Pembacaan putusan dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK Firli Bahuri ditunda karena pandemi Covid-19. Dewan Pengawas KPK pun menegaskan mereka tak akan bisa diintervensi siapa pun meskipun keputusan ditunda.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi menegaskan, mereka tidak akan bisa diintervensi setelah terjadi penundaan pembacaan putusan dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK Firli Bahuri. Selain punya nama baik, anggota Dewan Pengawas KPK juga memiliki reputasi baik.
Sidang etik Dewan Pengawas KPK dengan terperiksa Ketua KPK Firli Bahuri ditunda selama sepekan, dari semula digelar Selasa (15/9/2020) menjadi Rabu (23/9/2020). Tak hanya sidang kasus Firli, pembacaan putusan terhadap dugaan pelanggaran kode etik oleh Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap juga akan ditunda.
Anggota Dewan Pengawas KPK, Syamsuddin Haris, Rabu (16/9/2020), mengatakan, penundaan sidang pembacaan putusan kasus dugaan pelanggaran etik terhadap Firli diambil oleh Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak H Panggabean, bukan oleh Ketua KPK.
Penundaan sidang tidak mungkin hanya satu atau dua hari karena Dewas harus menunggu hasil tes usap terhadap anggota Dewas, yakni Tumpak, Albertina Ho, dan Haris, yang sempat berinteraksi dengan staf Dewas yang positif Covid-19. Seperti diketahui, hasil tes usap bisa tiga sampai empat hari.
Ia menegaskan, tidak seorang pun bisa memengaruhi dan mengintervensi putusan majelis etik yang dibentuk Dewan Pengawas. Penundaan ini dilakukan semata-mata karena adanya pandemi Covid-19 di Dewan Pengawas KPK.
”Penundaan sidang tidak mungkin hanya satu atau dua hari karena Dewas harus menunggu hasil tes usap terhadap anggota Dewas, yakni Tumpak, Albertina Ho, dan Haris, yang sempat berinteraksi dengan staf Dewas yang positif Covid-19. Seperti diketahui, hasil tes usap bisa tiga sampai empat hari,” tutur Haris.
Ia menegaskan, penundaan sidang oleh Dewan Pengawas KPK selama sepekan dilakukan demi keselamatan dan kesehatan anggota Dewan Pengawas yang sangat berisiko terpapar Covid-19 karena sebagian berusia di atas 60 tahun dan 70 tahun. Haris justru meminta sidang ditunda selama dua pekan.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri menambahkan, KPK memahami bahwa masyarakat menunggu hasil sidang etik tersebut. Namun, dalam situasi pandemi Covid-19, faktor kesehatan dan keselamatan menjadi hal utama.
Ia memastikan, Dewan Pengawas KPK telah bekerja dan menyelesaikan tugasnya dalam memeriksa Firli dan Yudi. ”Kita berharap yang terbaik sehingga penundaan pembacaan putusan sidang pada 23 September 2020 dapat terlaksana sesuai rencana,” kata Ali.
Sementara itu, Firli masih tidak mau berkomentar terkait penundaan sidang etik Dewan Pengawas KPK tersebut. Sebab, katanya, Dewan Pengawas yang menentukan.
Seharusnya bisa diprioritaskan
Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sigit Riyanto mengatakan, uji usap Covid-19 seharusnya bisa dilaksanakan dalam waktu singkat, misalnya cukup satu hari saja. Apalagi, uji usap tersebut untuk lembaga negara yang strategis sehingga bisa didahulukan pelaksanaannya.
”Pengambilan keputusan dan pembahasan juga bisa dilaksanakan secara daring. Tidak perlu ditunda berlama-lama,” kata Sigit.
Menurut Sigit, penundaan pembahasan dan keputusan memang akan memicu kecurigaan banyak pihak. Dewan Pengawas KPK dianggap tidak memprioritaskan penanganan kasus dugaan pelanggaran etik ini.
Ia menegaskan, tindakan yang sudah dilakukan Firli dengan menggunakan fasilitas helikopter mewah merupakan hal yang tidak sesuai dengan marwah ketua KPK dan kepatutan umum. Menurut Sigit, pernyataan Firli juga tidak konsisten dan tidak meyakinkan. ”Firli menyatakan sedang menjalankan tugas, tetapi membayar biaya sewa dengan uang pribadi,” ujar Sigit.
Pernyataan tersebut diungkapkan Firli sebelum mengikuti sidang etik perdana yang diselenggarakan pada 25 Agustus 2020. Firli menepis tudingan bahwa dirinya bergaya hidup mewah dengan menyewa helikopter saat melakukan perjalanan di Sumatera Selatan, akhir Juni 2020.
Firli menyatakan sedang menjalankan tugas, tetapi membayar biaya sewa dengan uang pribadi.
Firli beralasan, penggunaan helikopter saat itu karena kebutuhan dan tuntutan kecepatan tugas. Dia juga mengaku membayar biaya sewa helikopter itu dari kantong pribadinya (Kompas, 26/8/2020).
Jaga martabat
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto mengatakan, penundaan ini bisa digunakan Dewan Pengawas untuk mengambil keputusan secara hati-hati karena memiliki waktu lebih banyak. Sebab, perkara ini cukup berat dan sebelumnya Firli juga pernah diduga melakukan pelanggaran etik.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada lima dugaan pelanggaran etik yang pernah dilakukan Firli. Selain menggunakan helikopter mewah untuk kepentingan pribadi, Firli juga pernah diduga melanggar kode etik terkait pengembalian paksa penyidik KPK, Komisaris Rossa Purbo Bekti, ke instansi Polri serta abai melindungi pegawai yang sedang mencari Harun Masiku, buron KPK dalam kasus suap untuk bekas anggota KPU, Wahyu Setiawan.
Saya percaya kepada mereka. Nama baik dan reputasi mereka diperhitungkan.
Saat masih menjabat Deputi Penindakan KPK tahun 2018, Firli juga pernah diduga bertemu dengan pihak yang sedang beperkara di KPK, yakni mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat M Zainul Majdi. Selain itu, pada Maret 2019 pernah pula terjadi problematika penanganan perkara di Kedeputian Penindakan KPK yang saat itu dipimpin oleh Firli (Kompas, 15/9/2020).
Sulistyowati percaya, Dewan Pengawas KPK tidak akan mudah diintervensi karena diisi oleh orang-orang yang bermartabat. ”Saya percaya kepada mereka. Nama baik dan reputasi mereka diperhitungkan,” ujarnya.
Ia menegaskan, Dewan Pengawas harus menjelaskan secara akademis terkait pejabat publik yang melakukan pelanggaran etika. Selain itu, mereka harus menganalisis tindakan yang dilakukan Firli dan dikonfirmasi dengan pendekatan akademis untuk mendapatkan kesimpulan. Menurut Sulistyowati, Dewan Pengawas KPK membutuhkan waktu untuk melakukan hal tersebut.