Perumusan Sanksi Pelanggar Protokol Kesehatan di Pilkada Berkejaran dengan Waktu
Pemerintah dan penyelenggara pemilu berkejaran dengan waktu untuk menyusun sanksi bagi pelanggar protokol Covid-19 sebelum masa kampanye Pilkada 2020. Sementara itu, Komnas HAM merekomendasikan penundaan Pilkada 2020.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan penyelenggara pemilu diharapkan segera menuntaskan pembahasan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan Covid-19. Sebab, pada 26 september 2020 akan digelar tahapan kampanye dan perlu waktu mencukupi untuk menyosialisasikan aturan dan sanksi itu.
Masa kampanye diperkirakan akan menjadi titik riskan berikutnya dalam terjadinya penularan penyakit Covid-19 jika terjadi pelanggaran protokol kesehatan. Sebelumnya, pada tahapan pendaftaran pasangan calon peserta Pilkada 2020 pada 4-6 September 2020, banyak kandidat yang melanggar protokol kesehatan Covid-19 dengan menggelar arak-arakan dan mengumpulkan massa.
Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi, Jumat (11/9/2020), mengatakan, sebaiknya penegasan sanksi itu dapat dilakukan segera dalam dua hari ini. Dengan demikian, Senin, 14 September 2020, sudah dapat diketahui jenis dan pengaturan sanksi yang disepakati antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
”Kesepakatannya kemarin, kan, memang sebelum tahapan kampanye itu sudah dapat diterapkan sanksinya bagi pelanggar protokol kesehatan Covid-19. Sebaiknya hal itu disegerakan. Kalau bisa, dalam dua hari ini sudah ada sanksi dan aturannya. Sebab dibutuhkan waktu untuk sosialisasi,” katanya.
Sebelum tahapan kampanye pada 26 September, ada tahapan penetapan pasangan calon yang memenuhi syarat, yakni 23 September. Pada saat penetapan calon itu juga terdapat risiko penularan Covid-19 karena pendukung yang bergembira ataupun kecewa berpotensi berkerumun dan menantikan pengumuman KPU.
Oleh karena itu, pada tahapan itu pun sebaiknya telah ada aturan sanksi yang tegas dan jelas yang dapat diterapkan di lapangan. Harapannya, tidak ada lagi pelanggaran protokol kesehatan yang berpotensi menyebabkan penularan Covid-19 pada tahapan tersebut.
Baca juga : Menko Polhukam: Belum Ada Alasan Cukup Meyakinkan untuk Tunda Pilkada
Menyangkut jenis sanksi dan bentuk aturannya, Arwani menuturkan, hal itu diserahkan kepada pemerintah dan penyelenggara pemilu. Sanksi yang mengemuka di rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPR dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu, Kamis, adalah diskualifikasi. Penerapannya dilakukan melalui penandatanganan pakta integritas yang harus ditandatangani setiap kandidat. Jika pakta integritas tak dipatuhi, baru sanksi dijatuhkan. Usulan pakta integritas itu diungkapkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
”Usulan Mendagri itu bagus, tetapi kami masih meminta agar dirumuskan lebih jelas dan tegas supaya ada jaminan hukum bahwa pelanggaran atas protokol kesehatan itu memiliki dampak kepada para kontestan. Sebenarnya segala aturan yang ada sudah jelas, tetapi tidak tegas. Artinya, nanti setelah ada rumusan sanksi ini jangan lempar-lemparan dalam penindakan sanksinya kalau ada pelanggaran protokol,” kata Arwani.
Dia mencontohkan, pada tahapan pendaftaran pasangan calon ditemukan kerumunan massa di jalan atau di luar kantor KPU. Namun, di dalam kantor KPU, jumlah orang yang ikut mendaftarkan paslon sesuai dengan ketentuan. Mereka yang ikut mendaftarkan calon juga memenuhi protokol kesehatan dengan menggunakan masker dan menjaga jarak. Namun, bukan berarti pendaftaran itu sepenuhnya sesuai dengan protokol kesehatan lantaran ada ratusan pendukung yang berkumpul di titik-titik yang ada di luar kantor KPU.
”Bagaimana kerumunan ini tidak terjadi, dan seharusnya bagaimana ditangani, serta apa sanksinya kalau mereka tidak mematuhi teguran atau imbauan pengawas dan petugas keamanan, ini yang harus juga diatur jelas dan tegas di dalam aturan bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu,” ujarnya.
Baca juga : DPR Minta Sanksi Pelanggar Protokol Kesehatan di Pilkada Diperjelas
Sanksi bertingkat
Usulan pakta integritas yang berujung pada diskualifikasi paslon, menurut Arwani, dapat saja ditetapkan. Namun, mesti pula dipikirkan dampaknya jika sanksi itu berpotensi secara signifikan mengurangi jumlah paslon yang berkontestasi. Sebab, mereka terdiskualifikasi langsung ketika melanggar protokol. Arwani mengusulkan penerapan sanksi bertingkat.
”Jadi tidak langsung didiskualifikasi. Bisa saja mulanya ditegur keras, dan dihukum untuk tidak boleh kampanye dalam satu atau dua hari. Artinya jatah kampanye mereka dikurangi. Bisa juga paslon dijatuhi denda jika masih melanggar, serta melakukan kerja sosial. Jika masih melanggar lagi, sanksi terberat adalah diskualifikasi,” katanya.
Dengan pemberian sanksi bertingkat itu, ketegasan aturan tetap ada, dan memberikan efek jera bagi paslon yang melanggar protokol kesehatan. Demikian pula halnya bagi tim sukses atau simpatisan yang melanggar, mereka dapat dijatuhi hukuman denda atau kerja sosial, hingga larangan untuk kembali menjadi tim sukses paslon. Bentuk aturannya, menurut Arwani, dapat dituangkan dalam surat keputusan bersama Mendagri dengan penyelenggara pemilu, atau dalam peraturan KPU (PKPU) baru.
”Hal lain yang harus pula diatur dalam rumusan aturan sanksi itu ialah siapa yang melakukan eksekusinya. Apakah Polri, satpol PP, atau pihak lain. Dengan demikian, tidak ada lagi yang bertanya-tanya ini, kok, tidak ada yang menindak dan sebagainya,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik mengatakan, rapat koordinasi telah diadakan antara Kemendagri dan KPU serta Bawaslu guna membahas rumusan aturan dan sanksi pelanggaran protokol kesehatan. Rapat diadakan pada Jumat siang. Namun, belum ada rumusan yang disepakati penyelenggara pemilu dan pemerintah. ”Aturannya masih dirumuskan bersama,” ujarnya.
Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengatakan, sebenarnya penandatanganan pakta integritas oleh paslon saat penetapan calon atau pengambilan nomor urut di KPU dapat menjadi pintu masuk penerapan sanksi dan ikatan komitmen paslon dalam penerapan protokol kesehatan. Namun, di luar itu tetap diperlukan koordinasi antara seluruh komponen, termasuk Polri dan satpol PP, dalam penegakan disiplin penerapan protokol kesehatan.
”Ditambah dengan penegasan oleh seluruh komponen seperti Polri dan satpol PP untuk tegas dalam penindakan pelanggaran protokol kesehatan dengan mengacu kepada PP No 11/2020 dan Inpres No 6/2020,” katanya.
Secara terpisah, Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana mengatakan, sanksi diskualifikasi di UU Pilkada hanya dapat dikenakan pada pelanggaran atas norma tertentu, terutama jika terbukti melakukan politik uang. Namun, untuk pelanggaran protokol kesehatan, itu belum diatur. Seturut itu, optimalisasi Polri dan satpol PP dapat menjadi materi di dalam rumusan aturan dalam penegakan sanksi tersebut.
Dalam PKPU, menurut Aditya, pelibatan Polri dan satpol PP dalam penegakan protokol kesehatan tidak diatur atau dikoordinasikan. Akibatnya, mereka ragu bertindak dalam konteks penegakan protokol kesehatan di dalam tahapan pilkada. ”Seharusnya, peran Polri dan satpol PP diatur juga di PKPU sehingga jelas jika ada kerumunan di tahapan pilkada dapat dibubarkan, atau dapat dijatuhi sanksi sesuai ketentuan berlaku,” katanya.
Hal lain yang penting dipikirkan penyelenggara pemilu ialah simulasi tahapan. Simulasi membantu penyelenggara memproyeksikan hal-hal apa saja yang akan dihadapi di lapangan, termasuk kemungkinan pembubaran kerumunan. Dalam hal ini, lanjut Aditya, pelibatan Polri dan satpol PP menjadi keharusan.
Penundaan pilkada
Kemarin, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merekomendasikan penundaan Pilkada 2020. Alasannya, belum terkendalinya penyebaran Covid-19. ”Penundaan tahapan pilkada memiliki landasan yuridis yang kuat,” kata komisioner Komnas HAM, Hairansyah.
Dia merujuk pada Pasal 201 A Perppu Nomor 2 Tahun 2020 yang mengatur mengenai penundaan pemungutan suara. Salah satu klausul menyebutkan penundaan bisa dilakukan karena adanya bencana non-alam dan bisa dijadwalkan kembali setelah bencana itu selesai.
Hairansyah mengatakan, semakin tidak terkendalinya Covid-19 membuat penyelenggaraan pilkada saat ini berpotensi melanggar beberapa hak seperti hak hidup, hak atas kesehatan, dan hak atas rasa aman. Hak hidup adalah hak manusia yang bersifat absolut dan tidak bisa dicabut. Hak ini tidak saja dijamin oleh Kovenan Hak Sipil dan Politik, tetapi juga dalam Pasal 28A UUD 1945, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Sementara itu, hak atas kesehatan merupakan hak mendasar yang juga memengaruhi kualitas kehidupan dan perkembangan peradaban sebuah bangsa sehingga tidak dapat diremehkan perlindungan dan pemenuhannya. Menurut dia, negara diamanatkan untuk mengakui dan menjamin hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai dalam hal kesehatan fisik dan mental.
Hak atas rasa aman menekankan kewajiban kepada pemerintah untuk memberikan jaminan atas perlindungan diri, kehormatan, martabat dan hak miliknya, serta perlindungan dari ancaman terhadap ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. ”Negara harus melindungi hak atas rasa aman warga negara terutama untuk wilayah yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah,” kata Hairansyah.
Selain itu, penundaan ini juga seiring dengan sikap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang pemilu. PBB menyebutkan, walau pemilu merupakan hal yang penting, harus lebih diperhatikan kesehatan dan keamanan publik dengan menimbang pada keadaan darurat yang terjadi saat ini.
Komisioner Komnas HAM, Amiruddin, mengatakan, dengan berbagai pertimbangan ini, Komnas HAM merekomendasikan kepada KPU, pemerintah, dan DPR untuk menunda pelaksanaan tahapan pilkada lanjutan sampai situasi kondisi penyebaran covid-19 berakhir atau minimal mampu dikendalikan berdasarkan data epidemologi yang dipercaya.
”Seluruh proses yang telah berjalan tetap dinyatakan sah dan berlaku untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi para peserta pilkada,” kata Amiruddin.