Data terbaru KPU menunjukkan 60 bakal calon dari 1.400 balon yang daftar di 270 daerah terpapar Covid-19. Karena itu, penyelenggara pemilu diminta memiliki indikator apakah pilkada tetap dilakukan atau tidak di daerah.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggara pemilu didesak memiliki indikator penularan Covid-19 di 270 daerah yang melaksanakan pilkada serentak pada 9 Desember. Indikator tersebut menjadi acuan apakah pilkada di daerah tersebut dapat dilanjutkan atau tidak. Pasalnya, penularan Covid-19 di antara pasangan calon dan pengawas pemilu sudah mengkhawatirkan dan membahayakan keselamatan bersama.
Data terbaru dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga Kamis (10/9/2020), tercatat 60 bakal calon dari sekitar 1.400 bakal calon yang mendaftar di Pilkada 2020, terpapar Covid-19. Mereka tersebar di 21 provinsi di Indonesia. Sejumlah pengawas pemilu di daerah juga terpapar Covid-19. Misalnya, di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, 96 petugas pengawas pemilu juga diketahui positif Covid-19 pascamasa pendaftaran, 4-6 September.
Direktur Eksekutif Netgrit Ferry Kurnia Rizkiyansyah dalam webinar Bertaruh Nyawa atau Pilkada, Kamis (10/9/2020), mengatakan, dengan data terbaru itu, perlu ada koordinasi antarpemangku kepentingan terkait indikator penularan Covid-19 di daerah tertentu. Koordinasi itu juga menjadi ranah kewenangan penyelenggara pemilu.
KPU dituntut memiliki data yang komprehensif mengenai penyebaran Covid-19 di daerah. Apalagi, di masa pendaftaran kemarin, banyak pelanggaran yang terjadi. Akibatnya, banyak kluster baru yang muncul dari tahapan pendaftaran pilkada tersebut. Padahal, setelah masa pendaftaran masih ada perpanjangan pendaftaran, kemudian masa kampanye, dan hari pemungutan suara yang sangat rawan mempertemukan orang.
Indikator itulah yang dapat menjadi acuan bagi KPU dan Bawaslu, sekaligus pemerintah, untuk memutuskan apakah sebaiknya pilkada serentak ditunda atau tidak. Ini, kan, pilkada di masa pandemi, seharusnya penyelenggara pemilu memiliki data tersebut.
Oleh karena itu, Ferry mendesak agar KPU memiliki data yang komprehensif kondisi penularan Covid-19 di daerah. Berapa jumlah pasien positif Covid-19 di daerah tersebut. Kemudian, apakah daerah tersebut menerapkan pembatasan sosial berskala besar atau tidak. Data tersebut tentu dapat diambil dari berbagai pihak, misalnya Dinas Kesehatan atau Gugus Tugas Penanganan Covid-19.
”Indikator itulah yang dapat menjadi acuan bagi KPU dan Bawaslu, sekaligus pemerintah, untuk memutuskan apakah sebaiknya pilkada serentak ditunda atau tidak. Ini, kan, pilkada di masa pandemi, seharusnya penyelenggara pemilu memiliki data tersebut,” kata Ferry.
Indikator atau parameter untuk menunda atau melanjutkan pilkada ini harus jelas dan transparan dibuka kepada publik. Apalagi, dalam Perppu No 2/2020 sudah ada aturan mengenai opsi penundaan pilkada tersebut.
Di Pasal 120 Perppu No 2/2020 diatur tentang penundaan pilkada secara serentak. Namun, di UU Pilkada Nomor 1/2015 juga ada opsi untuk penundaan pilkada secara lokal atau parsial. Meskipun pemerintah sudah memutuskan bahwa pilkada harus tetap dilanjutkan, opsi penundaan secara parsial tersebut harus dikaji. Apalagi, aturan memberikan ruang untuk penundaan tersebut.
”Di PKPU No 8/2018 juga ada pengaturan mengenai penundaan dan pemilihan lanjutan yang baru sebatas pada tahapan pemungutan suara. Tetapi, itu juga bukan karena faktor nonalam atau wabah. Akibatnya, seluruh opsi harus dibuka melihat perkembangan penularan Covid-19 saat ini,” kata Ferry.
Jadi ujian
Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengungkapkan, tahapan pendaftaran memang menjadi ujian awal pelaksanaan pilkada di masa pandemi. Saat tahapan pencocokan dan penelitian, serta verifikasi faktual memang tidak ditemukan ada yang terpapar Covid-19. Namun, di masa pendaftaran, yang banyak terjadi pelanggaran protokol kesehatan, akhirnya diketahui banyak penularan Covid-19.
Terkait dengan temuan itu, Fritz mengaku Bawaslu bisa saja membuat rekomendasi penundaan pilkada secara parsial. Namun, Bawaslu juga harus memiliki parameter yang kuat terkait hal itu. Salah satunya, tingkat kepatuhan paslon menaati aturan protokol kesehatan. Berdasarkan temuan Bawaslu, 361 paslon melanggar aturan tata tertib protokol kesehatan.
”Bawaslu bisa usulkan soal itu (penundaan parsial). Selain itu, dari hasil rapat bersama Kemenko Polhukam, Kemendagri, dan KPU, juga sudah disepakati bahwa akan ada penandatanganan pakta integritas oleh calon untuk menaati protokol kesehatan,” papar Fritz.
Menurut Fritz, saat ini, yang sudah menjadi kesepakatan antara Polri, Kemendagri, dan Kemenko Polhukam adalah penandatangan pakta integritas untuk tidak melanggar protokol kesehatan pada saat penetapan calon.
Pakta integritas itu akan dijadikan komitmen dari paslon maupun pendukungnya agar tidak melanggar protokol kesehatan pada tahapan selanjutnya. Mereka yang melanggar pakta integritas itu, jika mengajukan sengketa ke Bawaslu, juga tidak akan diterima. Sementara itu, sanksi dari Kemendagri adalah penundaan pelantikan apabila paslon tersebut terpilih dalam pilkada.
”Kami juga meminta bantuan dari masyarakat sipil agar terus mengampanyekan untuk tidak memilih pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan. Pilkada ini adalah perhelatan bersama jadi jangan ditekankan semua tugas kepada KPU dan Bawaslu,” ungkap Fritz.
Terbuka ruang penundaan
Melihat kondisi terkini penularan Covid-19, pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu diminta untuk menunda penyelenggaraan pilkada. Penyelenggaraan pilkada bukanlah hal untuk menggugurkan kewajiban lima tahun.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menambahkan, melihat kondisi terkini penularan Covid-19, pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu diminta untuk menunda penyelenggaraan pilkada. Penyelenggaraan pilkada bukanlah hal untuk menggugurkan kewajiban lima tahun. Di masa pandemi ini, aspek yang mutlak diperhatikan adalah kesehatan pemilih, penyelenggara, pengawas, dan peserta pemilu.
Menurut Khoirunnisa, penyelenggaraan pemilu di masa pandemi juga tidak akan efektif karena dapat mengurangi tingkat partisipasi pemilih. Apalagi jika kasus Covid-19 terus melonjak, masyarakat akan semakin tidak berminat pada pilkada. Pada awal pandemi saja, berdasarkan hasil sejumlah survei, pilkada bukanlah hal prioritas warga. Justru jika dilanjutkan, akan berpengaruh pada legitimasi hasil pemilu. Hasil pemilu bisa saja digugat karena banyak pelanggaran yang terjadi.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Sumatra Barat, Hemi Lavo Febrinandez, mengatakan, ruang penundaan pilkada sebenarnya masih terbuka apabila memang ada temuan bahwa pilkada tersebut membahayakan masyarakat. Hal itu diatur dalam Pasal 120 Perppu No 2/2020. Namun, dalam memutuskan hal tersebut, KPU tidak bisa independen karena harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah dan DPR.