Meski Badan Legislasi DPR menyetujui RUU Kejaksaan untuk dilanjutkan pembahasannya di Komisi III DPR sebelum menjadi RUU inisiatif DPR, RUU tersebut sebaiknya dikaji lagi agar tak bermasalah beberapa pasalnya.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui Rancangan Undang-Undang Kejaksaan untuk dilanjutkan pembahasannya di Komisi III DPR sebelum diusulkan menjadi RUU inisiatif DPR. Sejumlah hal didorong untuk dikaji lebih mendalam, bahkan diubah sebelum draf RUU itu masuk ke sidang paripurna dan dibahas bersama dengan pemerintah.
Baleg DPR menggelar dua kali rapat, Kamis (17/9/2020) di Jakarta, guna menuntaskan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi atas RUU Kejaksaan. Rapat pertama, Panitia Kerja (Panja) Baleg DPR tentang Harmonisasi RUU Kejaksaan mendengarkan keterangan tenaga hali Baleg DPR dalam mengkaji RUU Kejaksaan, selain mendengarkan masukan dari para anggota Baleg. Rapat kedua, Baleg langsung menggelar rapat pengambilan keputusan dan pemaparan pandangan minifraksi atas harmonisasi RUU Kejaksaan itu, apakah dapat diteruskan ke tahapan selanjutnya ataukah tidak.
Dari sembilan fraksi di DPR, delapan di antaranya memutuskan untuk menyetujui RUU Kejaksaan untuk diteruskan ke tahapan selanjutnya, yakni dikembalikan kepada pengusul untuk kemudian diusulkan menjadi RUU inisiatif DPR. Satu fraksi, yakni Golkar, menyatakan belum dapat menerima RUU Kejaksaan itu untuk diteruskan pada tahap selanjutnya karena menilai masih perlu ada kajian mendalam tentang sejumlah isu krusial, terutama soal batasan usia jaksa agung dan kriteria menjadi jaksa agung.
Di dalam rapat panja, sejumlah isu krusial juga mengemuka sebagai masukan dari Baleg DPR terhadap pengusul RUU Kejaksaan, yakni Komisi III DPR. Dalam laporannya, Ketua Panja Harmonisasi RUU Kejaksaan Supratman Andi Agtas menyebutkan 10 poin usulan Baleg DPR. Masukan itu, antara lain, perumusan ulang definisi kejaksaan, jaksa, penuntutan, dan penuntut umum; penambahan rumusan soal kepegawaian di kejaksaan; serta perbaikan rumusan mengenai izin jaksa agung ketika terjadi pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan jaksa.
Soal pengaturan kepegawaian, dengan tidak adanya kepengaturan pegawai bagi jaksa, karena bukan lagi ASN, lalu kejaksaan ini di bawah kekuasaan siapa, statusnya apa.
Poin lainnya ialah perbaikan rumusan soal pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa; penekanan kembali larangan rangkap jabatan bagi jaksa ataupun jaksa agung; penyesuaian rumusan penyadapan dari ranah ketertiban umum ke ranah pidana; penambahan rumusan soal pemantauan dan peninjauan UU; dan penambahan rumusan peralihan terkait dengan kepegawaian. Baleg juga memberikan catatan tentang tidak adanya pasal yang mengatur khusus tentang komisi pengawasan kejaksaan. Di dalam UU No 16/2004 tentang Kejaksaan, komisi itu diatur.
Anggota Baleg dari Fraksi Golkar, Nurul Arifin, mengatakan, status kepegawaian kejaksaan harus diperhatikan oleh pengusul. Alasannya, di dalam draf RUU Kejaksaan, status kepegawaian dari jaksa bukan lagi aparatur sipil negara (ASN), melainkan pegawai kejaksaan. ”Soal pengaturan kepegawaian, dengan tidak adanya kepengaturan pegawai bagi jaksa, karena bukan lagi ASN, lalu kejaksaan ini di bawah kekuasaan siapa, statusnya apa,” katanya.
Selain itu, Golkar juga menyoroti usia terendah jaksa agung saat diangkat 50 tahun, dan tertinggi 65 tahun. Demikian halnya dengan usia pensiun jaksa agung dari 62 tahun di dalam UU 16/2004 tentang Kejaksaan, kini menjadi 60 tahun di draf RUU Kejaksaan. Syarat jaksa agung juga disebutkan harus lulus pelatihan dan pembentukan jaksa.
Atur saksama penyadapan
Isu lain yang mendapat sorotan ialah kewenangan penyadapan kejaksaan. Anggota Baleg dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, sebaiknya kewenangan penyadapan tidak dimasukkan ke dalam pengaturan ketertiban umum, sebab hal itu rentan disalahgunakan. Ada pula bebeapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan penyadapan sebetulnya merupakan tindakan yang melanggar hak privasi warga negara, dan melanggar hukum. Namun, dalam konteks penegakan hukum, penyadapan dapat dilakukan.
”MK sangat konsisten soal penyadapan. Bahwasanya penyadapan itu merupakan tindakan yang sejatinya melawan hukum karena dia melanggar hak privasi, HAM. Hal itu boleh saja dibatasi, tetapi harus dengan UU. MK dalam putusannya tahun 2010 memerintahkan ada UU khusus mengenai penyadapan sehingga jelas mekanismenya. Kewenangan penyadapan ini sebenarnya masih bisa ditunda, dan tidak dimasukkan ke dalam RUU Kejaksaan, sampai kita memiliki UU Penyadapan secara khusus,” katanya.
Kalau pun tetap mau diatur kewenangan penyadapan itu di dalam RUU Kejaksaan, Basari meminta ketentuan tersebut diatur ketat sehingga tidak berpotensi disalahgunakan. Kewenangan penyadapan itu pun dilakukan bukan dalam upaya menertibkan umum, melainkan penegakan hukum.
Terkait penambahan kewenangan lainnya, yakni pemindahaan narapidana, menurut Basari, juga bukan ranah kejaksaan. Setelah kasus diputus dan mengikat secara hukum, selesai sudah tugas penegakan hukum kejaksaan sehingga selanjutnya kewenangan pembinaan napi itu menjadi ranah Kementerian Hukum dan HAM.
Basari juga memberi catatan pada larangan rangkap jabatan yang dihilangkan di dalam RUU Kejaksaan. Dalam UU yang lama, jaksa, antara lain, dilarang merangkap menjadi advokat dan notaris. Namun, di dalam draf RUU Kejaksaan, larangan itu direduksi. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam penegakan hukum karena jaksa bisa memiliki kepentingan menyangkut profesinya di bidang yang lain.
Penghapusan rangkap jabatan sebagai advokat, misalnya, dapat dipahami sebagai upaya menegaskan jaksa agung sebagai pengacara negara. Namun, sebagai pengacara negara bukan berarti jaksa boleh merangkap jabatan sebagai advokat.
”Saya menangkap maksudnya, tetapi penerapannya kurang pas jika penguatan peran sebagai pengacara negara itu berarti jaksa tidak dilarang menjadi advokat. Saya pikir itu keliru, dan sebaiknya dikembalikan kepada substansi UU yang lama,” ujarnya.
Terkait penyadapan ini, Supratman Andi Agtas mengatakan, kewenangan kejaksaan dapat ditambahkan. Alasannya, selain tindak pidana umum, kejaksaan juga menurut UU yang lain ditugasi untuk menjadi penyidik tindak pidana korupsi, pencucian uang, kerusakan lingkungan, dan pelanggaran HAM berat. Dalam kasus-kasus itu, jaksa tidak hanya menjadi penyidik, tetapi juga dapat menjadi penuntut dan eksekutor putusan pengadilan, termasuk jika ada aset atau kekayaan negara yang harus dikembalikan dari tindak kejahatan tersebut.
”Nah, kalau orangnya buron, bagaimana caranya mengembalikan kerugian keuangan negara. Karena itu, saya usulkan kewenangan penyadapan itu diberikan kepada kejaksaan. Ini, kan, nanti bergulir karena ada sikap pemerintah dan teman-teman Komisi III,” ujarnya.
Rentan dijadikan alat
Dalam penyelesaian kasus-kasus berat HAM, di dalam draf RUU Kejaksaan itu mereka didorong aktif dalam pencarian kebenaran dan rekonsiliasi. Ini, kan, menyimpang dari tugas mereka yang adalah penyidik dan penuntut pelanggaran HAM berat, serta membawa penjahat HAM ke pengadilan. Rekonsiliasi yang selama ini didorong pemerintah dengan pembentukan regulasi mengenai KKR jangan lalu mendeviasi peran kejaksaan menjadi alat mereka melalui revisi UU Kejaksaan.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, dengan draf RUU Kejaksaan yang ada sekarang, ada tiga hal yang harus ditekankan. Pertama, semangat menjadikan kejaksaan sebagai lembaga independen atau mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan. Kedua, fungsi dan peran kejaksaan jangan sampai diarahkan menjadi alat pemerintah, yakni semata-mata memosisikan diri sebagai unsur pemerintah, sebab ia sesungguhnya adalah alat negara. Ketiga, sejumlah aturan di dalam draf RUU Kejaksaan membuat deviasi atau penyimpangan tugas pokoknya sebagai penuntut.
”Dalam penyelesaian kasus-kasus berat HAM, di dalam draf RUU Kejaksaan itu mereka didorong aktif dalam pencarian kebenaran dan rekonsiliasi. Ini, kan, menyimpang dari tugas mereka yang adalah penyidik dan penuntut pelanggaran HAM berat, serta membawa penjahat HAM ke pengadilan. Rekonsiliasi yang selama ini didorong pemerintah dengan pembentukan regulasi mengenai KKR jangan lalu mendeviasi peran kejaksaan menjadi alat mereka melalui revisi UU Kejaksaan,” katanya.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho menuturkan, perluasan kewenangan kejaksaan harus dikaji mendalam. Penyadapan, misalnya, harus diberikan hanya dengan perintah pengadilan. Demikian pula komisi pengawasan jaksa, atau Komisi Kejaksaan, harus tetap dihadirkan di dalam RUU Kejaksaan. Bahkan, kalau bisa komisi itu dikeluarkan dan dibuatkan UU tersendiri agar kewenangannya lebih kuat.