Penundaan pilkada di daerah zona merah atau memiliki risiko penularan tinggi mungkin dilakukan. Apalagi jika pemerintah dan penyelenggara pemilu tak dapat memastikan penerapan protokol kesehatan ketat di setiap tahapan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum terkendalinya penularan penyakit Covid-19 di tengah tahapan Pilkada 2020 menuntut perhatian dari pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk mulai memikirkan opsi lain yang tidak berisiko terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat. Salah satunya yang dapat diambil ialah menunda pilkada secara parsial. Undang-Undang Pilkada memungkinkan kebijakan itu diambil oleh Komisi Pemilihan Umum.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, di samping memikirkan rumusan sanksi yang lebih tegas terhadap pelanggaran protokol kesehatan Covid-19, pemerintah dan penyelenggara pemilu dipandang sudah mulai saatnya mempertimbangkan untuk menunda pilkada secara parsial, terutama di daerah-daerah yang merupakan zona merah.
Di daerah-daerah dengan kondisi penularan Covid-19 yang tinggi, pengetatan protokol kesehatan saja dipandang tidak memadai untuk meminimalkan penularan. Sebab, ada banyak faktor yang memicu suatu daerah dengan penularan lebih tinggi daripada daerah lain, seperti mobilitas masyarakat yang tinggi, kultur dan kebiasaan, serta kesadaran masyarakat.
Kemungkinan untuk menunda pilkada di sebagian daerah itu diatur di dalam Pasal 122 UU No 1/2015 tentang Pilkada yang telah diubah menjadi UU No 10/2016.
Kemungkinan untuk menunda pilkada di sebagian daerah itu diatur di dalam Pasal 122 UU No 1/2015 tentang Pilkada yang telah diubah menjadi UU No 10/2016. Penetapan penundaan pelaksanaan pemilihan bahkan dapat dilakukan oleh KPU tanpa harus meminta pendapat dari pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Untuk wilayah kabupaten/kota, penundaan oleh KPU setempat diambil berdasarkan usulan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), baik menyangkut penundaan pilkada di beberapa desa maupun kecamatan. Pada tingkat yang lebih tinggi, KPU provinsi juga dapat menunda pilkada jika ada usulan dari KPU kabupaten/kota menyangkut penundaan pilkada di satu atau beberapa kabupaten/kota.
”Pilihan kebijakan itu sangat mungkin diambil oleh KPU. Kini, bolanya berada di KPU berdasarkan pada pertimbangan kebijaksanaan dan kondisi serta keselamatan daerah terkait dengan kemampuan melanjutkan tahapan pilkada. KPU harus jujur melihat kondisi obyektif daerah dan tidak membiarkan warga menghadapi risiko kesehatan dan keselamatan di tengah pandemi,” kata Titi, saat dihubungi, Senin (14/9/2020).
KPU diharapkan tidak memaksakan keserentakan pilkada di tengah kondisi obyektif daerah yang berbeda-beda terkait dengan pandemi. Untuk daerah-daerah dalam zona merah, dengan memperhatikan kewenangan KPU yang diberikan oleh UU Pilkada, semestinya KPU tidak ragu untuk menunda pilkada secara parsial atau sebagian.
”Evaluasi menyeluruh harus dilakukan oleh KPU dalam melihat kondisi setiap daerah. Koordinasi dengan Satgas Covid-19 diperlukan untuk memastikan sejauh mana risiko penularan itu terjadi di daerah yang akan menyelenggarakan pilkada,” katanya.
Penerapan sanksi diskualifikasi bagi pelanggaran protokol kesehatan berpotensi menimbulkan persoalan hukum jika belum dilandasi dengan dasar hukum yang kuat.
Di sisi lain, untuk daerah-daerah zona kuning atau hijau, yakni daerah-daerah dengan risiko penularan lebih minim tetap harus diterapkan protokol kesehatan yang ketat. Perumusan sanksi aturan yang tegas, seperti yang menjadi kesimpulan dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi II DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu, perlu segera ditindaklanjuti.
Titi mengatakan, penerapan sanksi diskualifikasi bagi pelanggaran protokol kesehatan berpotensi menimbulkan persoalan hukum, jika belum dilandasi dengan dasar hukum yang kuat. Sanksi diskualifikasi atas pelanggaran protokol kesehatan itu belum diatur di dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada maupun di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020, yang kini menjadi UU No 6/2020 tentang Pilkada.
”Jika ingin menerapkan sanksi diskualifikasi, harus dilakukan revisi terbatas terhadap UU Pilkada atau mengeluarkan perppu baru yang mengatur secara khusus pelanggaran terhadap protokol kesehatan. Hal itu diperlukan sebagai dasar hukum untuk aturan yang akan dibuat penyelenggara pemilu bersama pemerintah,” katanya.
UU Pilkada yang ada saat ini baru memberikan kewenangan bagi KPU untuk menjatuhkan sanksi administratif. Terkait hal ini, menurut Titi, KPU bisa saja mengembangkan bentuk sanksi administratif yang dapat dijatuhkan kepada pelanggar protokol kesehatan. Misalnya, KPU mencabut satu atau dua kali kesempatan kampanye paslon tertentu yang terbukti tidak dapat mengendalikan pendukungnya. Untuk sanksi yang lebih berat, kesempatan kampanye itu bisa dicabut seluruhnya sehingga paslon tidak dapat lagi melakukan kampanye.
Penundaan dimungkinkan
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi mengatakan, penundaan pilkada secara parsial oleh KPU itu dimungkinkan. Sejumlah hasil kajian lembaga juga mendorong agar pilkada tidak dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Salah satunya ialah hasil kajian Indo Barometer yang merekomendasikan agar pilkada ditunda karena waktu yang tidak mencukupi untuk melaksanakan syarat-syarat ketat pilkada di tengah pandemi.
”Penundaan secara parsial dimungkinkan,” katanya.
Namun, pendapat berbeda disampaikan Pelaksana Harian (Plh) Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) yang sementara waktu ditugasi mengawal pilkada, Saleh Partaonan Daulay. Saleh mengatakan, fraksinya lebih sepakat kalau pengetatan protokol kesehatan dilakukan. Sanksi diskualifikasi dapat dicantumkan di dalam surat keputusan bersama (SKB) antara pemerintah dan penyelenggara pemilu. Adanya sanksi tegas itu diyakini mampu memastikan kepatuhan peserta pilkada terhadap protokol kesehatan.
”Kalau ditunda, nanti akan ada ketidakpastian lagi kapan pilkada dapat digelar di daerah tertentu. Di sisi lain, jika protokol kesehatan tidak diterapkan, daerah lain yang tergolong zona hijau pilkada juga akan cepat beralih statusnya. Persoalan ini akan terus memicu sisa pekerjaan bagi penyelenggara pemilu,” katanya.
Kalau memang tidak bisa menjamin protokol kesehatan dilakukan, sebaiknya pilkada ditunda saja. (Johan Budi)
Penyelenggara pemilu diwajibkan tegas terhadap pelanggaran protokol kesehatan. Misalnya, ketika ada kampanye yang melibatkan kerumunan melebihi yang diatur oleh KPU, menurut Saleh, KPU harus tegas membubarkan kampanye itu. Di sisi lain, penyelenggara dapat bekerja sama dengan polisi dan satpol PP (satuan polisi pamong praja) dalam penegakan disiplin protokol kesehatan.
Secara terpisah, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Johan Budi, menuturkan, protokol kesehatan menjadi syarat mutlak bagi penyelenggaraan pilkada. ”Kalau memang tidak bisa menjamin protokol kesehatan dilakukan, sebaiknya pilkada ditunda saja,” katanya.
Sejumlah sanksi dapat dipertimbangkan oleh KPU, misalnya, dengan membubarkan kampanye secara langsung yang dinilai tidak memenuhi protokol kesehatan. Domain KPU lainnya dapat dioptimalkan, begitu juga Bawaslu dalam pengawasan dan penjatuhan sanksi.
”Memang tidak dapat dibebankan kepada KPU semua. Aturan sebenarnya sudah banyak sekali, tinggal bagaimana implementasinya di lapangan. Baik polisi, satpol PP, KPU, dan Bawaslu fokus pada tugas masing-masing. Koordinasi tentu harus dilakukan untuk memastikan protokol kesehatan dilaksanakan,” ujarnya.