Tunda Pilkada untuk Benahi Aturan Protokol Kesehatan
Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu diminta membuka opsi penundaan pilkada. Penundaan pelaksanaan agenda politik lima tahunan itu dapat digunakan untuk memperkuat regulasi sanksi pelanggar protokol kesehatan.
JAKARTA, KOMPAS — Memaksakan penyelenggaraan pilkada di tengah kasus Covid-19 yang meroket, tanpa didukung instrumen hukum yang memadai, sangat membahayakan keselamatan publik. Oleh karena itu, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Komisi Pemilihan Umum diminta membuka ruang opsi penundaan pilkada. Penundaan pilkada bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki instrumen hukum tentang protokol kesehatan.
Wacana tersebut mengemuka dalam diskusi ”Perlindungan Hak atas Kesehatan dalam Tahapan Pilkada di Masa Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kamis (17/9/2020). Melihat kondisi penularan Covid-19 yang kian tak terkendali, Komnas HAM dan masyarakat sipil kembali mendesak agar pemerintah, KPU, dan DPR membuka opsi penundaan pilkada.
Selama ini, pemerintah, DPR, dan KPU seolah menutup ruang opsi tersebut. Padahal, fakta menunjukkan bahwa di dalam tahapan pilkada yang sudah berlangsung, aktor yang terlibat sulit menaati protokol kesehatan.
Sebanyak 243 pasangan bakal calon melanggar protokol kesehatan saat tahapan pendaftaran. Bahkan, temuan Bawaslu, pasangan bakal calon yang sudah dinyatakan positif Covid-19 pun masih nekat datang ke kantor KPU untuk mendaftar. Di Boyolali, sebanyak 96 pengawas pemilu terpapar Covid-19 seusai tahapan pendaftaran. Terbaru, ada dua komisioner KPU di daerah dan tiga anggota Bawaslu di daerah juga dinyatakan positif Covid-19.
Baca juga : Kluster Covid-19 di Pilkada Bertambah
Menurut pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Khairul Fahmi, selama instrumen hukum tidak diperbaiki, memaksakan pilkada di tengah pandemi Covid-19 akan membahayakan keselamatan masyarakat. KPU dan Bawaslu tidak bisa mengandalkan kesadaran masyarakat. Imbauan ataupun pakta integritas juga tidak bisa menjadi jaminan kepatuhan pada protokol kesehatan.
Oleh karena itu, sebelum terlambat, sebaiknya pemerintah membuka opsi penundaan pilkada. Penundaan dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki regulasi yang ada.
”Melaksanakan pilkada di masa pandemi sekaligus menjaga kesehatan masyarakat adalah hal yang sulit. Persoalannya, pilkada di masa krisis ini tidak didukung instrumen hukum yang sesuai dengan kondisi yang ada,” kata Khairul.
Sejumlah peraturan KPU memang sudah ada yang mengatur mengenai penerapan protokol kesehatan. Namun, hal tersebut belum rinci, tegas, dan mengikat.
Sejumlah peraturan KPU memang sudah ada yang mengatur mengenai penerapan protokol kesehatan. Namun, hal tersebut belum rinci, tegas, dan mengikat. Pasangan bakal calon yang terang-terangan melanggar protokol kesehatan tidak dapat dikenai sanksi elektoral yang menimbulkan efek jera. Regulasi yang rinci, tegas, dan mengikat mutlak diperlukan jika ingin melanjutkan pilkada di masa pandemi. Hal itu hanya dapat dicapai dengan revisi UU Pilkada, atau menerbitkan kembali peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) penundaan pilkada. Jika hanya diatur dalam PKPU, sifatnya tidak akan kuat dan mengikat.
”Apa sanksi yang diterapkan kepada pasangan bakal calon yang melanggar protokol kesehatan kemarin? Tidak ada konsekuensi elektoral yang terjadi karena pelanggaran tersebut. Seharusnya ini dievaluasi untuk mengubah aturan yang ada,” kata Khairul.
Hal senada diungkapkan anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Titi juga menyarankan penundaan pilkada dapat dimanfaatkan untuk merancang regulasi tentang protokol kesehatan. Dengan demikian, ada instrumen hukum yang menjamin bahwa pelaksanaan pilkada dapat diupayakan sehat meski di masa pandemi.
Menurut Titi, yang masih perlu ditajamkan adalah konstruksi sanksi atas pelanggar protokol kesehatan. Regulasi itu harus menjangkau seluruh aktor yang terlibat dalam pilkada. Misalnya, bagi pasangan calon yang melanggar, harus ada sanksi administratif pemilihan yang tegas dan mengikat. Saat mereka melanggar protokol pada masa kampanye, misalnya, sanksinya harus detail, apakah kemudian dilarang ikut berkampanye lagi atau ada opsi lain.
Penundaan pilkada dapat dimanfaatkan untuk merancang regulasi tentang protokol kesehatan. Dengan demikian, ada instrumen hukum yang menjamin bahwa pelaksanaan pilkada dapat diupayakan sehat meski di masa pandemi.
Bagi pasangan calon petahana, Kementerian Dalam Negeri juga diminta merumuskan sanksi administrasi pemerintahan. Petahana sebagai ketua satgas penanganan Covid-19 di daerah seharusnya memberikan contoh yang baik bagi masyarakat. Ketika mereka gagal melakukan hal itu, harus ada konsekuensinya. Selain itu, aturan mengenai ancaman jeratan pidana umum bagi pelanggar protokol kesehatan juga harus lebih jelas diatur.
”Jangan ada lagi saling lempar tanggung jawab. Pelanggaran terhadap protokol kesehatan ini adalah masalah serius karena bisa mengancam nyawa manusia,” ujar Titi.
Baca juga : Muncul Desakan Penundaan Parsial Pilkada, Pemerintah Bergeming
KPU, pemerintah, dan DPR pun diminta tidak menutup diri mengenai diskursus penundaan pilkada. Selama ini, kata Titi, sikap yang ditunjukkan ke publik seolah-olah pilkada adalah harga mati. Para pemangku kepentingan seolah juga tidak melihat ada masalah serius yang perlu penanganan mendesak. Munculnya kluster positif di tahapan pendaftaran, serta kasus Covid-19 yang terus meroket, seharusnya membuka peluang untuk dialog inklusif.
Masukan dari berbagai pihak, termasuk Komnas HAM, sebaiknya disikapi terbuka. Apalagi, Komnas HAM mengkaji aspek-aspek hak dasar masyarakat yang berpotensi dilanggar apabila pilkada tetap dilanjutkan. Tahun 2019, masyarakat sudah memiliki memori kolektif yang buruk tentang pemilu. Ratusan penyelenggara pemilu meninggal karena faktor kelelahan. Jangan sampai hal serupa terjadi di masa pandemi ini.
”Kemungkinan dan opsi-opsi harus dibuka oleh otoritas terkait. Mereka harus punya indikator terukur dan mitigasi terhadap kemungkinan terburuk. Masalah ini jangan sampai disimplifikasi hanya karena kewajiban sirkulasi elite,” kata Titi.
KPU, pemerintah, dan DPR pun diminta tidak menutup diri mengenai diskursus penundaan pilkada. Selama ini, sikap yang ditunjukkan ke publik seolah-olah pilkada adalah harga mati.
Mengenai opsi penundaan pilkada, Titi berpendapat Pasal 201 A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu No 2/2020 membuka ruang tersebut. Namun, memang keputusan politik yang melibatkan tiga otoritas harus diambil saat memutuskan penundaan serentak. Jika penundaan dilakukan secara parsial, sesuai Pasal 22 UU No 8/2015, justru bisa diusulkan oleh KPU sendiri. Dalam UU tersebut diatur KPU kabupaten/kota atas usul Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dapat menunda pelaksanaan pemilihan di sejumlah desa/kelurahan. KPU kabupaten/kota atas usul PPK juga bisa menunda pemilihan di lingkup kecamatan. Adapun KPU provinsi dapat mengusulkan penundaan pemilu di sejumlah kabupaten/kota.
Koordinasi dengan TNI dan Polri
Sementara itu, anggota Bawaslu, Rahmat Bagja, mengatakan, pihaknya menyadari betul potensi pelanggaran protokol kesehatan yang rawan terjadi di tahapan penetapan pasangan calon, pengundian nomor urut, dan kampanye. Dalam semua tahapan itu, sangat berpotensi terjadi penggerakan massa. Oleh karena itu, Bawaslu membentuk kelompok kerja bersama kepolisian, kejaksaan, dan Kemendagri untuk mengantisipasi pelanggaran di masa tersebut. Pokja tersebut membahas secara teknis respons apa yang dilakukan ketika ada kerumunan massa.
”Misalnya pada saat pengundian nomor urut, jika ada kerumunan, akan dibubarkan oleh polisi dengan pola pembubaran unjuk rasa,” kata Bagja.
Bawaslu bersama Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan akan bertemu dengan pimpinan partai politik agar membuat surat edaran kepada dewan pengurus di daerah untuk tertib pada protokol kesehatan.
Selain itu, pihaknya juga akan mengumpulkan dewan pengurus partai politik untuk membuat komitmen taat pada protokol kesehatan. Bawaslu bersama Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan akan bertemu dengan pimpinan partai politik agar membuat surat edaran kepada dewan pengurus di daerah untuk tertib pada protokol kesehatan.
”Kami mencoba menggugah keseriusan parpol untuk menaati protokol Covid-19. Sebab, parpol adalah pihak yang paling berkontribusi mengumpulkan massa,” kata Bagja.
Terkait dengan usulan sanksi administrasi diskualifikasi pasangan calon, Bagja berpendapat aturan itu tidak dimungkinkan dari sisi undang-undang. Pasangan calon baru bisa didiskualifikasi apabila tidak memenuhi syarat, terbukti melakukan mahar politik, dan melakukan tindak pidana lain. Sekarang, yang sedang didorong oleh Bawaslu adalah apabila ada bukti yang cukup, pasangan bakal calon yang melanggar dapat diproses secara pidana di kepolisian.
”Apabila pelanggar dapat diproses secara pidana umum, itu bisa jadi alasan untuk diskualifikasi calon meskipun prosesnya akan panjang,” kata Bagja.
Baca juga : Tunda Pilkada di Daerah, Risiko Penularan Covid-19 Tinggi
Rekomendasi
Komisioner Komnas HAM, Amir Al Rahab, mengatakan, dalam waktu dekat Komnas HAM akan bertemu dengan Bawaslu untuk menindaklanjuti masukan dari masyarakat sipil pemilu. Komnas HAM akan mendukung Bawaslu untuk memberikan masukan yang lebih kuat kepada Presiden agar opsi penundaan pilkada dibuka. Dalam situasi penularan Covid-19 yang kian meluas, banyak hal yang harus dibenahi. Hal itu tidak bisa disimplifikasi karena dampaknya adalah keselamatan masyarakat. Hak asasi manusia pun berpotensi dilanggar apabila pilkada tetap dilanjutkan tanpa instrumen hukum yang sesuai.
”Komnas HAM tidak memiliki kepentingan apa pun dalam mendorong penundaan pilkada di masa pandemi ini. Kami justru bergerak dan bersuara demi melindungi dan menjunjung tinggi pemenuhan hak asasi manusia,” kata Amir.