Aqil.
PBNU menilai, penyelenggaraan pilkada serentak di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota tidak sesuai dengan semangat memutus rantai penyebaran Covid-19. Apalagi, agenda politik di Indonesia selalu identik dengan mobilisasi massa. Meskipun sudah ada regulasi tentang protokol kesehatan, sulit untuk menjamin semua aktor politik akan menaati aturan. Terbukti, pada tahapan pendaftaran bakal pasangan calon pada 4-6 September lalu marak pelanggaran. Bahkan, sejumlah penyelenggara pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah, serta para calon kontestan pilkada positif terpapar Covid-19. Terbaru, Ketua KPU Arief Budiman dan anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, juga terpapar Covid-19.
”PBNU meminta KPU, pemerintah, dan DPR untuk menunda pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 hingga tahap darurat kesehatan terlewati. Meskipun sudah ada protokol kesehatan ketat, sulit menghindari konsentrasi massa di semua tahapan pilkada,” ujar Said.
Selain meminta penundaan Pilkada Serentak 2020, PBNU juga meminta agar anggaran Pilkada Serentak 2020 direalokasikan untuk penanganan krisis kesehatan dan penguatan jaring pengaman sosial. Sebelumnya, PBNU juga sudah menyoroti peninjauan ulang pelaksanaan pilkada yang dianggap banyak menimbulkan mudarat, seperti politik uang dan biaya politik yang tinggi. Hal itu pernah disampaikan dalam rekomendasi konferensi besar NU tahun 2012 di Cirebon, Jawa Barat.
Masih dibahas
Sementara itu, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah belum menentukan sikap mengenai pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti saat dihubungi, Minggu, mengatakan, PP Muhammadiyah belum menentukan sikap mengenai Pilkada Serentak 2020. Melihat perkembangan situasi terkini, usulan itu akan disampaikan dalam waktu dekat.
”Kami akan segera umumkan pada Senin atau Selasa,” kata Mu’ti.
Sebelumnya, Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir menegaskan bahwa semua elemen bangsa tidak boleh meremehkan pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 bukan semata-mata persoalan ekonomi, sosial, politik, tetapi juga tragedi kemanusiaan karena telah merenggut banyak nyawa. Pandangan yang cenderung meremehkan Covid-19 bertentangan dengan prinsip keagamaan dan ketuhanan.
Selain itu, pandangan tersebut juga bertentangan dengan prinsip keharusan menyelamatkan nyawa manusia yang merupakan ajaran Islam. Problem utama pandemi, yakni kesehatan, tidak boleh dikesampingkan. Semua pihak, termasuk pemerintah, harus terus berupaya mencegah penularan sekaligus mengendalikan Covid-19.
”Kami berharap kepada pemerintah ketika mengambil keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang terkait pandemi harus betul-betul dilakukan dengan saksama. Termasuk usaha mengendalikan Covid-19 ini sebagai prioritas utama,” ujar Haedar pada Juli lalu.
Sementara itu, Pengurus Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Jawa Barat sudah menyatakan sikap menolak pelaksanaan Pilkada 2020. Penolakan didasarkan pada fakta bahwa jumlah kasus positif Covid-19 yang terus meroket. Ketua PWPM Jabar Reza Arfah melalui keterangan tertulis mengatakan, pelaksanaan pilkada di tengah amuk Covid-19 berisiko memunculkan kluster baru. Karena itu, PWPM Jabar meminta pemerintah meninjau ulang keputusan pelaksanaan pilkada serentak tersebut. Pekerjaan rumah pemerintah saat ini adalah menjaga keselamatan masyarakat.
”Pemerintah sebaiknya menunda Pilkada 2020 sampai situasi membaik. Walaupun sudah ada aturan protokol kesehatan, itu tidak menjamin penularan karena faktanya masyarakat kita belum disiplin,” kata Reza.
Hingga saat ini, pemerintah belum berencana menunda pelaksanaan pilkada. Pilkada akan tetap digelar pada 9 Desember mendatang.