Bela negara tak semata-mata melulu tentang pelatihan baris-berbaris atau pelatihan kemiliteran. Bela negara dapat diwujudkan dalam sikap menjaga persatuan dan kesatuan, juga mengedepankan sikap toleransi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bela negara bukan hanya untuk kepentingan pertahanan, melainkan untuk kepentingan nasional. Karena itu, seluruh warga negara wajib ikut serta dalam bela negara yang dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti menjaga persatuan dan kesatuan.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Agus Widjojo mengatakan, umumnya seseorang bicara tentang bela negara cenderung ditujukan pada bentuk pelatihan keprajuritan yang dimulai dari baris-berbaris.
”Padahal, merujuk pada keputusan menteri, hanya satu dari lima elemen dalam spektrum bela negara yang berbentuk pelatihan keprajuritan, yaitu pembentukan awal pertahanan yang telah memasuki wilayah hard power. Keterampilan kemiliteran yang bermuara pada pembentukan komponen cadangan kekuatan pertahanan,” kata Agus, Rabu (9/9/2020).
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Agus saat membuka peresmian pendirian AB Susanto Center untuk Manajemen Bela Negara yang diselenggarakan oleh Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.
Selain Agus, hadir pula sebagai pembicara dalam kegiatan ini Rektor UPN Veteran Jakarta Erna Hernawati, Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan Bondan Tiara Sofyan, mantan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, dan anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Rikard Bagun.
Agus menegaskan, empat komponen bela negara lainnya, yakni rasa cinta tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara, yakin pada Pancasila, serta rela berkorban. Empat elemen ini tidak berada pada kewenangan TNI. Bahkan, banyak pada ranah pendidikan dan sosial.
Empat komponen bela negara lainnya, yakni rasa cinta tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara, yakin pada Pancasila, serta rela berkorban. Empat elemen ini tidak berada pada kewenangan TNI. Bahkan, banyak pada ranah pendidikan dan sosial.
Oleh karena itu, menjadi penting untuk memberi keseimbangan pada efektivitas lembaga nonmiliter. ”Yang saya maksudkan adalah sipil agar mampu melaksanakan fungsinya dalam membangun kesadaran bela negara terutama dalam pendidikan formal dan nonformal,” kata Agus.
Ia mengungkapkan, membangun citra sipil dalam masyarakat madani dibutuhkan dalam membangun kesadaran bela negara. Bela negara bukan hanya untuk kepentingan pertahanan saja, tetapi untuk kepentingan nasional.
Bondan Tiara Sofyan menjelaskan, arti bela negara ada dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara. Bela negara dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari seperti sikap toleransi.
Pada Pasal 1 Angka 11 UU tersebut dinyatakan, bela negara adalah tekad, sikap dan perilaku, serta tindakan warga negara, baik secara perseorangan maupun kolektif dalam menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dan negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dari ancaman.
Sementara itu, pada Pasal 1 Angka 9 UU yang sama dijelaskan, komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama yakni TNI. “Komponen cadangan dan bela negara bukan wajib militer,” ujar Bondan.
Saat ini pemerintah sedang menyusun aturan pelaksanaan UU 23/2019 yang akan diwujudkan dalam bentuk peraturan presiden (perpres). Dalam perpres tersebut akan diatur mengenai kebijakan bela negara dalam bentuk rencana induk bela negara untuk 25 tahun dan rencana aksi nasional bela negara untuk 5 tahun.
Erna Hernawati mengingatkan, semua warga negara wajib ikut serta dalam bela negara. Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Pasal 4 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Kebinekaan
Rikard Bagun menegaskan, bela negara dapat dilakukan dengan menjaga persatuan. Sebab, Indonesia merupakan negara yang memiliki multikulturalisme. Oleh karena itu, kebinekaan adalah keniscayaan.
Bela negara dapat dilakukan dengan menjaga persatuan.
Indonesia sudah memiliki budaya berkumpul dan gotong royong. Hal tersebut dapat menjadi faktor pendorong untuk menjaga persatuan demi mencapai tujuan dan cita-cita bangsa.
Kebinekaan dapat menjadi kekuatan untuk melawan tantangan-tantangan yang ada, seperti masuknya ideologi lain melalui dunia maya atau siber. Tantangan ini cukup besar karena di dunia siber sulit membedakan antara yang benar dan salah.
Purnomo Yusgiantoro mengingatkan, sebelum krisis ekonomi tahun 2020, Indonesia pernah mengalaminya pada 1965, 1986, 1997, dan 2008. Namun, Indonesia dapat terus berjuang dan tidak jatuh. Indonesia dapat tegak karena adanya kesatuan.