Bakamla Berusaha Usir Kapal Coast Guard China di Laut Natuna Utara
Kapal Coast Guard China masuk ke ZEEI di Laut Natuna Utara sejak Sabtu (12/9/2020). Kementerian Luar Negeri pun telah mempertanyakan masuknya kapal itu ke Wakil Duta Besar Republik Rakyat China.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Keamanan Laut masih berusaha mengusir kapal Coast Guard China yang berkeliaran di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Laut Natuna Utara sejak Sabtu (12/9/2020). Kementerian Luar Negeri pun telah melakukan komunikasi dengan Wakil Duta Besar Republik Rakyat China di Jakarta dan meminta klarifikasi terkait masuknya kapal tersebut.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Badan Keamanan Laut (Bakamla) Kolonel Bakamla Wisnu Pramandita mengatakan, Minggu (13/9/2020), Kapal Negara (KN) Pulau Nipah 321 telah berusaha mengusir kapal China Coast Guard (CCG) yang kedapatan berkeliaran di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Laut Natuna Utara yang merupakan wilayah yurisdiksi Indonesia pada Sabtu (12/9/2020).
”Kapal Coast Guard China dengan nomor lambung 5204 terdeteksi sekitar pukul 10.00 WIB di radar dan automatic identification system (AIS) KN Nipah pada jarak 9,35 NM (mil laut). KN Nipah meningkatkan kecepatannya dan mengubah haluan melaksanakan intersep hingga jarak 1 NM,” kata Wisnu.
Personel KN Nipah pun menanyakan kegiatan kapal CCG tersebut melalui radio. Setelah dilakukan komunikasi melalui radio dan ditanyakan maksud dari keberadaan kapal di area tersebut, kapal CCG 5204 bersikeras bahwa mereka sedang berpatroli di area nine dash line yang merupakan wilayah teritorial Republik Rakyat China (RRC).
Personel KN Pulau Nipah 321 pun menyampaikan bahwa berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada 1982 tidak diakui keberadaan nine dash line dan CCG 5204 sedang berada di area ZEEI. CCG 5204 pun diminta segera keluar dari wilayah yurisdiksi Indonesia.
KN Nipah 321 adalah salah satu kapal Bakamla RI yang sedang melaksanakan operasi cegah tangkal 2020 di wilayah zona maritim barat Bakamla. Operasi tersebut dilaksanakan sejak 4 September lalu hingga akhir November 2020.
Adapun Laut Natuna Utara merupakan wilayah yurisdiksi Indonesia. Indonesia memiliki hak berdaulat atas sumber daya alam di kolom air. Kapal-kapal asing bisa melintas dengan syarat tidak melakukan aktivitas lain yang bertentangan dengan hukum nasional.
”Sampai saat ini, kedua kapal masih saling membayang-bayangi satu sama lain. KN Nipah 321 terus berupaya menghalau CCG 5204 keluar dari ZEEI. Bakamla RI sedang berkoordinasi dengan Kemenko Polhukam (Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan) dan Kemenlu (Kementerian Luar Negeri) terkait hal ini,” kata Wisnu.
Ia menambahkan, kapal CCG 5204 tersebut mulai bergerak menjauh dari ZEEI. Namun, masih keluar dan masuk ZEEI. Sejauh ini baru ada kapal Bakamla yang berada di Laut Natuna Utara, sedangkan kapal TNI Angkatan Laut (AL) sedang bergerak menuju ke sana.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengatakan, Kemlu sudah menerima laporan Bakamla mengenai keberadaan CCG 5204 di wilayah perairan ZEEI.
”Menindaklanjuti peristiwa ini, Kemenlu pada Minggu (13/9/2020) telah melakukan komunikasi dengan Wakil Duta Besar RRC di Jakarta dan meminta klarifikasi maksud keberadaan CCG 5204 di wilayah perairan ZEEI,” kata Teuku.
Kemenlu dalam kesempatan itu sekaligus menegaskan kepada Wakil Duta Besar RRC bahwa ZEEI tidak memiliki klaim tumpang tindih perairan dengan RRC dan menolak klaim nine dash line RRC karena bertentangan dengan UNCLOS 1982.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies, Iis Gindarsah, mengatakan, insiden yang melibatkan kapal asing bukan hal baru di Laut Natuna Utara. ”Kerawanan di ZEEI itu diperkirakan akan bertambah menyusul pemulihan ekonomi dan peningkatan konsumsi pangan di Tiongkok pascapandemi,” kata Iis.
Menurut Iis, rutinitas patroli Bakamla cenderung terganggu di tengah keterbatasan ruang fiskal dan ancaman Covid-19. Oleh karena itu, pemerintah perlu mencari terobosan kebijakan melalui kerjasama maritim dan diplomasi pertahanan dengan China.
Senada dengan Iis, peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Alman Helvas Ali, menegaskan, Presiden, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Pertahanan harus melakukan diplomasi dengan Pemerintah China. Sebab, pembicaraan terkait UNCLOS tidak pernah menemui titik temu.