Untuk melihat kaitan kasus dugaan suap Joko Tjandra oleh Polri dan Kejaksaan, KPK mengundang kedua instansi tersebut gelar perkara. Setelah paparan terpisah, KPK kembali akan undang keduanya gelar perkara bersama-sama.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan gelar perkara dengan Badan Reserse Kriminal Polri dan Kejaksaan Agung di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (11/9/2020). Gelar perkara akan dilakukan lagi oleh KPK dengan memanggil kedua instansi tersebut secara bersama-sama untuk menyatukan kesimpulan secara utuh dalam tindak lanjut berikutnya.
Gelar perkara dilakukan secara terpisah antara Bareskrim Polri dan Kejagung. KPK melakukan gelar perkara dengan Bareskrim mulai pukul 09.00 hingga 11.30. Sementara itu, gelar perkara bersama dengan Kejagung dilakukan sekitar pukul 13.30 hingga 16.20.
Seusai melakukan gelar perkara dengan Kejagung, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, gelar perkara dilakukan untuk menyelesaikan perkara secara utuh. Selain itu, supaya ada akselerasi percepatan dan apa yang dilakukan Polri, Kejagung, serta KPK dapat bersinergi.
Supervisi itu maksudnya dalam rangka percepatan. Yang kedua, juga penentuan kepada siapa saja yang ditersangkakan, termasuk di dalamnya.
”Supervisi itu maksudnya dalam rangka percepatan. Yang kedua, juga penentuan kepada siapa saja yang ditersangkakan termasuk di dalamnya,” kata Ghufron.
Ia mengungkapkan, kasus ini ada di dua area, yakni Polri yang menangani dugaan tindak pidana korupsi terkait penghapusan red notice, sedangkan Kejagung berkaitan pengurusan masalah penerbitan fatwa bebas dari Mahkamah Agung untuk Joko Tjandra. Dua kasus tersebut menjadi dua hal yang berbeda, tetapi bersimpul pada satu orang.
Oleh karena itu, gelar perkara ini dilakukan secara terpisah agar fokus di setiap perkara. Selanjutnya, akan kembali dilakukan gelar perkara dengan mengundang kedua instansi tersebut secara bersama-sama dengan tujuan menyimpulkan kasus tersebut.
Ketika ditanya terkait perbedaan gelar perkara di Bareskrim dan Kejagung, Ghufron mengungkapkan, pada gelar perkara pertama ini, KPK masih menerima perkembangan informasi penanganan di Bareskrim dan Kejagung dalam penyidikan. KPK hanya memberi arahan. Mereka juga belum melihat adanya keterlibatan pejabat tinggi di Kejagung.
Seperti diketahui, KPK pernah diundang Bareskrim Polri untuk gelar perkara kasus pelarian Joko Tjandra yang ditanganinya, pertengahan Agustus lalu. Kemudian 8 September, giliran Kejagung mengundang KPK dan sejumlah institusi lain saat gelar perkara kasus Joko yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari.
”Jadi intinya, kami tadi menerima dan membaca apa yang disampaikan oleh Kejaksaan dalam menyidik. Sejauh ini, kami masih memahami bahwa kasus itu, kan, tidak bisa berdasarkan rumor, tetapi berdasarkan alat bukti,” kata Ghufron.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Ali Mukartono mengatakan, banyak masukan dari KPK dalam rangka penyempurnaan penanganan perkara ini untuk menjawab keraguan dari semua pihak.
”Kita bisa mencoba menyinergikan perkara ini dengan baik. Kejaksaan telah mencatat beberapa masukan dari KPK dan itu akan jadi catatan sendiri dalam rangka penyempurnaan perkara itu. Saya tidak menyampaikan apa materinya karena itu tunggu di pengadilan karena itu materi perkara,” kata Ali.
Ia mengungkapkan, Kejagung sudah menetapkan tiga tersangka dalam kasus pengurusan fatwa bebas dari MA untuk Joko Tjandra. Mereka adalah Pinangki, Joko Tjandra, dan Andi Irfan Jaya. Kejagung akan melakukan proses hukum pidana kepada yang bersangkutan.
Ambil alih
KPK belum menentukan apakah akan mengambil alih perkara ini atau tidak. Ghufron hanya menjawab pengambilalihan dilakukan setelah dilanjutkan supervisi.
Ketika usai KPK melakukan gelar perkara dengan Bareskrim, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, ada syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Syarat itu di antaranya penanganan perkara yang berlarut.
Menurut Alex, Bareskrim sudah melimpahkan perkara ke Kejagung dan pembuktiannya sudah cukup. Alhasil, KPK melihat tidak ada hambatan dalam penanganan perkara tersebut.
Syarat lainnya, penanganan korupsi itu untuk melindungi pihak-pihak tertentu. ”Nah, itu kita bisa ambil alih. Misalnya, perkara besarnya tidak terungkap, padahal cukup alat bukti. Itu bisa kita ambil alih,” kata Alex.
Akan tetapi, sejauh ini KPK belum melihat peluang pengambilalihan dengan mempertimbangkan syarat tersebut.
Berkas perkara yang kami kirimkan dalam tahap pertama belum dinyatakan lengkap. Kemudian tindak lanjutnya adalah petunjuk secara formil dan materiil di P19. Kami baru terima tanggal 11. Hari ini kami akan pelajari. Yang kami lakukan setidaknya menjawab P19 yang dikeluarkan teman-teman jaksa.
Direktur Tipikor Bareskrim Mabes Polri Brigadir Jenderal Djoko Poerwanto mengatakan, pengembalian berkas perkara untuk dilengkapi atau P19 diawali dengan P18 atau hasil penyelidikan belum lengkap.
”Berkas perkara yang kami kirimkan dalam tahap pertama belum dinyatakan lengkap. Kemudian tindak lanjutnya adalah petunjuk secara formil dan materiil di P19. Kami baru terima tanggal 11. Hari ini kami akan pelajari. Yang kami lakukan setidaknya menjawab P19 yang dikeluarkan teman-teman jaksa,” kata Djoko.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Boyamin Saiman mengatakan, KPK hendaknya mendalami aktivitas jaksa Pinangki dan mantan kuasa hukum Joko Tjandra, Anita Kolopaking, dalam rencana pengurusan fatwa bebas MA dengan diduga sering menyebut istilah ”Bapakmu” dan ”Bapakku”.
Selain itu, KPK perlu mendalami berbagai inisial nama yang diduga sering disebut Pinangki, Anita, dan Joko Tjandra dalam rencana pengurusan fatwa. Mereka adalah T, DK, BR, HA, dan SHD.