Sejumlah anggota Komisi III DPR mengkritik sikap Komnas HAM yang dinilai turut mencampuri kewenangan DPR dalam membuat undang-undang bersama pemerintah. Kritik disampaikan saat Komnas HAM minta tambahan anggaran 2021
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan menghindari upaya-upaya memasukkan kepentingan pribadi atau kelompok dalam penyusunan anggaran kementerian dan lembaga untuk tahun anggaran 2021. Upaya menghindari intervensi itu sangat krusial bagi lembaga-lembaga independen negara.
Pada Selasa (15/9/2020), Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membahas usulan anggaran bagi sejumlah lembaga, yakni Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sehari sebelumnya, Komisi III DPR juga membahas anggaran bagi Kepolisian Negara RI (Polri), Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Semua lembaga tersebut mengusulkan agar anggaran mereka dinaikkan pada tahun 2021, dan usulan itu semuanya disetujui oleh Komisi III DPR. Sebagai contohnya, Komnas HAM mengusulkan penambahan anggaran Rp 22,8 miliar dari pagu anggaran yang disetujui dengan Kementerian Keuangan Rp 100,2 miliar; BNN meminta kenaikan anggaran Rp 234 miliar dari pagu Rp 1,6 triliun; BNPT meminta tambahan anggaran Rp 304,7 miliar dari pagu Rp 515,9 miliar; PPATK meminta tambahan anggaran Rp 14,9 miliar dari pagu Rp 224,6 miliar; dan LPSK meminta tambahan Rp 129,1 miliar dari pagu anggaran Rp 79,4 miliar. Sebelumnya, kepolisian meminta tambahan anggaran Rp 19,6 triliun dari pagu anggaran Rp 111,9 triliun.
Sekalipun disetujui, sejumlah anggota Komisi III DPR memberikan beberapa komentar terhadap lembaga tersebut. Anggota Komisi III dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arteria Dahlan antara lain mengkritik Komnas HAM yang dinilai mencampuri kewenangan DPR dalam membahas rancangan undang-undang (RUU). Sebelumnya, pada Agustus lalu, Komnas HAM merekomendasikan agar pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja.
“Tugas kami ini membuat undang-undang bersama pemerintah, Bapak (Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik) tidak boleh menjadi penghasut apalagi menjadi provokator. Meminta DPR menghentikan pembahasan rancangan undang-undang, Bapak ini siapa. Kalau kita melihat apa sih yang dikerjakan Komnas HAM bagi republik. Coba Bapak tulis saja prestasi Bapak, prestasi Komnas HAM di tahun ini apa,” katanya.
Upaya Komnas HAM menangani berbagai persoalan juga dinilai tidak maksimal, seperti konflik agraria, pelanggaran HAM berat, intoleransi, ekstremisme dengan kekerasan, dan pelarangan rumah ibadah
Melanjutkan kritikan itu, Arteria menilai sebagian besar anggaran Komnas HAM, yakni 95 persen, dihabiskan untuk belanja pegawai. Sedangkan anggaran untuk kerja dinilai minimal. Upaya Komnas HAM menangani berbagai persoalan juga dinilai tidak maksimal, seperti konflik agraria, pelanggaran HAM berat, intoleransi, ekstremisme dengan kekerasan, dan pelarangan rumah ibadah.
“Kalau kita mau bongkar-bongkaran, bisa saya bongkar Pak. Bapak ini hanya mencari pekerjaan di republik ini Pak. Anggaran Bapak 95 persen buat belanja pegawai, buat kerja-kerjanya nggak ada. Apa yang Bapak kerjakan, mulai dari pelanggaran HAM, dan terkait konflik agraria. Pelanggaran HAM berat apa yang kalian kerjakan selain membuat kegaduhan dengan Kejaksaan Agung,” ujarnya.
Kritikan juga disampaikan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Wihadi Wiyanto. Ia mempertanyakan Komnas HAM sebagai lembaga pemerintah ataukah lembaga swadaya masyarakat (LSM) karena sikapnya yang mencampuri urusan DPR dalam menyusun RUU. Wihadi memuji seluruh proposal kenaikan anggaran lembaga, kecuali Komnas HAM.
“Soal Komnas HAM, saya tidak mau komentar karena Komnas HAM ini LSM atau pemerintah,” katanya.
Semestinya kritikan anggota Komisi III DPR terhadap pengajuan anggaran suatu lembaga tidak dikaitkan dengan sikap kelembagaan mereka secara independen
Upaya penundukan
Peneliti Forum Masyarakat Pemerhati Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, semestinya kritikan anggota Komisi III DPR terhadap pengajuan anggaran suatu lembaga tidak dikaitkan dengan sikap kelembagaan mereka secara independen. Sebab, lembaga-lembaga yang bermitra dengan Komisi III DPR umumnya adalah lembaga yang sifatnya independen, seperti Komnas HAM, KPK, PPATK, LPSK, BNPT, dan BNN.
“Kritik anggaran seharusnya melihat kinerja dan penyerapan anggaran tahun sebelumnya. Bukan basa-basi untuk hubungan yang terkesan baik, atau untuk kepentingan tertentu. Apalagi, sebagian besar lembaga yang bermitra dengan Komisi III DPR adalah lembaga independen. Sangat dikhawatirkan politik anggaran itu jadi senjata yang digunakan DPR untuk melunakkan lembaga-lembaga yang mestinya punya karakter kerja independen,” ujarnya.
Lucius mengatakan, kritik dan evaluasi anggaran seharusnya obyektif dan tidak condong untuk memengaruhi atau mengintervensi sikap mereka. Terlebih jika intervensi itu dilakukan dengan memanfaatkan daya tawar DPR sebagai pihak yang ikut menentukan anggaran lembaga.
Kritik dan evaluasi anggaran seharusnya obyektif dan tidak condong untuk memengaruhi atau mengintervensi sikap mereka. Terlebih jika intervensi itu dilakukan dengan memanfaatkan daya tawar DPR sebagai pihak yang ikut menentukan anggaran lembaga.
Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Gurnadi mengatakan, DPR harus ingat kewenangan penganggaran tidak hanya menjadi milik DPR, melainkan juga menjadi kewenangan pemerintah.
“Sekalipun DPR punya hak penganggaran, mereka tidak bisa melakukan intervensi. Hal itu menjadi problem etik jika hal itu terjadi, karena seharusnya evaluasi DPR harusnya ke substansi pengajuan anggaran,” ujarnya.