Cegah Covid-19 di Pilkada, Pemerintah Minta Calon Bertanggung Jawab
Keberhasilan pilkada di tengah pandemi Covid-19 tak bisa hanya bertumpu pada penyelenggara pemilu. Komitmen calon kepala-wakil kepala daerah dibutuhkan. Calon dituntut bertanggung jawab menegakkan protokol kesehatan.
JAKARTA, KOMPAS — Calon kepala-wakil kepala daerah yang nantinya ditetapkan maju di Pemilihan Kepala Daerah 2020 harus menandatangani pakta kepatuhan pada protokol kesehatan. Harapannya, pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi saat masa pendaftaran calon, awal September lalu, tak terulang kembali di tahapan lainnya. Namun, jika pelanggaran kembali terjadi, sejumlah sanksi telah disiapkan.
Hal itu menjadi jalan keluar karena pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu berkukuh melanjutkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Padahal, usulan penundaan parsial ataupun penundaan menyeluruh Pilkada 2020 terus meruak di tengah masih terus meningkatnya penyebaran Covid-19.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar saat dihubungi di Jakarta, Rabu (16/9/2020), mengatakan, kunci keberhasilan pilkada di tengah pandemi ini tidak bisa hanya berpegang pada penyelenggara pemilu, tetapi juga dibutuhkan komitmen calon. Calon dituntut bertanggung jawab sepenuhnya terhadap diri dan tim suksesnya apabila melanggar protokol kesehatan.
Namun, di masa pendaftaran calon, yang terjadi justru calon melahirkan kerumunan dan rentan memperluas penularan Covid-19.
Bahtiar mengibaratkan saat ini situasinya pilkada sebagai sebuah pertandingan besar di mana arena, peraturan, dan wasit sudah siap, tetapi pemainnya tidak siap.
”Macam-macam kami bikin (aturan) apa pun agar aparat mengamankan pertandingan dan seterusnya, kalau perilaku pemain tidak terkendali, kan, repot. Mereka bisa saja bakar stadion. Oleh karena itu, yang perlu dikejar, menagih komitmen calon untuk melindungi kesehatan publik. Jika mereka abai, bisa dipertanyakan di mana sisi kemanusiaan, moralitas, jiwa kenegaraan, leadership (kepemimpinan), dan keteladanannya,” tutur Bahtiar.
Untuk menagih komitmen itu, menurut Bahtiar, calon akan diminta menandatangani pakta kepatuhan pada protokol kesehatan sehingga dapat bertanggung jawab sepenuhnya terhadap diri dan tim suksesnya apabila melanggar protokol kesehatan. Pakta integritas tersebut juga menjadi tanda kesiapan pasangan calon untuk menerima sanksi dari penyelenggara pilkada jika tidak disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Jika calon tetap mengabaikan protokol kesehatan dan sengaja menciptakan kerumunan, lanjut Bahtiar, mereka bisa dikenai ancaman pidana, seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Jika ekstremnya calon tersebut tetap terpilih dengan status terpidana, mereka bisa diberhentikan.
”Kami berhentikan dia secara tetap. Jadi terpilih pun tetap bisa kami berhentikan. Jadi risikonya terlalu berat. Pertama, kampanye negatif akibat mereka menciptakan kerumunan. Kedua, jika terpilih sekalipun, dia belum tentu bisa menjabat karena ada pidana,” tutur Bahtiar.
Komitmen
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengatakan, penandatanganan pakta integritas akan dilakukan setelah pengundian nomor urut calon, 24 September mendatang. ”Namun, nanti KPU di daerah masing-masing yang akan mengatur pelaksanaannya,” ujarnya.
Raka mengakui pakta integritas tak memiliki kekuatan untuk mendiskualifikasi pasangan calon. Untuk diskualifikasi, harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pakta integritas sebatas peringatan moral bagi pasangan calon.
”Meski demikian, tentu pakta integritas juga penting untuk menegaskan kembali komitmen semua pihak,” kata Raka.
Secara terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Awi Setiyono mengatakan, Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis telah memerintahkan kepada seluruh jajaran kepolisian untuk berkoordinasi dengan KPU, Bawaslu, dan pemangku kepentingan lainnya. Kapolri juga memerintahkan untuk merumuskan sanksi bagi para pelanggar protokol kesehatan.
”Ini sudah diperintahkan (Kapolri). Tentu kalau nanti masih terjadi, akan kami sikapi. Dalam beberapa kesempatan kami berdiskusi dengan KPU dan Bawaslu. Mereka juga akan membuat aturan yang lebih ketat terkait protokol kesehatan ini,” kata Awi.
Adapun dalam surat telegram dari Kapolri yang ditandatangani Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 14 September 2020 tertulis, apabila terdapat pelanggaran terhadap protokol kesehatan dalam tahapan pilkada, Polri bisa melaksanakan penegakan hukum. Surat ditujukan kepada semua kepala polda di Indonesia.
Pertama, Polri berkoordinasi dengan KPU, Bawaslu, dan pemda setempat untuk mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Kedua, apabila KPU dan Bawaslu telah mengambil langkah hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan, tetapi tak diindahkan oleh pelanggar, Polri bisa menggunakan dasar Pasal 14 UU tentang Wabah Penyakit Menular, Pasal 93 UU tentang Kekarantinaan Kesehatan, serta Pasal 212 dan Pasal 218 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.