Kegelisahan ini adalah cermin dari bagaimana Jakob Oetama menjalani kehidupan di dunia sebagai sebuah ziarah. Perjalanan ziarahnya bukan ke tempat suci, melainkan ke dunia yang penuh tantangan, sebagai seorang wartawan.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni/sharon patricia
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — ”Kegelisahan” yang dirasakan Jakob Oetama kini telah berakhir. Semasa hidupnya, Jakob dinilai tidak pernah berhenti berusaha agar dapat terus memuliakan surat kabar, perusahaan, dan seluruh karyawan yang bekerja di dalamnya.
Pendiri Kompas, Jakob Oetama (88), dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata pada Kamis (10/9/2020) pukul 11.30 WIB setelah misa pelepasan jenazahnya digelar di lobi Gedung Kompas Gramedia, Palmerah, Jakarta.
Misa yang dihadiri oleh keluarga, karyawan, dan sejumlah pejabat negara tersebut dipimpin oleh Romo Sindhunata SJ dan Romo Lasber Livinus Sinaga CICM. Sindhunata adalah wartawan Kompas yang berkarya pada 1977-2012.
Sindhunata menyebut bahwa semasa hidupnya, Jakob adalah orang yang ”selalu gelisah”. Kegelisahan ini adalah bentuk bagaimana Jakob merupakan orang yang tidak pernah merasa mapan dalam hidup.
”(Jakob) belum berhenti gelisah sejauh Kompas belum benar-benar menjadi koran yang menjadi andalan. Koran yang bisa ikut membangun dan menegakkan bangsa. Ia gelisah sejauh karyawan-karyawannya belum sejahtera seperti apa yang diimpikannya,” tutur Sindhunata.
Kegelisahan ini adalah cermin dari bagaimana Jakob menjalani kehidupan di dunia sebagai sebuah ziarah. Perjalanan ziarah Jakob bukanlah ke tempat ziarah yang suci, melainkan dunia yang penuh tantangan, sebagai seorang wartawan dan juga sebagai manusia.
”Maka, wajarlah jika dalam perjalanan ini orang harus jatuh dalam kerapuhan, kegagalan, dan bahkan dosa. Apalagi jika jalan itu harus dilewati sebagai perjalan seorang wartawan, wartawan Kompas,” kata Sindhunata.
Sindhunata kemudian menuturkan bagaimana Jakob setuju dengan ucapan darinya yang menyebut Kompas sebagai sebuah ”sekolah dosa”, di mana sebagai wartawan sama-sama mengalami betapa besarnya pengampunan Tuhan.
Oleh karena itu, kini setelah 88 tahun, Sindhunata mengatakan, sekarang telah saatnya Jakob dapat merasa tenang bersama Tuhan.
”In manus tuas, Domine, commendo spiritum meum. Ke dalam tangan-Mu, ya Tuhan, kuserahkan hidupku. Selamat jalan, Pak Jakob. Doakanlah kami dan KG ini selalu. Sekarang engkau menjadi perantara bagi kami semua yang sedang berziarah dan bergulat melanjutkan jasa dan warisanmu. Amin,” ucapnya.
Mewakili pihak keluarga, putra sulung Jakob, Irwan Oetama, mengucapkan terima kasih kepada semua pelayat dan warga sekitar yang telah melayat dan membantu jalannya prosesi dari Rabu hingga Kamis siang.
”Selamat jalan, Bapak. Biarlah semua ucapan, tulisan, nasihat yang selama ini Bapak berikan kepada kami, cucunya, kolega, dan teman, menjadi warisan, spirit, dan roh buat kehidupan kami selanjutnya,” ujar Irwan.
Irwan juga menyampaikan terima kasih kepada pemerintah karena pada 1973 telah memberikan tanda kehormatan Bintang Mahaputra sehingga Jakob dapat dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta.
Setelah misa, jenazah diserahkan secara resmi kepada negara untuk dimakamkan. Ketua MPR Bambang Soesatyo menerima jenazah Jakob dari pihak keluarga sebagai perwakilan negara.
”Kita semua kehilangan semangat ideologi Pak Jakob yang terus menjadi semangat bagi jurnalis muda. Beliau memiliki idealisme yang luar biasa,” kata Bambang.
Selain Bambang Soesatyo, pelepasan jenazah Jakob juga dihadiri Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar, dan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto.
Sosok yang pluralis dan egaliter adalah kesan Jakob kepada Boy. Menurut dia, Jakob adalah sosok yang menghargai sesama dan mempromosikan nilai-nilai nondiskriminatif. ”Indonesia sangat terbantukan dengan pemikiran-pemikiran beliau,” kata Boy.
Jenazah Jakob disemayamkan di Gedung Kompas Gramedia, Palmerah, sejak Rabu malam, setelah tiba dari kediaman pribadinya sekitar pukul 20.30 WIB.
Sahabat dan guru
Penulis dan pegiat jurnalisme Andreas Harsono menyampaikan, Jakob Oetama memiliki karier panjang, lebih dari setengah abad, sehingga jelas mewarnai jurnalisme di Indonesia. Jakob Oetama dinilai berjasa menjadikan Kompas Gramedia sebagai bisnis ”raksasa” untuk memperkuat jurnalisme.
”Saya cukup lama kenal Jakob Oetama, kadang diajak sarapan pagi. Dia juga kirim praktis semua bukunya kepada saya. Bagi saya, Jakob Oetama adalah orang beradab dan mau berpikir soal kemajuan buat Indonesia dengan segala kehati-hatiannya,” ujarnya.
Menurut Andreas, ada sindiran, Jakob Oetama menciptakan ”jurnalisme kepiting” atau semacam menyembah ke atas, menendang ke bawah. Ada juga pelesetan Kompas sebagai ”Kempes” oleh sarjana Benedict Anderson dari Universitas Cornell.
”Jakob Oetama menolak Kompas melakukan liputan investigatif. Mungkin sikap berhati-hati, tapi bukan salah,” ucapnya.
Bagi saya, Jakob Oetama adalah orang beradab dan mau berpikir soal kemajuan buat Indonesia dengan segala kehati-hatiannya.
Meski begitu, ada juga pujian. Jakob Oetama tak pernah mau membenarkan pembredelan media, termasuk kasus paling besar pada 1994 saat media Detik, Editor, dan Tempo ketika pembredelan tersebut diprotes di puluhan kota, hingga lebih dari setahun.
Pada saat itu, Jakob Oetama teguh mengatakan, Dewan Pers hanya mengusulkan ”teguran” kepada ketiga mingguan tersebut, bukan pembunuhan media. ”Ini bukan sikap yang mudah pada zaman Presiden Soeharto. Dia (Jakob Oetama) tak mau melewati batas tersebut,” ucap Andreas.
Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Didik Junaedi Rachbini mengenang Jakob Oetama sebagai tokoh bangsa yang memiliki pribadi kuat. Tidak hanya menjaga keseimbangan perahu Kompas, tetapi juga bahtera bangsa Indonesia.
Didik menuturkan, pada saat kekuasaan kuat dan masyarakat sipil lemah, Jakob Oetama menjadi pilar di sisi masyarakat agar suara nurani rakyat terjaga dan didengar oleh negara. Beberapa tokoh bangsa, yakni Gus Dur, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan Nurcholish Madjid, pun diasuh pemikirannya dan diasah ketajamannya di ruang-ruang Kompas sehingga bahtera tetap terjaga.
Jakob Oetama juga dikenang sebagai tokoh yang menjaga keseimbangan plural bangsa ini. Di kalangan muda, ruang-ruang Kompas diberikan kepada kalangan muda yang plural.
”Kompas juga mendirikan Forum Indonesia Muda (FIM) untuk anak muda tahun 1990-an. Saya adalah pendiri FIM yang didirikan oleh Kompas di bawah asuhan Pak Jakob Oetama. Di situ ada tokoh-tokoh muda yang berasal dari berbagai kalangan plural,” ucap Didik.