Kerap Dirugikan Saat Pemilu, Kelompok Rentan Butuh Bantuan Hukum
Kelompok rentan kerap kehilangan hak pilih ataupun gagal terpilih saat pemilu karena minimnya pengetahuan soal hukum kepemiluan. Pentingnya bantuan hukum bagi mereka diusulkan untuk dimasukkan dalam RUU Pemilu.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan perempuan kerap kali dirugikan saat pemilu. Tak sedikit yang kehilangan hak pilih ataupun gagal terpilih karena minimnya pengetahuan soal hukum kepemiluan. Berangkat dari hal itu, pemberian bantuan hukum bagi kelompok rentan menjadi penting. Aturan soal ini diusulkan untuk dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu.
Koordinator Harian Kode Inisiatif Ihsan Maulana, dalam diskusi bertajuk ”Urgensi Pembaharuan Desain Penegakan Hukum dan Bantuan Hukum bagi Caleg dari Kelompok Rentan dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu” yang diselenggarakan Kode Inisiatif dan Kemitraan, Selasa (15/9/2020), mengatakan, masalah yang kerap dihadapi kelompok rentan dalam pemilu adalah minimnya pemahaman terhadap hukum kepemiluan.
Dihadapkan pada persoalan tersebut, akses terhadap pendampingan hukum masih terbatas.
Ini termasuk dari partai politik yang mengusung kelompok rentan sebagai calon anggota legislatif (caleg) dalam pemilu legislatif ataupun calon kepala/wakil kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah. Mereka, misalnya, kerap kali harus berjuang sendiri ketika menghadapi persoalan sengketa pencalonan.
Terbatasnya pendampingan hukum itu lantas diperparah dengan desain penegakan hukum pemilu yang dinilai Ihsan masih membuka ruang untuk mendiskriminasi kelompok rentan.
”Contoh, beberapa waktu lalu, ada seorang caleg perempuan yang terpilih, satu hari sebelum dilantik, diberhentikan oleh partainya,” ujar Ihsan.
Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi menambahkan, sering kali caleg, khususnya mereka yang berasal dari kelompok rentan, tidak menyadari adanya potensi masalah yang menanti di akhir proses pemilu. Jadi, sekalipun dirugikan karena caleg lain bermain curang, mereka tidak siap dengan bukti-bukti yang kuat sehingga pada akhirnya mereka gagal terpilih.
Oleh karena itu, bantuan hukum bagi kelompok rentan sangat penting. Salah satunya, agar dapat mendorong keterwakilan kelompok rentan di parlemen.
Terkait dengan hal itu, pemberian bantuan hukum bisa dimasukkan ke dalam sistem, semisal dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan tetap mengedepankan netralitas dan independensi. Hal itu bisa dilakukan dengan melihat model bantuan hukum yang diberikan pengadilan yang bersifat konsultatif.
”Mumpung proses revisi UU Pemilu sedang berjalan, ide-ide untuk kelompok rentan bisa didorong sehingga upaya kita semua untuk mendorong keterwakilan kelompok rentan di parlemen bisa diwujudkan secara tuntas,” kata Veri.
Hak pilih
Anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin, pun melihat kelompok rentan kerap dirugikan saat pemilu. Kelompok yang dinilainya paling rentan adalah kelompok penyandang disabilitas, masyarakat adat, disusul kelompok pemuda. Kelompok perempuan juga dinilainya kerap dirugikan, tetapi sudah banyak memperoleh advokasi hukum; tidak seperti kelompok rentan lainnya.
Kelompok rentan tersebut bahkan dilihatnya masih kerap kesulitan untuk menggunakan hak pilihnya. Kelompok penyandang disabilitas misalnya.
”Saya pribadi punya interest soal pendampingan hukum lebih untuk memastikan hak pilih mereka terutama bagi kelompok yang haknya berpotensi hilang, yakni masyarakat adat, penyandang disabilitas, pemuda, dan perempuan. Kita perlu berbagi energi karena perjuangan ini maraton dan perlu konsistensi,” ujar Afifuddin.
Selain perlunya pendampingan hukum bagi kelompok rentan, Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai partai politik (parpol) perlu membenahi sistem rekrutmennya.
”Sistem kaderisasi dan rekrutmen parpol belum berjalan secara sistematis, demokratis, dan inklusif. Artinya, partai belum punya sistem yang cukup matang untuk melahirkan figur-figur dari kelompok rentan untuk berlaga di pemilu. Yang terjadi adalah rekrutmen taktis saja,” ucapnya.
Sebagai contoh, kuota 30 persen caleg perempuan dalam pemilu legislatif yang harus dipenuhi oleh parpol. Parpol memandang kuota itu sebatas untuk memenuhi persyaratan dalam pemilu atau kalau tidak dipenuhi, mereka akan tersingkir dari pemilu.