Dokter Reisa, Covid-19, dan Ancaman Misinfodemik
Indonesia ada di peringkat kelima terbanyak dilanda infodemik Covid-19, dari 87 negara yang dikaji. Informasi sesat dan rumor bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat ke petugas medis. Menyulitkan penanganan Covid-19
“Di akhir pekan, biasanya kita keluar rumah. Tapi, selama pandemi belum berakhir, keluar rumah hanya untuk hal mendesak saja ya.”
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dr Reisa Broto Asmoro dengan nada suara tertata mengajak masyarakat untuk bersama-sama mematuhi protokol kesehatan. Ia juga mengingatkan, pandemi Covid-19 belum berakhir.
Gerakan 3M, yakni menggunakan masker, menjaga jarak dan menjauhi kerumunan, serta mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir perlu dilakukan sesering mungkin saat beraktivitas di luar rumah. Adapun pemerintah, menjalankan 3T – testing, tracing, dan treatment atau pemeriksaan, pelacakan, dan perawatan dalam menghadapi Covid-19.
“Pemerintah 3T, kita 3M. Indonesia pasti bisa,” ujarnya dengan lembut dalam konferensi pers secara virtual dari Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (18/9/2020).
Mantan model dan Putri Indonesia Lingkungan 2010 ini diharap mampu menarik perhatian masyarakat dan bisa menyampaikan banyak informasi mengenai Covid-19. Bukan apa-apa, pandemi yang di Indonesia sudah berlangsung sejak awal Maret melahirkan banyak misinformasi. Informasi sesat, rumor yang belum terverifikasi, stigma, dan teori konspirasi banyak beredar di masyarakat, terutama di ruang daring.
Sepanjang Januari sampai September 2020 di Indonesia, menurut Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho dalam diskusi daring yang diadakan Journocoders Indonesia, Jumat (18/9), terdapat setidaknya 609 kabar bohong soal pandemi Covid-19 atau misinfodemik.
Bahkan, dalam artikel Covid-19 Related Infodemic and Its Impact on Public Health: A Global Social Media Analysis yang ditulis Md Saiful Islam dan kawan-kawan di The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene (2020), disebutkan, dari 87 negara yang dilanda informasi tidak tepat tentang pandemi (misinfodemik), Indonesia menduduki peringkat kelima terbanyak setelah India, Amerika Serikat, China, Spanyol.
Baca juga: Disinformasi dan Hoaks Terkait Covid-19 Makin Mencemaskan
Dalam data yang dikumpulkan sepanjang 31 Desember 2019 sampai 5 April 2020 dari Facebook, Twitter, dan portal berita daring, para peneliti tersebut mendapati 2.311 laporan terkait infodemik, dalam 25 bahasa di 87 negara. Dari jumlah tersebut, 89 persennya adalah rumor, baik informasi tidak tepat maupun sesat. Sebanyak 7,8 persen berisi teori konspirasi, sedangkan sisanya stigma.
Dalam kesimpulannya, mereka menyebutkan, informasi sesat dan rumor bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada para petugas medis. Akibatnya juga bisa fatal pada kesehatan masyarakat. Upaya memutus penularan Covid-19 juga semakin sulit.
Salah satunya contohnya, rumor mengenai konsumsi alkohol konsentrasi tinggi sebagai obat Covid-19 yang beredar di seluruh dunia. Hal tersebut mengakibatkan sekitar 800 orang meninggal, 5.878 masuk rumah sakit, dan 60 orang buta.
Di Indonesia, kata Septiaji, informasi sesat ini mengakibatkan adanya masyarakat yang mencuri jenazah pasien Covid-19, mengintimidasi dokter dan perawat, bahkan mempercayai bahwa Covid-19 tidak ada, bahkan hanya diciptakan media, atau untuk kepentingan bisnis rumah sakit.
Oleh karena itu, klarifikasi atas informasi sesat tersebut menjadi sangat penting. Mafindo berkontribusi melalui situs Turnbackhoax.id dan media sosialnya. Pemerintah juga menyampaikan klarifikasi melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta media arus utama juga kerap memberitakan hasil pengecekan fakta.
Masalahnya, kata Septiaji, tidak semua semua orang bisa mengakses informasi digital dengan baik. Karenanya, agenda off-air bertajuk AyolawanCovid-19 di Yogyakarta dan kota lain dilakukan. Tujuannya, edukasi sembari membagi masker dan stiker.
Presiden Joko Widodo melalui akunnya di Youtube juga kerap mengunggah berbagai informasi mengenai Covid-19 termasuk apa yang harus dilakukan saat isolasi mandiri. Namun, semua itu dirasa tidak cukup. Sebab, diperlukan konsistensi juru bicara pemerintah, selain juga transparansi. Ketika pernyataan-pernyataan dan tindakan pemerintah tak konsisten dan bahkan terkadang antisains, kepercayaan masyarakat tidak terbangun.
Keterbukaan informasi
Dokter Reisa dalam konferensi pers Jumat (18/9) misalnya menyebut jumlah pemeriksaanCovid-19 di Indonesia jumlahnya semakin banyak perhari. “Data Kemenkes mencatat telah lebih dari 10.000 tes per satu juta penduduk,” ujarnya.
Namun, dia tidak menyebutkan bahwa banyaknya pemeriksaan terkonsentrasi di DKI Jakarta. Adapun di provinsi-provinsi lain, jumlah pemeriksaan PCR masih belum mencapai standar yang direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yakni satu per seribu populasi per minggu. Pertengahan Agustus 2020, tes PCR di DKI sudah sekitar 5.000 perhari (Kompas.id, 18 Agustus 2020).
Keterbukaan juga perlu dibudayakan. Para pejabat yang terinfeksi Covid-19 semestinya segera diumumkan. Namun, pemerintahan malah diam saat dihujani pertanyaan oleh awak media soal status Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang disebut positif Covid-19 awal September. Belakangan, konfirmasi status positif itu datang dari rekan satu parpol Edhy Prabowo.
Adanya kasus-kasus di perkantoran baik pemerintah maupun swasta semestinya juga diumumkan. Sebab, hal ini akan memudahkan pelacakan. Orang-orang yang berinteraksi dengan mereka yang terinfeksi bisa segera mengisolasi diri sendiri sebagai antisipasi. Apalagi, terinfeksi Covid-19 bukan aib.
Selain komunikasi yang tranparan dan konsisten, edukasi juga semestinya bisa dilakukan lebih intensif. Untuk sebagian kelompok masyarakat di Indonesia, edukasi dari pemimpin agama, kepala daerah, kepala suku, atau tetua adat mungkin lebih dipercaya. Karenanya, tambah Septiaji, diperlukan banyak pemangku kepentingan yang bekerja sama.
Kenyataannya, memang banyak masyarakat mengabaikan protokol kesehatan karena berbagai faktor. Di pasar tradisional di Kota Bogor, Jawa Barat misalnya, jarang ditemui pedagang yang menggunakan masker. Endi, salah satu pedagang, mengatakan, sebelum bekerja dan keluar rumah selalu berserah kepada Tuhan dan meminta perlindungan. Karenanya, dia yakin dan tak mengenakan masker.
Maraknya informasi sesat terkait pandemi Covid-19, menurut Zainab Husain Managing Editor Soch Fact Check, organisasi pengecek fakta di Pakistan, dalam diskusi daring Jumat (18/9) juga dihadapi Pakistan. Karenanya, semakin banyak kelompok masyarakat dan pemerintah yang bekerja sama semakin baik. Selain itu, di Pakistan pun, penjelasan perlu dilakukan dalam bahasa lokal sebab tak semua memahami bahasa Inggris.
Septiaji sepakat. “Ini isu yang sangat serius. Kalau gagal mengatasi misinfodemik ini, melawan pandemi akan semakin susah,” katanya.
Pertanyaannya mau dan mampu kah kita?