Calon Tunggal Bajak Demokrasi
Kecenderungan pragmatisme politik tampak dengan semakin banyaknya jumlah pasangan bakal calon tunggal di pilkada pada 9 Desember mendatang dibandingkan pilkada-pilkada sebelumnya. Tren kenaikannya cukup signifikan.
Maraknya fenomena calon tunggal dalam pilkada menjadi sinyal ada upaya menghindari proses kontestasi dalam berdemokrasi. Gejala pragmatisme lebih mengemuka dibandingkan harus melalui tahapan demokrasi yang tak selalu mudah.
Kecenderungan pragmatisme politik tampak dengan semakin banyaknya jumlah pasangan bakal calon tunggal dalam pilkada yang akan digelar 9 Desember mendatang dibandingkan pilkada-pilkada sebelumnya. Ada tren kenaikan yang signifikan dari pasangan calon tunggal ini. Litbang Kompas mencatat, berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum per 10 September, terdapat 713 pasangan bakal calon yang mendaftar. Dari jumlah itu, ada 28 pasangan bakal calon tunggal yang nanti akan berlaga ”melawan” kotak kosong.
Jika dilihat trennya, jumlah pasangan calon tunggal dalam pilkada ini mengalami kenaikan. Pada Pilkada 2015, pasangan calon tunggal hanya ditemui di tiga daerah. Jumlah ini naik tiga lipat pada Pilkada 2017 menjadi sembilan pasangan calon tunggal. Kemudian, dalam Pilkada 2018, angkanya naik 77 persen menjadi 16 pasangan calon tunggal. Tahun ini, dengan 28 pasangan bakal calon tunggal, kenaikannya mencapai 75 persen dibandingkan Pilkada 2018.
Baca juga: Calon Tunggal Cerminan Pragmatisme Politik
Semua pasangan bakal calon tunggal ini berlaga baik dalam pemilihan bupati maupun wali kota. Dari total pasangan bakal calon yang mendaftar, 588 pasangan bakal calon terdaftar untuk pemilihan kepala daerah tingkat kabupaten, 100 pasangan bakal calon untuk pemilihan wali kota, dan 25 pasangan bakal calon untuk pemilihan gubernur. Pasangan bakal calon ini tersebar di 270 daerah yang akan menghelat pilkada dengan rincian 261 kabupaten dan kota serta sembilan provinsi. Dari semua pasangan bakal calon itu, 646 pasangan tercatat maju dari jalur dukungan partai dan 67 pasangan lainnya berhasil mendaftar melalui jalur perseorangan atau nonpartai.
Tidak heran jika kemudian pasangan calon tunggal ini umumnya lahir dari kesepakatan sebagian besar atau bahkan semua fraksi partai di daerah. Pergeseran dinamika politik yang begitu drastis ini tentu tak mungkin terjadi tanpa adanya mufakat yang mengarah pada kepentingan para elite tertentu.
Sebanyak 28 pasangan bakal calon tunggal tersebut tersebar dalam pilkada di 23 kabupaten dan lima wilayah kota. Semua pasangan calon ini dicalonkan melalui jalur partai politik. Tidak heran jika kemudian pasangan calon tunggal ini umumnya lahir dari kesepakatan sebagian besar atau bahkan semua fraksi partai di daerah. Pergeseran dinamika politik yang begitu drastis ini tentu tak mungkin terjadi tanpa adanya mufakat yang mengarah pada kepentingan para elite tertentu.
Hal ini kian dikuatkan dengan fakta, sebagian besar pasangan bakal calon tunggal (di 23 dari 28 daerah) lahir dari dua modal, yakni petahana dan koalisi gemuk partai politik. Hal ini terlihat di sepuluh daerah, yaitu Kabupaten Badung, Ogan Komering Ulu, Sumbawa Barat, Bengkulu Utara, Gowa, Ogan Komering Ulu Selatan, Mamuju Tengah, Manokwari Selatan, Kota Gunungsitoli, dan Kota Semarang. Di sepuluh daerah ini, koalisi partai kembali mengusung paket petahana, yakni pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sedang menjabat. Sisanya, pasangan bakal tunggal dari petahana yang menggaet pasangan dari kalangan swasta, anggota DPRD, hingga aparatur sipil negara dan calon berlatar belakang pensiunan TNI.
Mengerucutnya dukungan partai politik kepada petahana kepala daerah bukan tanpa alasan. Sosok petahana menggenggam modal sosial yang sangat besar dan telah teruji elektabilitasnya. Kondisi ini tak pelak menjadikan petahana jauh lebih memiliki jaminan peluang untuk memenangi kontestasi sehingga partai secara pragmatis tak ragu untuk mengalirkan dukungannya.
Pilkada 2015
Pragmatisme ini makin terlihat jika kita bandingkan kondisi pilkada di 28 daerah tersebut saat Pilkada 2015 silam. Tak satu pun di 28 daerah tersebut muncul pasangan calon tunggal pada pilkada lima tahun lalu. Bahkan, saat itu sejumlah daerah dapat dikatakan ”banjir” empat hingga lima pasangan calon kepala daerah yang maju meramaikan gelanggang pilkada.
Pragmatisme ini makin terlihat jika kita bandingkan kondisi pilkada di 28 daerah tersebut saat Pilkada 2015 silam. Tak satu pun di 28 daerah tersebut muncul pasangan calon tunggal pada pilkada lima tahun lalu. Bahkan, saat itu sejumlah daerah dapat dikatakan ’banjir’ empat hingga lima pasangan calon kepala daerah yang maju meramaikan gelanggang pilkada.
Sebutlah Kabupaten Kutai Kartanegara, Serdang Bedagai, Sragen, Raja Ampat, Wonosobo, dan Kota Pematang Siantar yang merupakan deretan daerah dengan jumlah calon kepala daerah mencapai empat pasang calon. Kabupaten Gowa dan Humbang Hasundutan bahkan memiliki lima pasang calon saat Pilkada 2015.
Jika ditilik lebih lanjut, tak kurang dari 55 persen dari 28 daerah dengan satu pasangan bakal calon pada Pilkada 2015 memiliki kandidat kepala daerah lebih dari dua pasang calon. Pemilihan di tujuh daerah di antaranya bahkan juga diwarnai dengan kehadiran pasangan calon dari jalur perseorangan atau independen.
Ketika itu, sandungan syarat dukungan untuk pencalonan dari jalur perseorangan tak begitu sulit untuk ditaklukkan. Kabupaten Kutai Kartanegara, Serdang Bedagai, Gowa, dan Humbang Hasundutan, misalnya, ketika itu bahkan dapat menghadirkan dua pasang calon pemimpin daerah yang maju pilkada melalui jalur nonpartai politik tersebut.
Sejarah pada tahun 2015 ini juga mencatat, calon kepala daerah dari jalur nonpartai berhasil memenangi pilkada di Kabupaten Kutai Kartanegara. Ketika itu, pasangan calon Rita Widyasari dan Edi Damansyah berhasil unggul dari tiga kontestan lain. Pasangan ini berhasil mengantongi 89,38 persen suara pemilih. Sebuah angka kemenangan yang cukup besar bagi pasangan calon dari jalur perseorangan.
Kini, sang petahana di Kutai Kartanegara dipegang oleh Edi Damansyah setelah Rita tersandung dugaan penerimaan gratifikasi pada September 2017. Dalam pilkada tahun ini, Edi didampingi oleh Rendi Solihin, anggota DPRD Kutai Kartanegara dari Fraksi Golkar. Pasangan ini diusung koalisi sembilan partai politik, yakni Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan, Perindo, dan Hanura. Bahkan, Partai Kebangkitan Bangsa kemudian menyusul mendukung pasangan ini. Praktis, semua partai di DPRD Kutai Kartanegara dengan total 40 kursi mengusung pasangan Edi Damansyah-Rendi Solohin.
”Borong” dukungan
Strategi memborong dukungan yang dilakukan pasangan Edi Damansyah-Rendi Solohin dalam Pilkada Kutai Kartanegara bukan hal baru jika bicara soal calon tunggal. Praktik borong dukungan ini membuat esensi pilkada tak lebih dari sebuah ajang transaksional elite dengan membajak kemurnian demokrasi.
Upaya menghadirkan calon tunggal memang merupakan praktik pembajakan demokrasi yang dilakukan secara gamblang. Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, calon tunggal bisa mencederai demokrasi karena mayoritas calon tunggal memborong dukungan. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran melemahkan fungsi kontrol DPRD terhadap kinerja eksekutif. Padahal, DPRD seharusnya berfungsi sebagai penyeimbang yang mewakili suara rakyat. Selain itu, praktik mahar politik diduga turut serta berpengaruh terhadap munculnya calon tunggal (Kompas, 7/9/2020).
Selain menciutkan hak rakyat untuk dapat memilih calon pemimpinnya, calon tunggal juga menjadi upaya melanggengkan kekuasaan dan dinasti politik serta memuluskan kepentingan dalam pusaran politik transaksional. Ketiadaan aturan yang tegas membuat praktik borong dukungan partai dan membuat lobi-lobi politik mengerucut hanya memunculkan calon tunggal pilkada seolah terus dibiarkan.
Salah satu jalan keluar adalah merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada atau mengajukan uji materi UU itu ke Mahkamah Konstitusi. Substansi yang direvisi di antaranya menurunkan ambang batas pencalonan. Namun, penurunan ambang batas tidak cukup. Revisi UU juga harus mengatur pasangan calon lebih dari satu.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay, menyatakan, salah satu jalan keluar adalah merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada atau mengajukan uji materi UU itu ke Mahkamah Konstitusi. Substansi yang direvisi di antaranya menurunkan ambang batas pencalonan. Namun, penurunan ambang batas tidak cukup. Revisi UU juga harus mengatur pasangan calon lebih dari satu. ”Sama seperti pemilihan presiden, tak boleh sampai tak ada calon lain,” ujar Hadar (Kompas, 7/9/2020).
Baca juga: Menyoal Munculnya Calon Tunggal
Beberapa wacana penyelenggaraan pilkada sebelumnya digaungkan untuk menghindari calon tunggal. Salah satunya dengan ambang batas minimum dan maksimum untuk dukungan partai kepada salah satu pasangan calon. Hal ini dilakukan agar dukungan partai politik dapat tersebar merata dan memunculkan poros-poros dukungan lain yang menyokong pasangan calon alternatif.
Upaya ini tak lain hanya untuk menjamin pemilih berkesempatan mendapatkan calon pemimpin yang lebih baik dari beberapa calon yang ada, bukan dari satu calon saja. Bagaimanapun, upaya secara sengaja menghadirkan pasangan calon tunggal hanya demi kepentingan memastikan kemenangan tak bisa lepas dari sorotan bahwa tindakan itu telah membajak esensi demokrasi itu sendiri. (LITBANG KOMPAS)