Ancaman Peningkatan Covid-19 dari Pilkada Bisa Sangat Serius
Ke depan, ancaman peningkatan kasus Covid-19 akan datang dari Pilkada 2020. Hal itu sangat serius karena jika mudik Lebaran 2020 melibatkan 15 juta orang, maka di pilkada ada lebih dari 100 juta orang yang akan terlibat.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ancaman peningkatan kasus positif Covid-19 yang muncul dari Pemilihan Kepala Daerah 2020 diperkirakan akan sangat serius apabila tidak ada invervensi kebijakan yang signifikan. Masyarakat akan menjadi korban apabila pemerintah lunak dalam memberi sanksi pelanggar protokol Covid-19.
Direktur Eksekutif Indobaromater Muhammad Qodari, dalam webinar yang diadakan Kelompok Studi Demokrasi Indonesia bertajuk ”Evaluasi 6 Bulan dan Proyeksi 1 Tahun Penanganan Covid-19 di Indonesia”, Sabtu (12/9/2020) malam, menuturkan, pemerintah cukup maju dalam penegakan hukum. Namun, masih kurang dalam hal tes Covid-19. Selain itu, pembagian masker bagi masyarakat dirasa masih sangat kurang.
Ke depan, ancaman peningkatan angka positif Covid-19 akan datang dari Pilkada 2020. Hal itu sangat serius karena jika mudik Lebaran 2020 melibatkan 15 juta orang, maka di pilkada terdapat lebih dari 100 juta orang yang akan terlibat. Jika tidak ada intervensi yang signifikan, dari perhitungan matematis, pada Februari 2021 diperkirakan jumlah orang yang positif Covid-19 mencapai 4 juta orang.
”Rekomendasi kami adalah revisi undang-undang untuk menghilangkan adanya kampanye atau kegiatan pengumpulan orang. Kemudian harus ada sanksi jelas, tegas, dan dilakukan di depan bagi pasangan calon. Jangan sanksinya di belakang dan lunak. Buat apa kalau rakyat sudah jadi korban,” kata Qodari.
Webinar tersebut juga dhadiri nara sumber lain, antara lain Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD; ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unversitas Indonesia ,Faisal Basri; Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono.
Mahfud mengatakan, dalam membuat kebijakan, pemerintah berdasarkan pada data, baik yang dibuat pemerintah maupun akademisi. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 yang dikritik sebagian kalangan merupakan contoh peraturan yang dibuat untuk menghadapi Covid-19.
”Itu untuk memberikan bantalan sosial karena banyak pengangguran yang terjadi. Karena menolong orang yang terinfeksi Covid-19 itu tidak ada di APBN 2020. Itu sejarahnya,” kata Mahfud.
Terkait usulan penundaan Pilkada 2020, pemerintah telah menolak usulan penundaan pilkada jika diusulkan dilakukan setelah pandemi Covid-19 usai. Sebab, tidak ada yang tahu kapan pandemi ini akan berakhir.
Oleh karena, menurut Mahfud, penerapan protokol kesehatan, seperti penggunaan masker, sebagai upaya pencegahan untuk jangka pendek sudah sesuai dengan kesimpulan Presiden. Sebab, kampanye penggunaan masker yang gencar dilakukan pemerintah telah didasarkan pada data dan analisis ilmiah.
Untuk itu, menurut Mahfud, pemerintah telah meminta Polri untuk menjalankan operasi yustisi baik secara persuasif maupun dengan pendekatan hukum pidana. Meskipun di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengatur sanksi bagi mereka yang tidak mengenakan masker, Polri dapat menggunakan hukum pidana dengan dalih melawan petugas yang bertugas mengingatkan masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan.
”Tidak pakai masker memang tidak dihukum, tetapi itu bisa kita akali. Polisi bisa menertibkan itu, yaitu kalau tidak pakai masker, maka melawan petugas yang sedang ditugaskan untuk membubarkan kerumunan. Nah, itu bisa dijatuhi hukuman,” kata Mahfud.
Menurut Mahfud, upaya persuasif dan penegakan hukum akan lebih efektif dan dapat segera diterapkan dibandingkan menunggu pembuatan perppu atau peraturan daerah (perda). Dengan penegakan hukum, pemerintah dapat membuat terapi kejut kepada masyarakat yang tidak patuh menjalankan protokol kesehatan.
Gatot mengatakan, Polri telah banyak melakukan tindakan pencegahan dan langkah penegakan hukum. Ke depan, kepolisian akan melakukan pencegahan dengan membangun kesadaran kolektif masyarakat.
”Kalau ini kita lakukan secara formal, baik di informal maupun formal, akan muncul budaya baru, yakni menggunakan masker, mencuci tangan, serta menjaga jarak di samping kami melakukan operasi yustisi,” kata Gatot.
Pandemi terkendali, ekonomi naik
Faisal Basri berpandangan, pemerintah harus memperhitungkan sumber daya di sektor kesehatan memiliki keterbatasan. Harus diakui bahwa ekonomi tidak bisa menunggu sampai pandemi usai. Namun, yang terjadi di Indonesia, ekonomi turun sementara pandemi Covid-19 justru naik. Padahal, tidak mungkin ekonomi akan naik ketika kasus penularan Covid-19 juga naik.
”Pandemi ini bukanlah perang yang fasilitas produksi hancur. Fasilitas ekonomi masih ada cuma berhenti. Kalau pandemi bisa dikendalikan maka ekonomi naik, kelas menengah akan belanja, pengusahaakan investasi dan turis akan datang tanpa dipromosikan,” kata Faisal.
Menurut Faisal, jika pendekatannya hanya melulu perbaikan ekonomi, yang terjadi adalah pandemi Covid-19 justru semakin tidak teratasi. Jika kemudian pemerintah melakukan rem mendadak, dampaknya bagi ekonomi justru lebih luar biasa.