Penunjukan Penjabat Kepala Daerah Bisa Atasi Kekosongan Pemerintahan
Apabila Pilkada 2020 ditunda, kebutuhan penjabat kepala daerah mencapai ratusan orang. Namun, pemerintah dapat mengambil ASN berpengalaman dari sejumlah kementerian, seperti Kemendagri.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama ini, pemerintah beralasan tetap menyelenggarakan Pilkada 2020, yang akan diadakan serentak, pada masa pandemi Covid-19 agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan. Padahal, penunjukan penjabat kepala daerah dapat menjadi salah satu solusi alternatif apabila pilkada ditunda.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri per Maret 2020, terdapat 208 daerah yang masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerahnya berakhir pada Februari 2021. Sisanya, 60 daerah, masa jabatan kepala/wakil kepala daerahnya berakhir Maret-Juli 2021 dan dua daerah masa jabatannya pemimpinnya berakhir pada September 2021.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan saat dihubungi di Jakarta, Senin (14/9/2020), mengatakan, pemerintah tak perlu khawatir menunda pilkada dengan alasan akan terjadi kekosongan pemerintahan. Pemerintah bisa menunjuk aparatur sipil negara (ASN) sebagai penjabat kepala daerah di daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir.
”Wewenang penjabat itu sama kuatnya dengan kepala daerah definitif. Penjabat bisa meneken peraturan daerah, APBD, dan mutasi pegawai. Jadi, kekhawatiran pemerintahan tidak bisa berjalan itu tidak tepat karena penjabat berasal dari ASN yang sudah berpengalaman dalam tata kelola pemerintahan,” kata Djohermansyah.
Djohermansyah pernah menjadi Penjabat (Pj) Gubernur Riau ketika menjadi Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada 2013. Gubernur Riau pada waktu itu, Rusli Zainal, terjerat kasus korupsi, sedangkan masa jabatan wakilnya, Mambang Mit, telah berakhir. Keputusan itu tertera dalam Keputusan Presiden Nomor 132/P/2013.
Djohermansyah melanjutkan, penjabat memang tidak dipilih oleh rakyat seperti kepala daerah definitif lewat kampanye program. Untuk itu, dalam implementasinya, penjabat dapat melanjutkan implementasi program yang sudah berjalan.
Menurut dia, apabila pilkada ditunda, kebutuhan penjabat tentu mencapai ratusan orang. Namun, pemerintah dapat mengambil ASN berpengalaman dari sejumlah kementerian, seperti Kemendagri.
”Di masa pandemi seperti ini, penjabat dari ASN juga akan lebih mudah berkoordinasi. Ini karena mereka memiliki akses ke pemerintah pusat, lobi yang lebih kuat, dan berpengalaman dalam pemerintahan bertahun-tahun,” tuturnya.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung memiliki pandangan berbeda terkait penunjukan penjabat di masa pandemi. Menurut dia, peran penjabat dinilai tidak bisa menggantikan kepala daerah definitif dalam membuat keputusan penting. Apalagi, seluruh dunia sedang menghadapi situasi kritis yang tidak biasa karena pandemi.
”Lalu, coba bayangkan pemerintah harus mencari lebih dari 100 penjabat dalam waktu bersamaan. Tidak gampang kita mencari penjabat yang langsung cakap beradaptasi dalam situasi seperti ini,” tuturnya.
Doli melanjutkan, keputusan penyelenggaraan atau penundaan pilkada melibatkan banyak variabel. Yang pasti, sulit menunda pilkada lebih jauh karena pandemi telah memberi dampak tidak hanya di aspek kesehatan, tetapi juga ekonomi, sosial, dan politik.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD telah menegaskan, pemerintah akan tetap mengadakan pilkada meskipun telah ada usulan untuk menunda dari sejumlah pihak. Sejauh ini, belum ada alasan yang cukup meyakinkan untuk menunda pilkada.
”Kalau pemerintah tidak segera diganti menurut agenda konstitusional, kan, jadi masalah. Pemerintahan harus tetap berjalan selama pandemi, kalau kita menunggu hingga pandemi selesai, tidak ada yang tahu kapan selesai,” kata Mahfud, dalam konferensi pers virtual ”Memastikan Pilkada Sehat: Menjauhkan Covid-19 & Korupsi”, Jumat (11/9/2020).
Lobi politik
Djohermansyah berpendapat, keputusan agar pilkada tetap berlanjut pada tahun 2020 adalah hasil dari lobi-lobi dari pejabat petahana di daerah. Apabila pilkada ditunda, kans petahana kembali menang dapat berkurang.
Dalam pilkada serentak 2020 yang berlangsung di 270 daerah, ada 331 petahana dari total 1.324 bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Ini berarti, porsi petahana sekitar 25 persen dari total bakal calon. Jumlah petahana di pilkada serentak 2020 ini lebih tinggi dibandingkan tiga gelombang pilkada serentak terdahulu.
”Petahana memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengapitalisasi sumber daya untuk kepentingannya. Apabila pilkada digelar sekarang, petahana bisa lenggang kangkung,” ujarnya.
Namun, Doli membantah pandangan petahana dapat diuntungkan dari penyelenggaraan pilkada selama pandemi. Menurut dia, calon petahana justru mendapat tantangan yang lebih berat karena kinerja selama pandemi akan lebih dikritisi.
”Dari Golkar, kami melihat petahana atau bukan menghadapi situasi yang sama, kita sedang mengalami restart. Petahana belum tentu diuntungkan karena tuntutan masyarakat menjadi lebih konkret, seperti isu kesiapan menghadapi Covid-19 serta dampak pandemi terhadap ekonomi,” tutur Doli yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar.
Ia melanjutkan, ada tugas besar yang menanti calon kepada daerah terpilih. Tantangan calon kepala daerah terpilih ke depannya adalah bagaimana menjaga kesinambungan kebijakan atau program dengan pemerintah pusat dalam mengatasi krisis yang terjadi saat ini.
Indonesia akan menggelar pilkada serentak di 270 daerah pada 9 Desember 2020 setelah sempat ditunda. Sementara sejumlah kelompok masyarakat sipil telah menyerukan kepada pemerintah untuk menunda penyelenggaraan pilkada pada tahun ini. Salah satu alasan utamanya adalah jumlah kasus Covid-19 di Indonesia terus bertambah, yang hingga kini telah lebih dari 200.000 kasus.