Kabareskrim: Netralitas Polri di Pilkada Harga Mati
Penyidik Polri diinstruksikan bertindak cermat dan profesional dalam menegakkan hukum di Pilkada 2020. Ini akan menghilangkan persepsi bahwa aparat penegak hukum dijadikan alat politik.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia diinstruksikan bertindak cermat dan profesional dalam melaksanakan penegakan hukum di setiap tahapan Pemilihan Kepala Daerah 2020. Hal itu untuk membuktikan Polri bersikap netral dalam hajatan demokrasi yang digelar di 270 daerah itu.
Hal itu disampaikan Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo ketika memberikan arahan kepada penyidik Bareskrim bertajuk ”Penguatan dan Penyegaran Kemampuan Penyidik Tindak Pidana Pemilihan”, Selasa (15/9/2020). Pengarahan dilakukan secara virtual kepada 421 jajaran reserse dan kriminal di seluruh Indonesia.
Menurut Listyo, sebagaimana dikutip dalam keterangan tertulis, dengan bersikap cermat dan profesional, hal itu akan menghilangkan persepsi bahwa aparat penegak hukum menjadi alat politik bagi segelintir kelompok.
”Netralitas Polri adalah harga mati. Para penyidik pahami betul langkah penegakan hukum akan menjadi sorotan publik. Laksanakan secara cermat dan profesional,” kata Listyo.
Pada 31 Agustus, Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis menerbitkan surat telegram nomor 2544. Melalui surat telegram itu, Kapolri memerintahkan agar selama pelaksanaan Pilkada 2020, semua anggota Polri diminta menunda proses hukum, baik penyelidikan ataupun penyidikan terhadap seluruh calon kepala daerah yang diduga terjerat kasus pidana.
Penundaan proses hukum kepada peserta pilkada nantinya akan dilanjutkan kembali setelah tahapan pesta demokrasi lima tahunan tersebut berakhir. Apabila ada anggota atau penyidik yang melanggar, hal tersebut akan diberikan sanksi, baik secara disiplin maupun kode etik.
Namun, hal itu tidak berlaku bagi peserta pilkada yang diduga melakukan tindak pidana pemilihan, tertangkap tangan, mengancam keamanan negara, serta mereka yang terancam hukuman seumur hidup dan mati. Apabila ada peserta pilkada yang melakukan hal tersebut, Kapolri memerintahkan agar hal itu diusut tuntas.
Selain menjaga netralitas, Listyo mengingatkan jajarannya untuk selalu menerapkan protokol kesehatan. Ia juga meminta agar polisi menegakkan aturan pada para pelanggar protokol kesehatan selama pilkada. Para direktur di Bareskrim dan kepala satuan diminta berkomunikasi dengan pengadilan setempat agar memberikan alternatif hukuman bagi pelanggar protokol kesehatan.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ferdy Sambo mengatakan, aparat kepolisian harus bekerja semaksimal mungkin untuk mencegah munculnya kluster baru Covid-19 di pilkada.
”Berikan sanksi sesuai aturan bagi pelanggar protokol kesehatan yang setelah di beri peringatan tidak diindahkan,” kata Ferdy.
Operasi yustisi
Secara terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono mengatakan, tim gabungan dari Kepolisian, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dan unsur lainnya pada Senin (14/9/2020) telah melaksanakan operasi yustisi atau razia terkait penerapan protokol kesehatan Covid-19.
Total 49.947 personel dilibatkan yang terdiri dari 25.909 personel Polri, 9.511 personel TNI, 11.212 personel Satpol PP, dan 3.315 personel lain.
Dari total 53.972 kegiatan razia atau pemeriksaan, 47.754 orang terjaring razia. Selain itu, 2.318 tempat dan 2.511 kegiatan juga terjaring razia.
Ketidakpatuhan menerapkan protokol kesehatan itu diikuti dengan pemberian sanksi berupa teguran lisan 48.630 sanksi dan teguran tertulis 3.094 sanksi. Kemudian denda administrasi 1.150 kali dengan nilai denda Rp 52,29 juta.
”Sanksi kurungan nihil, untuk penutupan usaha nihil. Adapun sanksi lainnya berupa kerja sosial 2.853 kali,” kata Awi.