Sejumlah kalangan, termasuk mahasiswa, menyoal wacana pendidikan militer sebagai bagian dari program bela negara di tingkat perguruan tinggi. Sebab, program itu tak hanya dimaknai sebagai pendidikan militer semata.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wacana adanya pendidikan militer sebagai bagian dari program bela negara di tingkat perguruan tinggi mengundang pertanyaan dari sejumlah kalangan, termasuk dari mahasiswa. Meskipun bersifat tidak wajib, program itu menunjukkan pemahaman pemerintah terkait program bela negara masih sempit.
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, pada masa lalu, konsep bela negara dimaknai sebatas wajib militer. Namun, makna itu sebenarnya telah berubah setelah Perang Dingin. Karena itu, program bela negara tidak hanya bisa dalam wujud pendidikan dasar kemiliteran.
”Bela negara perlu dimaknai sebagai bentuk dan wujud partisipasi masyarakat dalam membangun negara yang maju dan demokratis. Bela negara bisa dalam berbagai bidang, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta keamanan,” kata Al Araf dalam webinar bertajuk ”Komponen Cadangan dalam Spektrum Demokrasi dan HAM di Indonesia” yang diselenggarakan Lembaga Advokasi Mahasiswa dan Pengkajian Kemasyarakatan (LAM & PK) Fakultas Hukum Universitas Andalas, yang diakses dari Jakarta, Kamis (17/9/2020).
Bela negara perlu dimaknai sebagai bentuk dan wujud partisipasi masyarakat dalam membangun negara yang maju dan demokratis. Bela negara bisa dalam berbagai bidang, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta keamanan.
Isu terkait keamanan dan pertahanan bangsa tidak lagi berkaitan ancaman tradisional. Dalam survei Ahli LIPI tahun 2018 terkait potensi munculnya ancaman militer dan nonmiliter, masalah utama keamanan berkaitan dengan kejahatan transnasional (88 persen), terorisme (79 persen), serta penyebaran ideologi non-Pancasila (70 persen). Sementara itu, isu perang (11 persen) berada di peringkat terakhir.
”Ancaman perang tidak tinggi sehingga urgensi dan relevansi program pendidikan militer itu menjadi pertanyaan. Kampus memiliki aspek bela negara yang lain,” tutur Al Araf.
Sejumlah mahasiswa pun mempertanyakan relevansi dan dampak pendidikan militer itu bagi mahasiswa. Ketua LAM & PK Fakultas Hukum Universitas Andalas M Habibullah Firdaus mengatakan, pada dasarnya, prinsip pendidikan militer dan kebebasan akademik saling bertentangan.
Kebebasan akademik diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Pasal 28E UUD 1945. ”Sementara itu, pendidikan militer mensyaratkan agar patuh kepada perintah secara struktural. Pendidikan militer akan menggerus kebebasan akademik,” ujarnya.
Ia melanjutkan, apabila tidak memiliki sistem kontrol yang baik, pendidikan militer justru dapat menjadi bumerang. Program ini bisa disalahgunakan di lingkungan kampus, bahkan masyarakat luas.
”Kalau pemerintah ingin menyiapkan mahasiswa untuk bonus demografi, seharusnya memberi kami akses pendidikan, kesempatan lapangan kerja, dan membuka akses. Mengukur nasionalisme lewat pendidikan militer itu tidak tepat. Pengabdian pada profesi masing-masing itu sudah nasionalisme,” kata Habib.
Kalau pemerintah ingin menyiapkan mahasiswa untuk bonus demografi, seharusnya memberi kami akses pendidikan, kesempatan lapangan kerja, dan membuka akses. Mengukur nasionalisme lewat pendidikan militer itu tidak tepat. Pengabdian pada profesi masing-masing itu sudah nasionalisme.
Seperti diketahui, Kementerian Pertahanan tengah menjajaki kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait pendidikan militer di perguruan tinggi. Menurut rencana, mahasiswa dapat mengikuti pelatihan militer dan mendapatkan SKS dalam program itu.
Pembahasan mengenai bela negara tertera dalam Pasal 27 UUD 1945 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Yang terbaru, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN), Kementerian Pertahanan diamanahkan melaksanakan program bela negara bagi masyarakat sipil dengan memberi pelatihan dasar militer.
Siti Rahayu, Youth Movement Staff Pamflet Generasi, menambahkan, hingga saat ini belum ada peraturan turunan terkait UU PSDN itu. Jika ada turunannya, tindak lanjut UU tersebut dikhawatirkan juga membatasi kebebasan berpendapat mahasiswa. UU itu sendiri dikhawatirkan dapat membatasi terkait pendidikan militer dan implementasinya di kampus.
UU bermasalah
Al Araf melanjutkan, UU PSDN merupakan UU bermasalah. Selain terkait bela negara, UU PSDN berisi tentang komponen cadangan, yang berarti membuat masyarakat sipil ikut wajib militer untuk membantu menjaga keamanan negara.
Ini adalah militerisasi sipil yang digunakan untuk menghadapi kelompok masyarakat dalam negeri sendiri. Ini rentan memicu konflik horizontal.
Dalam UU PSDN, kategori ancaman dibagi tiga, yakni ancaman militer, ancaman nonmiliter, dan ancaman hibrida. Komponen cadangan dapat digunakan untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida. Akan tetapi, tidak ada definisi jelas mengenai ancaman hibrida sehingga menimbulkan multitafsir.
”Ini adalah militerisasi sipil yang digunakan untuk menghadapi kelompok masyarakat dalam negeri sendiri. Ini rentan memicu konflik horizontal,” katanya.
Sejumlah permasalahan lain yang ada dalam UU PSDN antara lain sumber pendanaan komponen cadangan, akuisisi aset rakyat untuk program komponen cadangan, dan terlalu luasnya cakupan persyaratan warga sipil yang bisa mengikuti program ini.